Isra Mikraj di Era COVID-19

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
10 Maret 2021 20:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi pixabay.com
ADVERTISEMENT
Berhubung karena lagi di perjalanan, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menulis bersambung tentang Isra Mikraj dalam berbagai sudutnya. Minimal saya akan menuliskan 12 pelajaran penting dari peristiwa Isra Mikraj ini.
ADVERTISEMENT

Merespons mereka yang ragu atau ingkar

Sebelum saya memasuki aspek-aspek penting dari Isra Mikraj, saya ingin merespons kepada pihak-pihak yang berusaha mengaburkan, bahkan membangun keraguan tentang peristiwa agung dalam sejarah Islam ini. Bahkan mereka dengan penuh percaya diri (istilah positif) atau penuh keangkuhan (istilah negatif) mengingkari eksistensi Isra Mikraj yang telah menjadi konsensus Umat selama ini.
Saya memulai dengan mengutip ayat yang populer tentang Perjalanan suci Rasulullah SAW ini:
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya dari masjidil haram ke masjidil Aqsa, yang Kami telah berkahi di sekitarnya. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar lagi Maha melihat" (Al-Isra).
Pada umumnya masyarakat awam ketika mendengar kata Isra dan Mikraj hanya berpatokan kepada satu ayat Al-Quran, Surah Al-Isra atau Surah Bani Israil ayat satu. Mereka gagal memahami bahwa Al-Quran dalam menyampaikan informasi tentang Al-Haq (kebenaran) tidak memakai rentetan ayat per ayat atau surah per surah. Justru terkadang sebuah masalah hanya menjadi tuntas jika dipahami secara menyeluruh dan sempurna berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain ada juga pihak-pihak yang mencoba merendahkan posisi Sunnah atau hadis-hadis dalam upaya memahami kebenaran. Seolah hadis-hadis karena sekadar diatributkan ke Rasulullah SAW tidak dapat dijadikan sebagai basis kesimpulan tentang sebuah kebenaran.
Akibatnya dalam hal Isra Mikraj ada sekelompok manusia yang merasa pintar, kemudian mengingkari kebenarannya. Mereka kemudian memberikan penafsiran-penafsiran seenak hawa nafsunya sendiri berdasarkan analisa otaknya yang sempit. Dengan otak hawa nafsu itu mereka kemudian menafikan kebenaran Isra, apalagi Mi'raj.
Pemikiran hawa nafsu itu mengatakan bahwa Isra itu sendiri sesungguhnya bukan ke Jerusalem. Tapi perjalanan Rasulullah SAW dari masjidil haram ke masjidil Aqsa. Aqsa yang dimaksud adalah "tempat yang jauh". Sehingga ayat itu dipahami secara terbuka. Bukan secara spesifik Jerusalem. Sebagian memahaminya jika Isra pada ayat itu merujuk kepada Perjalanan atau Hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah.
ADVERTISEMENT
Pendapat ini batal sekaligus batil dalam banyak hal. Pertama, kalau yang dimaksud adalah Hijrah Rasul, maka saat itu belum ada masjid di Madinah. Justru masjid pertama yang didirikan oleh Rasul di Madinah adalah masjid Kuba. Kedua hijrah bukan dari masjidil haram awalnya. Tapi dari rumah baginda menuju Gua Tsur lalu ke Madinah.
Mereka kemudian mengingkari eksistensi Mi'raj karena menurutnya tidak disebutkan dalam Al-Quran. Benarkah tidak disebutkan dalam Al-Quran?
Boleh jadi secara literal tidak disebutkan di mana-mana. Tapi memahami ayat-ayat yang diketahui ada relevansinya dengan peristiwa ini menjadikan para Ulama Salaf dan Khalaf sepakat bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut adalah peristiwa Mikraj (perjalanan ke atas) atau vertikal Rasulullah SAW.
Mari kita lihat lebih rinci beberapa keraguan orang terhadap Isra dan Mikraj Rasulullah SAW. Baik dari argumentasi rasionalitas, maupun dasar-dasar Syar'i dari Al-Quran, Sunnah maupun interpretasi para ulama Islam yang mu'tabar (menjadi rujukan Umat).
ADVERTISEMENT
Pertama, benarkah peristiwa Isra Mikraj ini tidak rasional atau tidak masuk akal?
