Darurat Regenerasi Pembuat Film di Kalangan Milenial

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
23 Juli 2019 12:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Milenial Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Milenial Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Generasi Babyboomer dan Generasi X mohon minggir secara tertib, kini waktunya Generasi Milenial--mereka yang dilahirkan antara tahun 1981-1996. Karakteristik generasi milenial yang paling mencolok adalah mereka yang sangat cekatan dengan teknologi, terutama gawai, dan aktif bermedia sosial seperti Instagram, Twitter, Youtube, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Konon, sekitar 80 persen generasi milenial mengakses media sosialnya setiap hari untuk mencari kesenangan, seperti membaca--membaca komentar netizen ya, bukan membaca buku, mereka pun tak luput membagikan kegiatan sehari-harinya di media sosial. Istilahnya, semua orang mesti tahu apa yang saya kerjakan hari ini. Cekrek!
Setiap generasi selalu memiliki kaitan erat dengan situasi sosial dan ekonomi ketika mereka dilahirkan. Generasi babyboomer yang lahir antara tahun 1946-1964 adalah para manusia kolot yang mendidik anak-anaknya biasanya dengan disiplin tinggi, untuk tak menyebutnya memakai cara-cara kekerasan.
Maklum, perang kemerdekaan baru saja usai, lalu ramai isu komunis dan politik penggulingan kekuasaan mulai memanas. Para babyboomer hidupnya cenderung berorientasi pada pencapaian dalam karier dan hidup itu mesti meriah. Hal ini dilakukan tak lain untuk kesejahteraan anak-cucu mereka kelak.
ADVERTISEMENT
Generasi X lain lagi. Diksi 'X' berasal dari novel yang berjudul Generation X: Tales for an Accelerated Culture gubahan Douglas Coupland. Melihat pola asuh kedua orang tuanya yang banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, Generasi X pun mengikuti jejak tersebut. Akan tetapi, kehidupan antara pekerjaan, pribadi, dan keluarga mereka jauh lebih seimbang.
Selain itu, generasi yang dilahirkan antara tahun 1965-1980 ini juga sudah mulai mengenal yang namanya komputer dan video game lewat mesin seperti Ding Dong dan konsol Atari versi awal. Di Indonesia, Generasi X dibesarkan dalam situasi politik yang cukup panas dan bergejolak di era pemerintahan Orde Baru. Enggak enak toh zaman mereka? Hehe.
ADVERTISEMENT
Perfilman Indonesia era baru, atau dalam hal ini orang-orang cenderung menyebutnya sebagai lahirnya kembali perfilman Indonesia di awal milenium usai mati suri cukup lama, dibangkitkan oleh para Generasi X.
Riri Riza, Mira Lesmana, Harry Suharyadi, Rudy Soedjarwo, bahkan sejumlah nama mentereng seperti Joko Anwar, Anggy Umbara, Hanung Bramantyo, dan Fajar Bustomi yang memeriahkan perfilman Tanah Air saat ini dan film-film mereka ditonton jutaan orang, semuanya para Generasi X, generasi yang terkenal ulet dan pekerja keras itu.
Nyaris dari kalangan generasi milenial hanya satu nama yang produktif dan dikenal luas di kalangan pembuat dan penikmat film, yakni Angga Dwimas Sasongko. Ia adalah penulis, produser, sutradara, sekaligus pemilik rumah produksi Visinema Pictures.
ADVERTISEMENT
Film Keluarga Cemara yang diproduseri Angga dan dirilis awal tahun 2019 ini sudah ditonton hampir dua juta penonton. Lantas, selain Angga, siapa lagi sineas generasi milenial yang produktif, bukan kaleng-kaleng, dan disegani dalam skema perfilman Tanah Air saat ini?
Angga Dwimas Sasongko, sutradara Indonesia. Foto: Munady Widjaja/kumparan
Hampir saja saya mau menyebut dengan lantang, "Tidak ada!!!". Tetapi, untung saja ada Gina S. Noer, penulis skenario yang sudah meniti kariernya sejak 2006. Kemudian di tahun 2019 ini, ia menyutradarai film berjudul Dua Garis Biru dan diterima dengan amat baik dari kalangan penonton dan kritikus film. Tetapi, secara umum sineas yang aktif memproduksi film saat ini berasal dari kalangan Generasi X.
