Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Catatan Kecil dari Balinale 2022
13 Juni 2022 9:08 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bali International Film Festival atau disingkat jadi ‘Balinale’, mengikuti penyebutan Berlinale (kayaknya sih), merupakan ajang festival film tahunan yang rutin digelar, tentu saja, di pulau Dewata Bali, sejak 2007. Itu hanya terpaut satu tahun lebih muda dengan umur Jogja-NETPAC Asian Film festival (JAFF).
ADVERTISEMENT
Lima belas tahun bergulir, baru kali ini saya berkesempatan mendatangi Balinale yang dilangsungkan selama empat hari, yakni dari 9-12 Juni 2022, bertempat di bioskop Beachwalk XXI dengan mengandalkan Studio 1 dan Studio 2 sebagai ruang putar bagi film-film yang masuk seksi kompetisi saja, lima film Hong Kong sebagai bagian dari program yang dinamai ‘Making Waves – Hong Kong’, dan world premiere untuk film ‘Keluarga Cemara 2’ karya Ismail Basbeth dari rumah produksi Visinema Pictures.
Helatan Balinale secara resmi dibuka pada tanggal 9 Juni tepat pukul 11.30 WITA, sesuai jadwal, di Studio 1. Saya duduk di barisan kursi keempat dari bawah persis di tengahnya. Saya memerhatikan set up panggung di depan layar bioskop nampak aneh, ada satu layar lagi berbentuk kotak sekira empat atau lima meter yang terbuat seperti dari kaca diletakkan sekira 2-3 meter di depan layar bioskop. Baru belakangan saya ketahui layar tersebut ternyata digunakan untuk menghadirkan proyeksi video hologram. Penyelenggara membuat semacam konferensi siaran langsung, namun sang pembicara menjadi seakan-akan berada di hadapan kita. Sebuah mahakarya teknologi komunikasi yang keren.
Stanley Kwan, sutradara kawakan asal Hong Kong dihadirkan via hologram tersebut, dipandu seorang host yang jago berbahasa Kanton dan Inggris, kita yang duduk di kursi sebuah bioskop di Bali dapat berinteraksi secara real time dengan Stanley Kwan yang sedang berada di Hong Kong pada saat itu. Stanley bicara banyak tentang satu filmnya berjudul ‘Rouge’ (1987), ihwal proses kreatif pembuatan film tersebut, mengenang kembali hal-hal yang berkenaan dengannya, membaca ulang signifikansi film tersebut untuk era sekarang, hingga menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pengunjung Balinale. ‘Rouge’ versi restorasi 4k kemudian diputar sebagai salah satu bagian program Making Waves – Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Pada pembukaan Balinale, Pendiri Festival Deborah Gabinetti mengajak aktor Khiva Iskak dan sutradara-pendatang-baru-yang-langsung-menggebrak Randolph Zaini, keduanya mewakili film ‘Preman’ yang masuk seksi kompetisi. Juga Ismali Basbeth dan produser Anggia Kharisma mewakili film ‘Keluarga Cemara 2’, semua duduk berdempetan di stage Studio, dan satu per satu berbicara menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan wartawan.
Pada saatnya pemandu acara menawarkan kepada pengunjung untuk mengajukan satu pertanyaan terakhir, saya mengangkat tangan, namun sial, ada juga selain saya yang mengangkat tangannya lantas disambut oleh si pemandu acara. Gagallah saya bertanya ‘secara resmi’ yang sedianya bakal saya ajukan kepada Ismail Basbeth atau Anggia Kharisma, satu pertanyaan sederhana saja; kenapa mereka memilih Balinale sebagai tempat world premiere atau pemutaran perdana ‘Keluarga Cemara 2’?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan tersebut pada akhirnya saya lontarkan juga kepada Anggia, persis sesaat sebelum pemutaran film, saat papasan di pintu masuk studio. Dengan sederhana pula Anggia hanya merespon, “Kenapa enggak?”
Padahal tadinya pertanyaan tersebut saya niatkan sebagai pancingan saja, saya ingin mengenal Balinale atau kesan atau apa arti helatan Balinale bagi mereka, dan syukur-syukur dapat melebar hingga menyinggung misalnya apa dampak Balinale terhadap skena festival film di tanah air, juga terhadap industri filmnya sendiri.
Ah, mungkin saya bertanya di saat yang tak tepat kepada Anggia kala itu, yang tentu saja sedang sibuk bersiap menyambut para pengunjung, calon penonton perdana sekuel dari film box office yang disukai banyak penonton itu.