Ada dua hal yang harus kita bedakan ketika kita bersentuhan dengan sesuatu yang berkaitan dengan rasionalitas manusia. Satu, ada hal-hal yang memang tidak rasional. Dua, ada juga hal-hal yang sejatinya rasional, hanya saja akal manusia tidak mampu memahaminya.
Yang pertama adalah hal-hal yang memang secara sederhana dipahami oleh akal. Ambillah sebagai misal 1+1=2. Akal memahaminya secara pasti tanpa penafsiran. Tapi ketika 1+1+1 dipaksakan sama dengan 1, lalu dipaksakan menjadi sebuah konsep yang harus diterima sebagai realita umum maka hasilnya terjatuh ke dalam istilah irrational (tidak masuk akal).
Sementara yang kedua adalah hal-hal yang karena tabiatnya memang kompleks, apalagi bersentuhan dengan isu-isu teologis yang rana dominannya ada pada hati. Hal-Hal seperti itu bukan tidak rasional atau tidak masuk akal. Hanya saja rasionalitas atau akal manusia sangat terbatas memahaminya.
ADVERTISEMENT
Ambillah contoh lain selain Isra Mikraj. Kebangkitan dari kubur misalnya. Kalau saja kita memaksakan diri untuk memahaminya dengan akal tentang bagaimana kebangkitan dari kubur itu, kemungkinan besar manusia akan mengingkarinya atau manusia menjadi gila. Kesimpulannya, kebangkitan itu bukan tidak masuk akal. Hanya saja akal manusia sangat terbatas untuk memahaminya.
Demikian halnya dengan Isra Mikraj. Bukannya tidak masuk akal. Hanya saja akal manusialah yang terbatas dan tidak mampu memahami segala rincian teknis dari prosesnya.
Saya kira landasan terbesar dari rasionalitas Isra Mikraj adalah bahwa Perjalanan itu memang "aktornya" (pelaku) adalah Allah. Muhammad SAW adalah objek yang diperjalankan. Dan kalau dalam suatu hal Allah sebagai pelaku, apakah hal itu dapat dikategorikan tidak masuk akal?
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya Isra Mikraj sangat rasional karena Allah yang tidak terbatas kemampuan dan ilmu itu mampu melakukan segala hal yang tidak bertentangan dengan tabiat diriNya sendiri.
Mungkin dalam hal ini ada saja yang mencoba bermain api dan mengatakan bahwa kalau memang Tuhan tidak memiliki batas dalam kemampuan dan ilmu, berarti Tuhan bisa menjadikan diriNya dalam wujud manusia?
Jelas ini tidak rasional. Karena kontra terhadap kekuasaan dan tabiatNya Sebagai Tuhan. Bahwa Tuhan itu tidak punya keterbatasan. Tapi di sisi lain Tuhan tidak akan melakukan sesuatu yang justru menjatuhkan dirinya kepada keterbatasan. Mewujudkan diriNya menjadi makhluk berarti menjadikan Allah terbatas. Maka di sini terjadi "self contradictory" atau paradoks dari ketuhanan itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kedua, benarkah Al-Quran tidak menyebutkan Mi'raj sama sekali?
Kekeliruan para pengingkar Isra Mi'raj adalah karena mereka membaca satu ayat Al-Quran tanpa mencoba menelusuri rimba ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Quran. Mereka dengan sangat simplistik mengambil kesimpulan tanpa pendalaman. Maka pada umumnya mereka hanya membaca ayat pertama dari Surah Al-Isra untuk mengambil kesimpulan.
Padahal jika mereka mencoba mengkaji Al-Quran lebih jauh akan mereka dapati beberapa ayat lain dalam Al-Quran yang sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasulullah SAW. Lihat misalnya Surah yang sama (Al-Isra) ayat 12-18.
Allah menegaskan: "Maka apakah kamu akan membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya (Jibril dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. Yaitu di sisi Sidratul Muhtaha. Di dekatnya Ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihatnya) ketika di Sidratul Muntaha ditutupi oleh sesuatu yang menutupi. Penglihatannya (Muhammad) tidak menyalahi dari apa yang dilihatnya atau melebih-lebihkan. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang besar".
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa ahli yang menyebutkan hal ini dalam kajian tafsirnya.