ADVERTISEMENT
Barangkali kabar burung yang mengatakan bahwa generasi milenial pada umumnya cenderung lebih pemalas, ada benarnya. Ini gawat, sebab tanpa regenerasi, masa depan perfilman Indonesia jadi agak suram. Minat menjadi filmmaker di kalangan milenial sudah di taraf darurat.
Menurut teori 'Otak Athik Gathuk' yang saya pelajari secara intensif belakangan ini, kecenderungan minimnya minat generasi milenial, termasuk saya sendiri, untuk terjun ke dunia film, salah satu alasannya karena menjadi filmmaker itu ribet.
Kami, para generasi milenial, dilahirkan di zaman ketika segala sesuatu tersedia dan sangat mudah didapat. Kami memang cerdas, kreatif, dan juga inovatif--tetapi untuk hal-hal lain, pokoknya bukan filmmaking deh, yang nilai ekonominya sulit diraba-raba. Berbisnis di bidang kuliner dan start up company jelas lebih menarik bagi kami.
ADVERTISEMENT
Ini menurut teori 'Otak Atik Gathuk' lho ya, saya tentu akan senang bila ada pihak-pihak yang berkepentingan untuk membiayai riset menyoal ini secara lebih ilmiah. Tetapi, untuk saat ini teori 'Otak Atik Gathuk' tersebut menjadi pegangan saya.
Keberadaan generasi milenial sangat penting bagi perkembangan zaman. Sesungguhnya potensi mereka dapat diasah agar menjadi aset penting di masa depan.
Saat ini para milenial lagi nyaman-nyamannya bermedia sosial, juga sedang mengalami pergeseran budaya menonton dari layar lebar ke layar ponsel. Semakin bikin mereka lebih mager alias malas gerak. Kecuali jika sedang travelling, itu lain soal.
ADVERTISEMENT
Media sosial, travelling, dan nongkrong di warung kopi adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan milenial.
Rasa-rasanya hal yang paling mendekati filmmaking yang dapat mereka lakukan dengan suka cita adalah dengan menjadi seorang YouTuber. Enggak jelek sih, sah-sah saja, dan memang itu ladang usaha yang cukup menjanjikan; bisa eksis dapat duit pula, impian milenial banget. Tapi kan kita sedang ngomongin soal perfilman.
Nah, balik ke perfilman. Dengan asumsi regenerasi sineas yang mengkhawatirkan di kalangan milenial, saya ingin mengimbau agar pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini tentu saja rumah-rumah produksi, agar mau dan intensif untuk membuka kelas-kelas atau workshop pembuatan film. Bisa dimulai dari workshop penulisan naskah, lalu tahap demi tahap juga merambah ke bidang-bidang lain. Ini lebih diperlukan dan memiliki dampak nyata.
Ilustrasi Shooting Film. Foto: Shutterstock
Percayalah bila regenerasi sineas tidak berjalan, dan yang membuat film orang itu-itu saja, lama-lama bisa ditinggalkan penonton karena jengah.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini saya menonton dua film horor Indonesia, dan dua-duanya jelek. Plis, enggak usah nanya jeleknya gimana--saya reviewer yang nonton ratusan film Indonesia di bioskop dalam setahun, percayalah kalau saya bilang sebuah film jelek, ya jelek.
Nah, ternyata kedua film tersebut ditulis oleh orang yang sama, seorang Generasi X yang sama sekali tidak berbakat di bidang penulisan dan penyutradaraan, tetapi kerjaan membuat film dari berbagai PH besar selalu jatuh kepadanya.
Ayolah, para produser yang baik hati di negara yang saya cintai ini, bukalah kelas-kelas penulisan skenario, kelas penyutradaraan, kelas produksi, dan pastikan bahwa workshop ini dilaksanakan di sebuah tempat yang instagramable, kalau tidak begitu ya mereka tidak akan mau datang. Hanya dengan cara itu, cara yang murah sebetulnya, regenerasi pembuat film di kalangan milenial dapat tumbuh.
ADVERTISEMENT
Oh ya, jangan buka lowongan magang ya, kecuali sanggup untuk menggaji mereka minimal Rp 10 juta sebulan untuk pekerjaan kecil seperti jadi clapper, misalnya.
Mohon maaf dan maklum adanya, begitulah memang watak anak milenial. Ingin semua instan, kurang etika, permisif, dikit-dikit posting, dan social skill kurang!