Konten dari Pengguna

Popularitas Dr. Craig Considine dan Komunitas Muslim Amerika

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
3 November 2022 22:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pekerja proyek saat salat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja proyek saat salat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Banyak kalangan yang bertanya sejak kapan dan dari mana saya mengenal Dr. Craig Considine, seorang professor yang saat ini sangat populer di kalangan Komunitas Muslim, tidak saja di US, tapi juga di berbagai belahan dunia Islam. Beliau menjadi populer karena kualitas kecendekiawanan (Scholarship) dan kegigihan mencari ilmu (tholabul ‘ilm).
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kesimpulan yang dia telah capai hingga saat ini, Dr. Considine telah memecahkan es (breaking the ice) dalam dunia keilmuan ketika sampai kepada kebenaran tentang “the other” (orang lain). Hal ini yang membawanya kepada kesimpulan bahwa Muhammad (SAW) adalah Nabi dan utusan Tuhan. Dia mencintainya sebagai role model (tauladan), khususnya dalam aspek-aspek kemanusiaan (humanity) dan sosial. Bahkan dia memposisikan diri sebagai “Muslim apologist” (seorang pembela Rasulullah dan ajarannya).
Kata-kata “mengimani, mencintai, dan membela” bagi saya adalah pengakuan yang perlu diapresiasi dari seseorang yang terbuka mengaku Kristen. Hati manusia tidak diketahui dan tidak terukur. Allah-lah yang mengarahkan dan menentukan kemudian apa dan bagaimana seseorang dalam keimanan.
Kali ini bukan itu yang akan saya bahas lagi. Tapi sedikit latar belakang dari mana, di mana, dan bagaimana saya mulai mengenal Dr. Craig Considine yang ahli di bidang sociologi ini. Kenapa tiba-tiba saja saya dekat, bahkan saling mendukung dalam upaya membangun jembatan kesepahaman (bridge of understanding) untuk dunia yang lebih damai.
Wisatawan di Patung Liberty, Amerika Serikat Foto: Shutter Stock
Awal dari semua itu telah cukup lama. Di sekitar tahun 2006 lalu, ketika saya masih seorang Imam di Islamic Cultural Center of New York (96th Street mosque), saya mendapat kunjungan kehormatan dari Professional Akbar Ahmed. Beliau adalah mantan Dubes Pakistan ke Inggris yang belakangan menjadi Chair Ibnu Khaldun Institute dan professor ilmu-ilmu Islam dan sosiologi di Washington University. Kehadiran beliau ketika itu untuk mewawancarai saya tentang “American Muslim” untuk proyek buku yang beliau tulis: A Journey to America.
ADVERTISEMENT
Beliau saat itu hadir di kita New York. Selain mewawancarai, saya juga hadir di Muslim Day Parade atau Parade Islam yang saya ketuai. Beliau juga ditemani oleh dua orang mahasiswanya. Salah satunya adalah mahasiswa muda yang bertugas mengambil gambar atau video. Mahasiswa itulah yang di kemudian hari menjadi Prof. Craig Considine, Ph.D.
Sebagai seorang mahasiswa saat itu yang sedang bertugas menemani professornya tentu saya tidak terlalu peduli. Fokus saya adalah memberikan perhatian kepada Prof. Akbar Ahmed yang saya anggap sangat populer dan honorable (dihormati). Considine muda hanya seorang mahasiswa yang bertugas memegang kamera miliki sang professor.
Sejak itu kami tidak pernah lagi berkomunikasi apalagi bertemu. Hampir 10 tahun kemudian, sekitar tahun 2016, saya membaca sebuah artikel tentang Rasulullah (SAW) yang ditulis oleh seorang Professor non Muslim. Artikel itu begitu indah dan jujur, mendorong saya untuk mencari tahu siapa gerangan sang penulis; Craig Considine.
ADVERTISEMENT
Saya pun mulai mencari tahu. Pihak pertama yang saya tanya adalah Prof. Google. Ketika saya tanya Google, dengan semangatnya si Google memberikan jawaban yang banyak. Termasuk bio data, afiliasi, hingga ke media sosialnya.
Awalnya saya tidak yakin Craig akan merespons. Siapalah saya. Hanya seorang aktivis jalanan yang tidak dikenal. Bukan seorang cendekiawan (ilmuwan). Bukan juga akademisi. Karenanya saya coba saja menghubungi lewat media sosialnya. Kalau tidak salah menelusuri twitter dan FB miliknya. Saya semakin kagum karena keberanian dan kejujurannya sebagai non Muslim.
Ilustrasi pria muslim sedang salat. Foto: Shutter Stock
Di luar dugaan saya, tidak berselang lama setelah saya mengirim DM (direct message) beliau merespons di kedua platform itu. Tidak sekadar menjawab. Tapi mengenalkan diri sebagai pengagum (entah apa yang dikagumi). Dalam respons ketika itu beliau sampaikan: “Imam Ali, thank you for reaching out to me. I am one of your fans. I know you, but you don’t know me. I am the student who came to meet you along Dr. Akbar Ahmed some years ago…etc”.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita lagi, beliau mengenalkan diri bahwa beliau sedang mendalami tantang kehidupan Muhammad (the life of Muhammad) dari aspek sosiologi. Dan beliau sedang menyelesaikan penulisan sebuah buku tentang Nabi Muhammad (SAW). Bahkan meminta saya menjadi salah seorang yang menuliskan testimoni bagi buku beliau jika nantinya diterbitkan. Dan saya lakukan itu.
Di tahun 2018 lalu saya undang Dr. Conside menjadi pembicara utama di acara tahunan Nusantara. Beliau bahkan sangat senang dan bahagia dengan undangan itu. Lalu di tahun 2022 ini, setelah dua tahun absen karena covid, beliau hadir tidak sekadar jadi narasumber. Tapi beliau menjadi recipient (penerima) Nusantara Award 2022.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa hidup manusia itu seringkali tidak diprediksi. Hari ini tidak dikenal, bahkan tidak ada yang mau mengenalnya. Di esok hari menjadi terkenal dan banyak yang ingin mengenalnya. Dr. Considine dikenal dan terkenal karena karya-karya dan inovasi di bidang keilmuan. He deserves it. For that, congratulations my friend!
ADVERTISEMENT
NYC Subway, 3 Nopember 2022
* Presiden Nusantara Foundation