Konten dari Pengguna

Dilan 1983: Wo Ai Ni, Cinta Monyet, Nilai-nilai Keluarga, dan Keislaman

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
10 Juni 2024 15:40 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dilan 1983: Wo Ai Ni Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Dilan 1983: Wo Ai Ni Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Tak biasanya saya memulai tulisan, terlebih untuk ulasan film dengan mendoakan semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya tercurah kepada kalian. Tetapi, selepas menonton film Dilan 1983: Wo Ai Ni lewat gala premiere-nya kemarin (9/6/2024) di kota Bandung, terus terang saja, entah bagaimana, film dengan rating penonton semua umur yang siap tayang di bioskop mulai 13 Juni 2024 itu meninggalkan kesan yang cukup lekat kepada penontonnya, setidaknya bagi saya, agar selalu ingat akan sapaan salam dan doa yang saya ucapkan di awal tulisan ini. Siapa sangka, film dengan sub judul berbahasa Cina ini justru tampil sangat Islami, sedangkan filmnya sendiri tak pernah menjual dirinya sebagai film religi. Mengejutkan, bukan?
Still Adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Tetapi, begitulah Dilan dan semestanya, yang tak henti-hentinya memberikan kejutan.
ADVERTISEMENT
Saya sebenarnya sudah cukup lama pensiun mengulas film, karena sekarang saya sedang mengejar mimpi yang terus saja tertunda; saya ingin juga jadi seorang pembuat film! Tetapi, saya ingat pada tanggal 14 Februari 2020 jam 16.41 saya pernah mengulas film ‘Milea: Suara Dari Dilan’ di laman Kumparan ini juga, dan di akhir ulasan film yang saya tulis tersebut saya menitipkan pesan kepada Fajar Bustomi sebagai sutradara, kepada Pidi Baiq sebagai kreator Dilan, dan kepada produser film yang saat itu masih dijabat Ody Mulya Hidayat, agar mereka dapat terus menghormati penonton dan penggemar setianya dengan membuat film Dilan yang harus lebih baik dari karya-karya sebelumnya, karena saat itu saya percaya bahwa cerita kehidupan Dilan ini begitu luas untuk dapat terus terukir baik dalam buku maupun dalam film dan karya visual lainnya.
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Setelah film ‘Dilan 1990’, ‘Dilan 1991’, ‘Milea: Suara dari Dilan’, dan termasuk ‘Ancika: Dia Yang Bersamaku 1995’ produksi PH lain itu, rasanya baru lewat Dilan 1983: Wo Ai Ni ini kita disuguhi, tak hanya sesuatu, tetapi banyak hal baru, yang membuat film ini jadi istimewa. Pada ulasan film ‘Milea: Suara Dari Dilan’ saya cukup keras mengkritisi tentang bagaimana film itu yang tak bergerak kemana-mana, bahwa cerita masih muter di situ-situ saja pasca ‘Dilan 1990’, tapi siapa yang dapat menolak pesona Vanesha Prescilla yang cantik, innocent, dan menggemaskan itu, dipasangkan dengan Iqbaal Ramadan yang jadi pujaan banyak perempuan? Sekeras-kerasnya kritik saya pada Fajar Bustomi sang sutradara, anehnya saya mengakui juga bahwa toh saya tetap menikmati film itu! Saya ingat pernah mengungkapkan kesan menonton ‘Milea: Suara Dari Dilan’ itu dengan sebaris kalimat, “Rasanya seperti sedang bertemu teman-teman lama lalu ngobrol ngalor-ngidul, obrolan kami mungkin remeh, tapi tawa dan kebahagiaan kami nyata.”
