Puasa Itu Kunci Terkabulnya Doa (9)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
14 Mei 2019 15:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Umat muslim membaca Alquran di Masjid Al Markaz Al Islam, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (8/5). Foto: Antara/Abriawan Abhe
zoom-in-whitePerbesar
Umat muslim membaca Alquran di Masjid Al Markaz Al Islam, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (8/5). Foto: Antara/Abriawan Abhe
ADVERTISEMENT
“Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadaMu tentang Aku, sampaikan bahwa Aku sangat dekat. Aku menerima doa siapa yang meminta jika meminta kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi segala ajakanKu dan mengimaniKu. Semoga mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186).
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang menarik ketika Alquran menyampaikan tentang puasa. Ayat-ayat tentang puasa ada di surah Al-Baqarah antara 183-187. Tapi menariknya, ada satu ayat yang ditempatkan di antara ayat-ayat itu, selintas nampak tidak ada relevansinya dengan puasa itu sendiri. Ayat itu yang saya kutip di awal tulisan ini.
Pada ayat itu, ada dua poin penting yang disampaikan oleh Allah kepada hamba-hambaNya.
Pertama, “Dan jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, sampaikan bahwa Aku dekat”.
Sebuah penekanan kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam untuk meyakinkan umatnya bahwa Allah itu benar-benar dekat kepada mereka. Tentu penekanan ini sekaligus menandakan perhatian Allah kepada hamba-hambaNya. Perhatian yang menggambarkan kasih sayang (rahmah) Allah SWT.
Pertanyaannya, kenapa kedekatan ini secara khusus diungkapkan di tengah-tengah ayat yang membicarakan puasa? Jawabannya karena memang di sinilah relevansi antara puasa dan kedekatan (al-Qurbah) dengan Allah. Bahwa puasa memang adalah ibadah yang menjadi instrumen terefektif dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
ADVERTISEMENT
Selain memang puasa adalah ibadah yang paling “personal” antara seorang hamba dan Penciptanya, puasa juga bermakna menekan atau mengesampingkan hawa nafsu duniawi. Dan pengekangan terhadap hawa nafsu inilah yang menjadi kunci taqarrub (kedekatan) dengan Allah.
Hal itu demikian karena Alquran sendiri mengingatkan bahwa kendala terbesar dalam membangun relasi dengan Rabb, dan dalam mengingatNya (dzikr) adalah “berlebihan dalam mencintai dunia”.
Berlebihan yang dikenal dalam bahasa Alquran sebagai “iitsaar al-hayat ad-dunya”.
Surah Al-A’la menegaskan: “Beruntungkah dia yang mensucikan diri. Dan mengingat Asma Tuhannya dan salat. Tapi kamu berlebihan dalam hidup dunia. Sedangkan akhirat itu lebih baik bagi kamu.” (Alquran).
Kegagalan manusia dalam mengingat Allah dan menegakkan salat (dalam arti menjaga hubungan) denganNya adalah karena hatinya telah tertutupi oleh kecintaan dunia. Cinta dunia yang berlebihan itu menjadikan hatinya kehilangan sensitivitas keilahian, tumpul dalam zikir.
ADVERTISEMENT
Ketika hati telah kehilangan sensitivitas Ilahi, tumpul dalam mengingat Allah, maka dengan mudah terjatuh ke dalam dosa-dosa dan kesalahan. Dosa-dosa inilah yang kemudian menjadi “hijaab” kedekatan antara seorang hamba dan Rabb-nya.
Oleh karena substansi puasa adalah menekan hawa nafsu dunia sementara menjadikan puasa sebagai kunci kedekatan dengan Allah SWT (Al-Qurba minallah).
Kedua, konsekuensi langsung dari kedekatan tadi adalah “Aku mengabulkan doa hamba yang meminta”.
Maknanya, ketika sudah terjalin kedekatan antara hamba dan Tuhannya, maka doa-doanya akan terkabulkan. Kedekatan itu menjadikan tiada lagi hijab antara dia dan Tuhannya. Sehingga dengan sendirinya doa dan permohonannya mudah dikabulkan.
Memang tidak dapat diingkari bahwa jika seorang hamba berdoa dengan ikhlas dan manis hati, Insya Allah dikabulkan. Allah menjamin hal itu: “Mintalah kepadaKu, niscaya Aku kabulkan” (Alquran).
ADVERTISEMENT
Yang menjadi masalah kemudian adalah ketika kita berdoa, kerap kali ada ketidakseriusan. Meminta tapi di sisi merasa bahwa doa itu “outcome”-nya (hasilnya) ditentukan oleh dirinya sendiri.
Atau terkadang pula meminta tapi sekaligus mendikte Allah sesuai dengan keinginannya. Padahal harusnya orang meminta itu tahu diri. Meminta itu bukan memerintah, apalagi memaksa.
Di sinilah Allah mengingatkan: “Maka hendaklah mereka memenuhi segala ajakanKu dan beriman kepadaKu”.
Memenuhi ajakan Allah untuk meminta dan memenuhi prasyarat permintaan itu. Jika anda meminta sesuatu dari atasan anda maka kemungkinan prasyarat untuk dia kabulkan permintaan anda adalah lakukan tugas dengan baik. Jadilah bawahan yang baik, disiplin, rajin, profesional, komitmen, berkarakter, dan seterusnya.
Demikian pula ajakan Allah sebagai prasyarat terpenuhinya atau terkabulkannya doa. Jadilah hamba yang baik, taat, penuh komitmen, dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ajaranNya. Sebab, “Bagaimana mungkin doanya dikabulkan jika makanan, minuman, pakaian dan semuanya yang dilakukannya haram” (Hadis).
ADVERTISEMENT
Lalu Allah juga mengingatkan: “Dan hendaklah mereka percaya kepadaKu” (Alquran).
Kerap kali kita berdoa tapi setengah percaya jika Allah menerima doanya. Percayalah Allah itu menyikapi hambaNya sesuai prasangka hamba itu. Kalau berprasangka Allah jauh, Allah menjauh. Tapi jika sebaliknya berprasangka Allah itu dekat, Allah lebih mendekat dari yang disangkakan.
Oleh karenanya “trust” atau percaya dengan kekuasaan dan kemahabijakan Allah dalam memberikan apa yang kita minta adalah prasyarat terkabulnya doa.
Jangan sampai berdoa tapi bermentalitas Superman. Minta tapi merasa yang menentukan adalah diri sendiri.
Kesimpulannya, di bulan puasa ini, mari perbanyak doa. Karena di bulan inilah kita ber-mujahadah mendekatkan diri kepada Allah dengan proses menahan nafsu duniawi kita. Dan dengan kedekatan itu “doa orang yang berpuasa tidak ditolak” (Hadis). Insya Allah!
ADVERTISEMENT
Bratislava-Slovakia, 14 Mei 2019