A Man Called Ahok: Ia yang Dikultuskan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
13 November 2018 11:32 WIB
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster film Ahok 'A Man Called Ahok' (Foto: Facebook/AhokBTP)
zoom-in-whitePerbesar
Poster film Ahok 'A Man Called Ahok' (Foto: Facebook/AhokBTP)
ADVERTISEMENT
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
Siapa yang tak kenal Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini sedang menjalani sisa masa hukuman lantaran divonis bersalah atas kasus penodaan agama? Ahok dipuja sebagian masyarakat, sekaligus dicela sebagian masyarakat lainnya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari vonis bersalah yang dijatuhkan padanya lewat putusan Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarso, kita tahu dan sama-sama pernah menyaksikan betapa kooperatifnya dia selama masa penyidikan hingga persidangannya, tak ada usaha mangkir sekalipun untuk menunda atau mengganggu proses hukum yang menjeratnya. Padahal bila mau, ia bisa saja melakukannya, seperti apa yang biasa dilakukan pejabat-pejabat lain di negeri ini.
Bahkan, saat para relawan mendatangi Mako Brimob di Depok untuk menyampaikan dukungan moril dan doa baginya, ia sendiri malah meminta kepada mereka untuk bubar agar tak mengganggu ketertiban umum. Padahal bila ia mau, bisa saja ia gunakan kesempatan itu untuk membuat gaduh keadaan, mempolitisasinya. Tetapi tidak.
A Man Called Ahok garapan Putrama Tuta (Catatan Harian si Boy, Noah Awal Semula) yang didasarkan pada buku berjudul sama tulisan Rudi Valinka alias Kurawa ini, dibuka dengan rekaman suara asli Ahok ketika sedang meminta para pendukungnya yang berdatangan ke Mako Brimob untuk membubarkan diri. Lewat suara seraknya yang khas itu, kita dapat merasakan kegetiran sekaligus wibawa seorang negarawan--bukan politisi.
ADVERTISEMENT
Semula saya menduga, karena adegan pembukanya demikian, film akan mengambil latar cerita manakala Ahok terkena jerat kasus penodaan agama, tetapi selepas suara rekaman asli Ahok itu selesai diperdengarkan, kita malah dibawa jauh ke masa lalu, ke Gantong, Kepulauan Belitung Timur, manakala Ahok masih remaja. Konon katanya, film ini dibuat bukan sebagai "film politik" atau film yang mengandung muatan politik. Namun, apakah memang demikian?
Ahok (versi remaja diperankan Eric Febrian, versi dewasa diperankan Daniel Mananta), dikisahkan mewarisi sifat jujur dan sifat-sifat terpuji lainnya dari sang ayah, Tjung Kim Nam alias Indra Tjahaja Purnama (versi muda diperankan Denny Sumargo, versi tua diperankan Chew Kin Wah). Kim Nam adalah sosok teladan bagi anak-anaknya, terlebih bagi Ahok yang memang menapaki jalan hidupnya dengan prinsip dari sang ayah, misalnya tentang kejujuran dan sifat dermawan yang diwarisinya.
Jumpa Pers film A Man Called Ahok. (Foto: Munady Widjaja)
zoom-in-whitePerbesar
Jumpa Pers film A Man Called Ahok. (Foto: Munady Widjaja)
Kim Nam memiliki usaha tambang, dan merupakan orang terpandang di kampungnya. Sehari-hari selalu ada saja warga kampung yang mendatangi rumahnya dan meminta pertolongannya, seperti untuk biaya pengobatan atau sekadar untuk biaya makan. Yang sering mendatanginya bukan dari sesama kalangan etnis Tionghoa, dan Kim Nam selalu memberi bantuan yang diminta kepadanya, bahkan ketika kondisi keuangannya sedang buruk pun tak menjadi penghalang untuknya tetap berderma.
ADVERTISEMENT
“Kita tak pernah kekurangan kan, Bu?” Argumennya kepada sang istri (diperankan Eriska Rein dan Sita Nursanti) yang kerap mengkhawatirkan kondisi keuangan keluarga, terlebih ketika usaha tambang yang dikelola Kim Nam diganggu oleh seorang aparat yang korup, hingga nyaris membuat bangkrut usaha keluarganya tersebut.
Satu kali Kim Nam tak kuasa menolong seorang ibu (diperankan Dewi Irawan) yang meminta uang untuk biaya pengobatan entah cucu atau anaknya, Kim Nam amat terpukul seolah beban hidup orang lain itu mesti dipikulnya sendirian. Air matanya mengalir deras.
Yang tak ia tahu (tetapi akan ia ketahui kemudian), Ahok ternyata menolong si ibu tersebut, memberinya uang tabungannya ditambah uang dari celengan adiknya yang ia paksa pecahkan. Begitulah narasi yang ingin dibangun film ini bahwa pribadi Ahok yang kita kenal selama ini ternyata ditempa oleh sang ayah.
