Hajj Journey 14: Memaknai Sai sebagai Perjuangan

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2019 21:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebagian jemaah Nusantara USA berfoto setelah melempar Jumrah di Mina. Foto: Shamsi Ali
zoom-in-whitePerbesar
Sebagian jemaah Nusantara USA berfoto setelah melempar Jumrah di Mina. Foto: Shamsi Ali
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan tawaf, kesadaran akan tabiat hidup terbangun, bahwasanya hidup itu adalah pergerakan dan perputaran. Ketika pergerakan dan perputaran itu berhenti, maka terhenti pulalah kehidupan semesta.
ADVERTISEMENT
Kini, masanya melakukan sai. Secara bahasa, sai berarti usaha. Dengan sai, jemaah membangun kesadaran penuh bahwa hidup itu adalah perjuangan. Hal ini diekspresikan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: “Al-hayaatu jihaadun (hidup itu adalah jihad)".
Seperti disebutkan terdahulu bahwa sai ini terkait dengan pencarian air Ibunda Hajar untuk menyambung hidupnya dan anaknya. Pencarian air ini bermakna usaha untuk kehidupan.
Sai menggambarkan banyak hal. Salah satunya menjadi karakter dasar Islam bahwa Islam bukan agama apatisme. Di satu sisi mengajarkan bahwa semua hal, termasuk rezeki ada di tangan Allah. Tapi di sisi lain juga menekankan: “Dan berbuatlah (bekerjalah). Sungguh Allah akan melihat amalmu, dan Rasul-Nya dan orang-orang yang Berlian”.
Bekerja menjadi “wasilah” yang bersifat kewajiban. Berkali-kali, amal menjadi perintah sadar dalam Alquran. Kita lihat di antaranya:
ADVERTISEMENT
“Maka barang siapa yang beramal walau sebesar dzarroh dari kebajikan niscaya akan dilihatnya (di akhirat) kelak”.
“Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh”.
“Dan jika salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di atas bumi dan carikan keutamaan (rezeki) Allah”.
Semua itu menggambarkan bahwa bekerja, berusaha, atau berjihad untuk membangun dunia ini adalah bagian dari kewajiban manusia. Sekaligus menjadi ajaran yang sejalan tabiat manusia yang dalam nalurinya memang ada panggilan untuk mencari rezeki.
Rasulullah SAW merupakan ketauladanan dalam bekerja. Beliau pernah jadi gembala. Beliau pernah jadi pedagang. Beliau menyinggung pertanian dalam bahasannya (hadisnya).
Dan yang terpenting beliau mengajarkan: “Sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang jika bekerja dilakukan dengan Itqan”. (Hadis).
ADVERTISEMENT
Agak susah menemukan terjemahan itqan ke dalam Bahasa Indonesia. Sebab, kata bersungguh-sungguh tidak mewakili makna kata ini secara mendalam. Tapi mungkin dalam bahasa barunya, itqan dapat diterjemahkan dengan kata “profesional”.
Profesional artinya ada kesungguhan hati. Tapi juga dilakukan bukan sembarangan dan asal-asalan. Melakukannya dengan ilmu, teliti, dan hingga tuntas.
Hal penting lainnya dari sai adalah bahwa sehebat atau seprofesional apapun kita dalam melakukan pekerjaan, pada akhirnya harus diyakini bahwa pada akhirnya bukan kita yang menentukan hasil.
Hasil dalam arti berapa, bagaimana, bentuknya apa, di mana, dan seterusnya. Karena semua itu ada dalam genggaman yang mencipta langit dan bumi.
Karenanya, Bunda Hajar berlari keliling dua ujung bukit (Shofa dan Marwa) untuk mendapatkan rezeki penyambung hidup. Pada akhirnya, yang menentukan juga bagaimana dan di mana bentuk rezeki itu adalah Dia memiliki langit dan bumi.
ADVERTISEMENT
Air itu bukan di Shofa. Tidak juga di Marwa. Tapi air itu menyembur justru dari bawah kedua kaki bayinya, Ismail As. Itulah asal-usul sumur Zamzam yang diminum bahwa dibawa pulang ke negeri asal jutaan manusia setiap tahunnya.
Keyakinan seperti ini menjadi sangat urgen dalam hidup manusia karena kerap kali manusia merasa sebagai superman. Seolah, mereka yang menentukan segala bentuk peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
Akibatnya ketika berhasil, manusia seperti itu menjadi angkuh. Seolah dunia berada dalam genggamannya. Berkuasa bagaikan Fir’aun. Kaya bak Qarun.
Sebaliknya jika gagal mereka “sakit hati”, meradang seolah dunia menjadi gelap gulita tiada harapan lagi. Bahkan lebih berbahaya lagi ketika “sakit hati” itu terlampiaskan dengan perasaan terancam dan “perih” dengan keberhasilan orang lain.
ADVERTISEMENT
Maka sai mengajarkan jangan tanggung-tanggung, jangan setengah hati dalam mencari rezeki-Nya. Tapi percayalah, Yang Maha Pemberi Rezeki itu adalah Pemilik langit dan bumi.
Percayalah bahwa sehebat apapun dan sepintar apapun anda dalam bekerja mencari rezeki Allah, Dia Yang Mahatahu apa dan bagaimana kebutuhan anda.
Karenanya, jangan pernah merasa jadi superman. Biarkan anda bergerak, mengayuh sebaik mungkin menuju harapan dan impianmu. Tapi biarlah Allah yang menentukan apa, kapan, dan bagaimana mimpi itu terwujudkan.
Mina, 11 Agustus 2019
*Presiden Nusantara Foundation