Lazimnya di sebuah helatan premiere, baik Basbeth maupun Anggia memberikan speech sebelum film diputar. Menarik dan mengharukan kala di tengah-tengah sambutannya, Anggia memanggil seorang anak kecil bernama Rigel yang duduk di barisan kursi penonton, untuk maju ke depan agar menemaninya. Mereka pun berpelukan.
ADVERTISEMENT
“Film ini dibuat untuk anak saya, cinta dan inspirasi saya, Rigel.”
“Film ini dapat terwujud karena kehadiran anak saya yang sangat saya cintai, Rigel."
Entah kalimat persis yang terlontar dari Anggia seperti apa. Saya lupa-lupa ingat juga. Tapi, lebih kurang, jika saya tak salah ingat, itulah kira-kira yang diucapkan Anggia kepada buah hatinya bersama Angga Dwimas Sasongko tersebut. Tapi, saya ingat betul, anak enam tahun bernama lengkap Angkasa Rigel Sasongko itu kemudian mengatakan “I love you” kepada sang ibu. Kami yang menyaksikannya tentu merasa gemes-gemes gimana gitu. So sweet banget.
‘Keluarga Cemara 2’ adalah sebuah follow up yang manis. Jika film pertama Teh Euis (dimainkan Adhisty Zara) jadi pusat cerita, kali ini giliran Ara (dimainkan Widuri Puteri). Dua kali netesin air mata. Duh, bagus-bagus banget sih film Indonesia baru-baru ini! Selamat Kangmas @ruangbasbeth dan @ipankdewe @anggasasongko @VisinemaID.
ADVERTISEMENT
Begitu saya ngetweet tak lama ba’da pemutaran filmnya. Review lebih lengkap akan saya tulis nanti, jika mood dan kondisi mendukung, mungkin besok tulisannya bakal saya posting.
Di Balinale saya berkenalan dengan Randolph Zaini, film panjang perdananya berjudul ‘Preman’ menggebrak Festival Film Indonesia tahun lalu dengan meraih tujuh nominasi, termasuk kategori bergengsi yakni Sutradara, Penulis Skenario, dan Film Terbaik! Pada akhirnya ‘Preman’ sendiri menyabet dua Piala Citra, satu untuk Bintang Adi Pradana lewat kategori Penata Efek Visual Terbaik. Satu lagi untuk Novie Ariyanti lewat kategori Penata Rias Terbaik. Sebuah capaian yang cukup monumental!
Tapi, sayang – atau justru sial, film sehebat itu ternyata kesulitan mendapatkan jadwal tayang di bioskop-bioskop kesayangan kita. Saya sempat bertanya kepada Randolph kala papasan di opening party Kamis sore (9-6-2022) itu di kafe Mr. Wayan yang terletak di rooftop Beachwalk Mall, Kuta, dan menghadap pantai duh indahnya.
ADVERTISEMENT
“Kapan filmnya tayang nih? Saya belum nonton karena saya bukan juri FFI, obviously, baru bakal nonton besok di sini. And I’m so excited to see your award-winning debut!”
“Duh, sulit ternyata nayangin film di sini ya. Katanya jadwalnya penuh. Tanggal berapa pun kita minta, jawabnya (pihak bioskop) penuh terus.” Ketus Randolph sambil melengos pergi. Saya kira dia tak suka dengan pertanyaan atau keberadaan saya, tapi rupanya dia melengos pergi ke arah buffet mencari makanan kecil untuk disantap. Lapar rupanya.
Sambil ngemil kroket dia balik menghampiri saya. Dan saya melontarkan pertanyaan kedua, “Kok mau bikin film di sini? Kenapa gak di Amerika aja (negara tempatnya gede dan sekolah film) atau negara lain?” Dan, dia menjawabnya secara sederhana, dengan senyum tersungging lebar, “Karena ini negara gue.”
ADVERTISEMENT
“Setelah film lo yang diakui, divalidasi, secara kualitas oleh sejumlah filmmaker di sini, lantas kesulitan mendapatkan tanggal tayang di bioskop, masih mau bikin film di sini?”
“Ya iya lha. Dan gue banyak belajar sekarang. Dulu gue gak tahu nih buat ikutan FFI aja mesti nemuin siapa, terus pergi ke Lembaga Sensor Film buat dapetin Surat Tanda Lulus Sensor (bagian syarat keikutsertaan FFI), bener-bener gak tahu apa-apa, tapi sekarang gue udah dikasih tahu “rahasianya” biar film gue berikutnya bisa tayang di bioskop.”