ADVERTISEMENT
Kim Nam sering memberi petuah-petuah patriotis kepada anaknya yang masih remaja itu. “Jadi dokterlah, Nak. Bangun rumah sakit biar bisa bantu banyak masyarakat di sini.” Lain kali, “Jangan pernah berhenti mencintai negerimu ini, Hok!” Disambung lagi dengan kalimat begini, “Orang miskin tidak bisa melawan orang kaya. Orang kaya tidak bisa melawan penguasa.”
Seolah arwah-arwah para pendiri bangsa ini bersemayam pada diri Kim Nam. Nyaris tak ada obrolan yang membumi di antara ayah-anak ini, tak ada obrolan-obrolan remeh, obrolan sederhana bersahaja khas keseharian kita pada umumnya.
Jika pun pada kenyataannya sosok Kim Nam memang seperti itu, sesempurna itu sebagai suri teladan, sebagai karakter dalam sebuah film fiksi (walaupun biografis), sosoknya hampir sulit saya terima lantaran tanpa cacat, seperti melihat sosok seorang Fahri bin Abdillah dari Ayat-ayat Cinta yang salehnya kebangetan itu, lantas padanya, yang seperti ubermensch ini, saya tak dapat bersimpati. Sebagai sosok seorang bapak, terlalu berjarak, tetapi sebagai sosok pendiri bangsa atau seorang filsuf--barangkali itu dapat saya terima.
ADVERTISEMENT
Di situlah sikap politis pembuat film ini terlihat. Niat hati membuat film "apolitis" justru hasilnya sebaliknya. Pengkultusan Kim Nam, dan kemudian Ahok, adalah pilihan politis, sebuah pilihan yang saya sesalkan datang dari tim yang pernah membuat karya-karya hebat sebelumnya.
Membuat kisah tentang Ahok yang terjun ke dunia politik tak serta-merta menjadikannya film yang "politis"--tergantung konteks, tentu saja--dan itu akan sejalan dengan kenyataan di balik hidup Ahok, ketimbang malah membuat kisah tentang seorang Ahok dan menutup-nutupi gagasan-gagasan dan sepak terjangnya dalam berpolitik, memilih mengisahkan yang baik-baiknya saja, dan menutupi yang lain, bukankah ini sebuah sikap politik tersendiri?
ADVERTISEMENT
Pembuat film sama sekali tak mengikuti teori-teori pembabakan dalam penulisan naskah yang diajarkan di sekolah-sekolah film. Mereka malah mengikuti teori-teori tak tertulis yang diciptakan beberapa penulis naskah tanah air, yang mana ketika menuliskan cerita biografis semacam ini, tak pernah menawarkan jalan cerita di mana tokoh protagonisnya dihadapkan pada satu persoalan pada satu titik kehidupannya lantas mengatasi persoalan itu. Dengan cara itu akan terlihat siapa sosok protagonis, nilai-nilai hidup apa yang ia pegang, bagaimana karakternya berkembang, dan seterusnya.
Yang ditawarkan film ini adalah kliping rangkuman perjalanan Ahok dari ia kanak-kanak hingga menjadi pejabat di ibu kota tanpa sedikit pun memberi tahu, apalagi menjelaskan bagaimana episode-episode hidupnya itu ia lalui, pemikiran-pemikirannya tak tersampaikan. Pribadi Ahok yang hebat itu, yang saya kagumi seperti yang saya tulis di alinea awal, melalui film ini, dikisahkan bahwa itu semua didapatkannya sesederhana seekor burung beo atau seekor itik yang mengikuti ke mana induknya pergi tanpa melibatkan conscience (kesadaran)-nya.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya hal baik yang saya apresiasi dari film ini adalah kematangan akting Denny Sumargo yang tak pernah saya jumpai sebelumnya. Caranya berdialog dalam film ini, juga olah tubuhnya, meyakinkan saya bahwa ia berhasil masuk ke dalam karakter yang dimainkannya.
Ah, andai saja pembuat film ini mau jujur dalam menyampaikan sebuah kisah seorang anak manusia yang tak sempurna, mau jujur memperlihatkan bahwa seorang Ahok pun barangkali pada suatu masa pernah berbuat salah lantas belajar dari kesalahan tersebut, sehingga kita yang menontonnya dapat sama-sama merenungi, bukannya diminta menerima begitu saja bahwa sosok Ahok dan ayahnya maha sempurna dan dikultuskan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, justru sosok Ahok menjadi semakin berjarak dan tak tersentuh, ia bak dewa yang hanya dapat dipuja. Sebuah treatment sutradara yang saya sesalkan, padahal sosok yang diangkatnya dalam film dikenal karena kejujurannya.