Hajj Journey 12: Bekal untuk Berhaji

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2019 6:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Santri-santriah pesantren Amerika mengakhiri program tahfiz intensif selama sebulan. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Santri-santriah pesantren Amerika mengakhiri program tahfiz intensif selama sebulan. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Setelah seluruh rangkaian ritual haji selesai dilaksanakan, jemaah dengan sendirinya resmi menjadi haji/hajah. Gelar ini menjadi populer khususnya di negeri tercinta, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kita menyebutkan di sesi awal catatan ringan ini bahwa haji, selain bersifat konklusif (menyimpulkan), inklusif (merangkul), juga integratif (mengikat) semua aspek ajaran Islam. Pada haji, ada aspek akidah, aspek ibadah, dan tentunya ada aspek penting dari muamalat dan hubungan internasional manusia.
Tapi juga tidak kalah pentingnya, ibadah haji sesungguhnya adalah penggambaran dari siklus kehidupan manusia dari awal hingga akhir. Pada semua ritual ibadah itu tergambarkan semua tahapan yang berlaku dalam hidup manusia.
Dimulai dari kata haji yang identik dengan perjalanan (journey). Sesungguhnya menggambarkan kepada kita bahwa hidup itu adalah perjalanan (a journey). Maka tepat adanya jika haji adalah miniatur atau gambaran kecil dari perjalanan hidup manusia.
Bukit Rumat, lokasi perang Uhud di Madinah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
Ketika akan memulai perjalanan haji, ada tiga aspek bekal (zaad) yang mutlak dipersiapkan. Persiapan materi dan fisik. Persiapan ilmu dan pengetahuan. Dan tidak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual kerohanian.
ADVERTISEMENT
Persiapan materi dan fisik temaknai dengan penciptaan manusia dari tanah liat. Manusia adalah juga bentuk fisik dan secara mendasar memerlukan material dalam hidupnya. Makan, minum, tidur, kawin, olahraga, semua itu wujud dari persiapan materi dan fisik manusia.
Perjalanan ibadah haji juga mutlak dengan perbekalan “ilmu”. Semua ibadah dalam Islam itu sejatinya dilakukan dengan dasar ilmu. Beribadah bukan sekedar dengan rasa dan emosi, apalagi ikut-ikutan.
Haji secara khusus diperintahkan “khudzu anni manasikakum”. Artinya berhajilah sesuai dengan Yang Aku sunahkan, kata Rasulullah. Artinya Rasulullah memerintahkan umatnya untuk melakukan ibadah haji sesuai caranya. Dan untuk melakukan haji sesuai cara Rasul mutlak dengan ilmu.
Demikian pula hidup. Sukses takkan diraih tanpa ilmu dan pengetahuan.
ADVERTISEMENT
“Barang siapa yang mau sukses dunia, hendaknya dengan ilmu. Barang siapa yang mau sukses di akhirat haruslah dengan ilmu. Dan barang siapa yang mau sukses pada keduanya hendaklah dengan ilmu.”
Karenanya menguasai ilmu manasik dan makna-makna ritual haji menjadi sangat penting dalam ibadah ini.
Dan tak kalah pentingnya adalah persiapan spiritual atau rohani. Alquran mengingatkan: “Wa tazawwadu fa inna khaeraz zaadit taqwa,” artinya bahwa sebaik-baik itu adalah ketakwaan. Substansi dasar dari ketakwaan adalah khasyatullah (rasa takut pada Allah). Dan khasyatullah adalah esensi ruhiyah salam Islam.
Haji adalah ibadah yang lengkap. Dan persiapan kerohanian menjadi sangat mendasar. Karena semua ibadah dibangun di atas kesiapan dan kebersihan hati.
ADVERTISEMENT
Kebersihan hati dalam beribadah ini biasanya lebih dikenal dengan istilah “tazkiyah an nafs” (penyucian jiwa).
Perjalanan hidup manusia kiranya demikian pula. Tanpa persiapan spiritualitas atau rohani maka semua akan menjadi goyah dan goncang. Ketenangan hidup itu akan ditentukan oleh hati dan jiwa manusia. Sementara hati dan jiwa hanya dapat menjadi tenang ketika tingkat spiritualitas itu besar.
Kekuatan spiritualitas itu dibangun oleh kehadiran dzikrullah: “Bukankah dengan mengingat Allah hati-hati (quluub) menjadi tenang?”
Hati yang gersang, rohani mudah sakit. Termasuk merasakan ketakutan (khauf) dan kesedihan (hazan). Yang berbahaya ketika hati dan jiwa yang rapuh itu selalu terancam oleh apapun. Bahkan oleh kelebihan dan bahkan kebaikan orang lain misalnya. Iri hati dan dengki adalah indikasi jiwa dan hati yang rapuh dan goyah.
ADVERTISEMENT
Karenanya haji yang matang adalah haji yang dipersiapkan pada tiga aspek ini. Dan hidup yang matang juga adalah hidup yang terbangun di atas tiga fondasi yang solid: Materi/fisik, ilmu/pengetahuan, dan rohani/spiritualitas.
(Bersambung)
Al-Haram, 7 Agustus 2019
*Presiden Nusantara Foundation & Pembimbing jemaah haji Nusantara USA