Tafsir Al-Mukhtashor: dan sesungguhnya Muhammad SAW telah melihat kembali Jibril dalam bentuk aslinya di malam isra Mi'raj.
Zubdatut Tafsir: Yakni Muhammad telah melihat Jibril dalam rupanya yang asli pada waktu yang lain. Yaitu ketika malam Isra Mi'raj.
Untuk menguatkan itu, para ahli tafsir kemudian mengaitkan kata melihat itu dengan kalimat: di sisi Sidratul Muntaha.
Tafsir Al-Mukhtashor: Sidratul Muntaha yaitu pohon besar sekali berada di langit ketujuh.
Dan banyak lagi tafsiran yang menguatkan bahwa ayat 12-18 dari Surah Al-Isra itu menegaskan bahwa interaksi langsung yang terjadi antara Muhammad dan Jibril itu bukan di bumi. Tapi di Sidratul Muntaha yang Allah Maha Tahu rinciannya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak perlu menuliskan lagi semua ayat-ayat Al-Quran tersebut. Tapi untuk memudahkan bagi para pengingkar, saya tuliskan beberapa ayat lagi untuk menjadi rujukan, antara lain: Surah An-Najm:15 dan Surah Al-Isra: 60. Juga Surah At-Takwir: 23.
Sekali lagi, menyimpulkan bahwa Al-Quran tidak menyebutkan sama sekali peristiwa Mikraj Rasulullah SAW adalah kecerebohon dan kebodohan bahkan keangkuhan. Kenyataannya Al-Quran dipahami secara baik akan di dapati ayat-ayat yang secara langsung sangat relevan dengan peristiwa Mi'raj Rasululllah SAW.
Ketiga, salah satu juga alasan yang dipakai sebagian mereka yang mengingkari Mi'raj Rasul adalah karena menganggap dengan naiknya Muhammad SAW kita menentukan tempat Allah di langit. Padahal Allah itu di mana saja akan bersama kita. Dengan kata lain Allah itu tidak terbatas oleh ruang (tempat) dan tentu juga waktu.
ADVERTISEMENT
Konsep bahwa Allah tidak dibatasi oleh ruang atau tempat benar. "Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada" (Al-Quran). Tapi salahkah ketika Allah ingin menerima hambaNya yang mulia (abduhu) di alam tertinggi (Sidratul muntaha)? Penyebutan Sidratul Muntaha sama sekali tidak bermaksud sebagai pembatasan tempat Allah SWT.
Ada banyak hadis-hadis mutawathir yang menyebutkan proses Perjalanan Rasulullah SAW secara vertikal (Mi'raj) pada malam itu. Satu di antaranya adalah dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan:
"Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seolah meminta pendapat mengenai itu (jumlah rakaat sholat). Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: Iya. Bila kamu menghendaki keringanan untuk itu. Lalu nabi naik kepada Rabb sedangkan dia (nabi) di tempatnya dan berkata: ya Rabb, ringankanlah untuk kami. Sesungguhnya Umatku tidak mampu melakukan ini" (HR Bukhari).
ADVERTISEMENT
Imam Al-Asqalani menyebutkan: bahwa kalimat "dan dia pada tempatnya" maksudnya tempat Muhammad ketika menerima perintah awal salat. Yaitu di Sidratul Muntaha.
Saya tidak ingin menyebutkan lagi semua riwayat hadis yang menguatkan Perjalanan vertikal (Mikraj) Rasulullah SAW. Tapi intinya adalah bahwa mengingkari peristiwa Mikraj boleh jadi tanpa disadari justru pengingkaran kepada ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Saya hanya ingin tegaskan sekali lagi bahwa ketidakmampuan dan keterbatasan akal manusia memahami peristiwa ini bukan alasan untuk anda mengatakan bahwa peristiwa Isra dan Mikraj itu tidak rasional atau tidak masuk akal.
Jangan-jangan ketika anda dengan serta merta mengambil kesimpulan seperti itu justru akal anda sedang bermasalah. Atau memang anda sedang terjangkiti keangkuhan yang dihiasi oleh perasaan paling rasional. (Bersambung....).
ADVERTISEMENT
Udara JKT-Doha, 10 Maret 2021
**Imam Shamsi Ali
* Presiden Nusantara Foundation USA