Tepat di ujung kalimatnya itu, tanpa dikomando, kami kompak tergelak tertawa. Buat kamu yang ngerti, boleh ikut tertawa juga. Ini memang puncak komedi di skena industri perfilman tanah air.
ADVERTISEMENT
Momen-momen seperti inilah yang saya sukai dari helatan festival film, bertemu teman seprofesi, bertemu pembuat dan pemain film, lantas berdiskusi atau jika mau lebih serius, berjejaring, membahas project, membuka banyak sekali kesempatan.
Dan, adalah penting pada welcome party atau jamuan selamat datang, disediakan wine, bir, syukur-syukur ada cocktail atau champagne, agar kami yang hadir baik sebagai casual moviegoer, tamu undangan, pelaku industri, bisa lebih “lancar” dan sedikit blak-blakan kala mengobrol, karena seteguk dua teguk wine baik pula bagi kesehatan bukan. Dan Balinale memberikan itu. Tidak sampai cukup mewah, tapi lumayan lah. Dan patut saya syukuri pula, di sana saya bertemu sejumlah orang yang hebat, seperti Randolph, Khiva, Ismail, Anggia, Arismuda, dan yang mengejutkan saya ketemu Fajar Nugros juga!
ADVERTISEMENT
Fajar Nugros hadir selama Balinale berlangsung dari hari pertama hingga penutupan. Dia tidak diundang oleh penyelenggara, tetapi memang sengaja pergi ke Bali demi menonton film-film yang hadir di Balinale (dia memborong tiket nonton by the way), dan terutama dia hadir untuk world premiere ‘Keluarga Cemara 2’ yang disutradarai sahabat baiknya sendiri, Ismail Basbeth.
Nugros, seperti saya, terkesan dengan bagaimana Basbeth mengemas filmnya hingga tak terasa seperti sekuel langsung, namun secara cerita filmnya dapat berdiri sendiri, dapat dinikmati tanpa perlu menonton film pertamanya.
Usai pemutaran, sekira pukul 22.00 WITA Fajar Nugros ngajak saya makan malam di sebuah resto seafood, persis di samping Mercure, hotel tempat saya menginap. Saya menceritakan ini seolah-olah kami sudah bersahabat baik cukup lama ya, padahal enggak. Di Jakarta pun jika bertemu di sebuah event misalnya, paling kami hanya tukar sapa seperlunya. Tak pernah ngobrol intens. Tak pernah terpikirkan oleh saya bahwa saya bakal bisa akrab, bahkan seakrab itu dengannya.
ADVERTISEMENT
Silaturahim saya dengan Fajar Nugros (kala itu masih memakai nama panggung Fajar Nugroho) dimulai secara “tak baik-baik”. Tahun 2013 kala saya menjadi, ehem, Pengamat Perfilman Indonesia (julukan ini diberikan kepada saya oleh Mumu Aloha) di situs berita sebelah, saya mengkritik keras ‘Adriana’, film besutannya. Lantas saya terus mengkritik lebih keras lagi film-filmnya, consecutively, berlanjut dengan ‘Refrain’, dan ‘Cinta Brontosaurus’ – ketiganya tayang di tahun yang sama, yakni 2013.
Pada ulasan ‘Cinta Brontosaurus’ saya menulis; “Film ini sukses mengolok-olok sejumlah film horor kacangan dengan parodi ‘Pocong Push Up’-nya. Ironisnya, di tengah olok-oloknya film ini lupa diri bahwa lelucon yang sesungguhnya adalah film ini sendiri.” Duh, jahat ya! But that was me being honest.
ADVERTISEMENT
‘Cinta Brontosaurus’ adalah copycat lawakan-lawakan usang, lengkap dengan atribut klise tokoh utamanya yang selalu berparas unik – untuk tak menyebutnya jelek bak Kasino, Ateng, Nana Krip, atau Sule. Pembuat film ini rupanya masih terbuai oleh gaya lawakan lawas, gaya lawakan yang semestinya sudah kedaluwarsa."
Begitu saya mengakhiri ulasannya. Dan dari satu film ke film lain, Nugros konsisten bikin film, dengan jelek dan bahkan, kadang-kadanag, lebih jelek lagi dari sebelumnya. Maka, saya pun konsisten mengkritiknya. Tak henti-hentinya.
Baru di tahun 2017 kala ia membesut ‘Moamar Emka’s Jakarta Undercover’, untuk pertama kalinya, bagi saya, dia membuat film yang cukup bagus. Saya merasa pernah mengulasnya, tetapi saya googling kok gak ketemu ya. Tapi, saya pernah ngetweet sesaat setelah menonton film tersebut pada 3 September 2017.
