news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Papua dan Ancaman Disintegrasi

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
2 September 2019 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Papua Kota Bogor menggelar aksi damai di Tugu Kujang, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Mahasiswa Papua Kota Bogor menggelar aksi damai di Tugu Kujang, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (21/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hari terakhir ini, kekisruhan di Papua, bahkan disertai kekerasan, menjadi isu hangat di Tanah Air. Konon kabarnya kekerasan-kekerasan yang terjadi, khususnya di tanah Papua, telah menelan korban bahkan dari kalangan TNI dan Polri sendiri.
ADVERTISEMENT
Dikabarkan bahwa pemicu awal dari kekisruhan dan kekerasan itu adalah insiden yang diyakini sebagai perlakukan rasisme beberapa warga atau pejabat daerah di Surabaya. Tuduhan tindakan rasisme itu pun merambat ke beberapa daerah, dan puncaknya ke tanah Papua sendiri.
Isu Papua sesungguhnya bukan isu baru. Bahkan sejujurnya adalah sebuah isu tersensitif bangsa, sekaligus ancaman terbesar dalam konteks NKRI dan disintegrarsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sensitivitas isu Papua karena Papua memang punya latar belakang sejarah tersendiri dalam tatanan sejarah perjalanan negeri. Selain itu karena Papua memiliki inklinasi mentalitas yang mungkin saja berbeda dari daerah-daerah lain di negeri ini.
Ancaman terbesar disintegrasi karena Papua memang sejarahnya diincar oleh beberapa bangsa besar lain yang punya kepentingan. Selain karena kekayaan alamnya, juga Papua bisa menjadi sebuah lokasi strategis bagi mereka yang berada dalam lingkaran pertarungan global.
ADVERTISEMENT
Kesemua itu seharusnya menjadikan bangsa ini, terlebih lagi mereka yang memiliki otoritas pemerintahan, untuk meresponsnya secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Tentu dengan memperhatikan segala aspek yang terkait sehingga respons tidak seharusnya melahirkan permasalahan-permasalahan baru.
Selama ini, kita kenal bahwa adanya ancaman disintegrasi disebabkan oleh ketidakadilan pembangunan. Contoh yang paling konkret misalnya adalah kasus Aceh ketika itu. Solusinya adalah ada permasalahan pembagian hasil daerah yang selama ini cenderung dimanipulasi oleh pusat.
Tapi Papua nampaknya lain. Kita memang mengenal bahwa kekayaan Papua selama ini banyak diperkosa oleh perusahaan asing. Salah satunya adalah perusahaan Freeport yang seolah mendirikan kota sendiri di negara Indonesia.
Tapi apakah karena itu warga Papua cenderung untuk memperjuangkan kemerdekaan daerahnya? Rasanya tidak juga. Karena klaim yang kita dengarkan selama ini pembangunan daerah Papua begitu besar dalam lima tahun pemerintahan Jokowi.
ADVERTISEMENT
Saya melihat ada dua faktor yang menjadikan isu Papua semakin sensitif. Faktor pertama adalah faktor internal. Yaitu adanya asumsi yang dikembangkan bahwa Indonesia semakin terancam oleh bangkitnya kekuatan siapa yang disebut oleh dunia Barat sebagai kaum Islamis.
Papua dengan sendirinya yang juga dipersepsikan sebagai daerah yang secara otonomi memiliki hak klaim sebagai “daerah Kristen” semakin merasa terancam pula. Maka tidak heran jika ada negara-negara yang memiliki perasaan yang sama atau terancam kaum Islamis membangun solidaritas dengan Papua. Salah satunya yang kita lihat selama ini adalah Israel, yang merasa terancam oleh umat Islam, benderanya tidak malu-malu ditampilkan di bumi Indonesia itu yang anti-penjajahan.
Faktor internal ini justru disebabkan oleh politisasi isu-isu Islam, termasuk isu berdirinya khilafah yang berlebihan. Sehingga tidak mengejutkan respons yang diberikan kepada “so-called” ancaman khilafah jauh lebih serius ketimbang ancaman lepasnya Papua yang tidak lagi malu-malu mendengungkan “Papua Merdeka”.
ADVERTISEMENT
Faktor kedua adalah faktor eksternal. Yaitu adanya kekuatan-kekuatan luar yang punya kepentingan. Tidak saja kepentingan ekonomi dengan kekayaan daerah Papua. Tapi juga Papua bisa menjadi lokasi yang strategis baik secara politik global, bahkan militer dunia.
Semua ini sekali lagi seharusnya disikapi secara serius oleh pemerintah. Jangan sampai dipandang enteng sehingga isunya tidak lagi bisa terkontrol. Indonesia perlu tegas ketika sudah menyangkut Kesatuan Negara RI. Bukankah selama ini istilah NKRI adalah memang harga mati?
Terlebih lagi bahwa dalam konteks hubungan internasional, saat ini Indonesia memiliki posisi yang cukup strategis. Indonesia merupakan anggota Dewan Keamanan tidak tetap PBB. Artinya ada peluang untuk menyarakan itu secara lebih lantang lagi di arena Internasional.
ADVERTISEMENT
Akhirnya ke dalam negeri jangan sampai juga tumbuh kesalahpahaman mengenai respons pemerintah kepada apa yang disebut ancaman disintegrasi itu. Persepsi yang dikembangkan jika “radikalisme” kelompok Islam membahayakan NKRI direspons begitu serius dan sungguh-sungguh. Tidak tanggung-tanggung dengan tangan besi sekalipun.
Tapi ketika kelompok separatis di Papua menyuarakan Papua Merdeka secara terbuka dan tanpa malu, disikapi dengan saling memaafkan dan cinta. Bahkan saya dengar bendera Papua Merdeka sempat ditampilkan (dikibarkan?) di depan Istana Negara?
Apakah itu strategi baru untuk menyelesaikan isu-isu separatisme dalam negeri? Atau apakah itu merupakan demonstrasi “penganaktirian” sebagian warga dan “penganakemasan” sebagian yang lain?
Rakyatlah yang akan menilai. Harapan kita semoga Allah menjaga bangsa dan negara ini dari ancaman disintegrasi. Aamiin!
ADVERTISEMENT
Udara Makassar-Jakarta, 31 Agustus 2019