ADVERTISEMENT
“Baru kelar nonton ‘Jakarta Undercover’ by Fajar Nugros. Surprisingly the movie is good! Well made. And that ending, Oka nails it BIG time!” Tidak sampai di situ, tweet saya lanjutkan dengan, “Fajar Nugros should keep on making movies like he did for ‘Jakarta Undercover’. That’s… you did it, Man! Keep it up! Respect.”
Lewat ‘Moamar Emka’s Jakarta Undercover’ – awas jangan ketuker dengan film rilisan 2007 bikinan Lance Mengong ya, sutradara dengan filmografi hanya dua film itu. Saya melihat, dan saya baru sadari kemudian, bahwa para pembuat film yang film-film jeleknya sering saya caci-maki itu, termasuk Nugros diantaranya, bahwa mereka itu mungkin masih belum menyelesaikan perjalanannya sebagai seorang pembuat karya yang baik. Kan sebelum baik, biasanya jelek dulu. Belajar terus sampai jadi baik. Kecuali buat sedikit orang yang di awal karirnya langsung menggebrak bikin film yang bagus-bagus. Itu pun di kemudian hari, kadang, sampailah pula mereka membuat film jelek. Tinggal mau duluan mana aja, bikin film jelek dulu terus akhirnya bikin film bagus juga, atau sebaliknya. Begitulah lumrah terjadi, sepengamatan saya.
ADVERTISEMENT
Saya menyesal kala bertemu Nugros selama tiga hari sepanjang Balinale berlangsung, saya belum sempat menyaksikan film terbarunya berjudul ‘Srimulat: Hil yang Mustahal Babak Pertama’ (2022). Karena kesibukan dan lain hal, sungguh saya menyesal, tak sempat menyaksikan film yang saya percaya berkualitet baik, setidaknya walaupun saya belum menontonnya, tetapi orang-orang yang saya percayai opininya tentang film memuji-muji karya Nugros itu, beberapa orang bahkan ngasih pujian setinggi awan. Kalau langit ketinggian. Nanti, mungkin bakal tiba saatnya juga.
Dengan latar belakang seperti itu, saya dan Nugros ternyata gak kikuk kala bertemu lalu bercengkerama. Justru kami ngobrol asik-asik aja. Selang makan satu jam kemudian, Ismail Basbeth nyusul dengan beberapa temannya. Kedatangan Basbeth membawa obrolan, yang tadinya dalam lingkup kecil, jadi seantero nasional. Malam itu, disaksikan desir angin pantai Kuta kami bergunjing tentang para filmmaker, tentang film-film, termasuk namun tak terbatas – yang kami gunjingkan diantaranya film ‘Penyalin Cahaya’ yang problematik itu.
ADVERTISEMENT
Malam itu kami tertawa lepas, mengumpat maksimal, bercengkerama hingga pukul 02.00 dini hari! Sama sekali gak ngantuk. Giliran bayar bill, Nugros dan Basbeth sama-sama merogoh kantong celana, tapi Nugros lebih gesit menyerahkan kartu debitnya ke pelayan resto. Setengah bercanda Nugros berujar kepada Basbeth, “Gue tahu lo punya duit. Tapi, (sebagai sutradara) gue lebih komersil!”
“Asu!!!”
Pulang ke hotel, habis mandi, Ismail Basbeth yang menginap di hotel yang sama dengan saya (tapi, kami beda kamar ya, awas jangan berasumsi yang enggak-enggak, kami sudah berkeluarga; Basbeth anaknya tiga, saya satu), malah minta ngobrol lagi. Moodnya lagi kenceng mungkin. Maka, saya seduhlah kopi Arabica Bali dua cangkir, lalu saya bawa ke lobi hotel. Ngobrol lagi sampai pukul 04.00! Percakapan saya dengan Basbeth, saking fafifuwasweswos-nya, mesti dibuatkan tulisan sendiri deh. Mudah-mudahan saya gak lupa, dan mood buat nulisnya.
ADVERTISEMENT
Apalah arti sebuah festival film tanpa ada interaksi seperti yang demikian-demikian itu. Di festival film mana pun yang saya kunjungi, di belahan bumi mana pun, selain nonton film, sesi bergunjing ini yang paling seru. Dan, perlu. Demi menjaga kewarasan.
Matursuksma, Balinale.
Sebagai penutup artikel curcol ini, saya sisipkan sebuah tweet dari Fajar Nugros ihwal pandangannya terhadap saya, yang sungguh saya appreciate betul.