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Perlu saya akui, mungkin ada bias yang besar setiap kali saya menonton film ‘Dilan’ di film yang mana pun, karena bagaimana tidak, walau terpaut usia 13 tahun dengan Dilan, tapi saya juga tumbuh dan besar di lingkungan Jawa Barat, saya mengalami juga apa yang dialami Dilan, misalnya punya pacar yang cantik-cantik, ehem, di-bully atau dihajar teman sekolah yang cemburu akan kegantengan kita, telepon-teleponan lewat telepon umum, bersurat-suratan, dan zodiak kami sama lho, Leo! Bagaimana saya tak menjadi bias coba?! Mungkin ‘Dilan’ bukan film romansa yang terbaik yang pernah ada di Nusantara ini, tapi bagi saya dan bagi banyak orang Sunda, saya percaya bahwa kisah Dilan sudah jadi legenda, ibarat kisah hidup kakak kelas kita di sekolah dulu.
ADVERTISEMENT
Kembali ke ‘Wo Ai Ni’.
Latar peristiwa kini mundur jauh ke belakang, yakni ke tahun 1983 di kota Bandung yang pasti pada saat itu masih banyak embun menetes di pagi hari, ketiadaan polusi, dan udara sejuknya yang menyehatkan. Ceritanya Dilan yang duduk di kelas lima SD ini baru saja kembali ke Bandung selepas ikut ayahnya yang tentara itu ditugaskan ke Timor Timur selama dua tahun. Pada opening film, kita diberikan secuplik adegan manakala Dilan hendak berpisah dengan temannya di Dili, Timor Timur (kini bernama Timor Leste, atau secara resmi bernama Republik Demokratik Timor Leste), kedua bocah tersebut berdialog dalam bahasa Portugis, dan ketika berpamitan, Dilan menitip salam untuk Xanana Gusmao, dan temannya gantian menitip salam untuk Soeharto! Coba, bagaimana ajaibnya seorang Dilan, dan memang sejak kecil ternyata dia sudah begitu (ajaib)!
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Kembali ke kelas, tak hanya bertemu kembali teman-teman lamanya di Bandung, Dilan kemudian dikejutkan kehadiran seorang anak perempuan baru, seorang Chindo bernama Mei Lien Merry Oey yang langsung menyita perhatiannya. Tak ada adegan meet cute atau gambaran dramatis keduanya bertemu ala adegan Ikal bertemu Aling di film ‘Laskar Pelangi’ (Riri Riza, 2008) misalnya, tetapi lewat penyampaian dialog dan gestur yang diberikan Adhiyat sebagai Dilan cilik, cukup memberi kesan meyakinkan bahwa ia sedang terjangkit cinta monyet kepada Mei Lien yang diperankan dengan pas oleh Malea Emma Tjandrawidjaja yang sudah lebih dulu menjadi aktor di Amerika sana sejak usianya empat tahun. Kisah Dilan dan cinta monyetnya ini mengalun cair, penuh kepolosan, dan nilai-nilai keluarga.
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Ya, ini sebuah film keluarga, lewat sudut pandang anak-anak. Dan karena itu, ini menjadi film ‘Dilan’ yang paling beda, dan paling memberikan pengalaman baru. Adhiyat berhasil menjelma menjadi Dilan, dalam arti tak hanya tampil keren dan ganteng, tetapi olah tubuh dan karakternya sinkron dengan karakter Dilan yang kita percaya bahwa versi kecilnya seperti yang dibawakan Adhiyat di film ini. Pun Malea Emma tampil sama-sama menggemaskan.
ADVERTISEMENT
Dan, bukan Dilan rasanya jika ia tampil sendirian. Geng Dilan di film ini tampil sama cemerlangnya, terlebih Keanu Azka yang tampil begitu mencuri perhatian sebagai Nanang. Sungguhlah bocah ini akan bersinar terang di masa depan sebab bakatnya yang begitu besar, terlihat ketika ia selalu tampil total walau sebagai peran pendukung dan blocking kamera menempatkannya di posisi paling sudut bingkai film, tetapi caranya berinteraksi dengan lawan mainnya, dan kepekaannya akan situasi sekitar, sungguhlah ia diberkati bakat yang mestinya dimiliki setiap aktor yang baik.
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Di film ini Dilan bukan milik ibundanya seorang yang masih diperani Ira Wibowo (‘Jodoh Boleh Diatur’, ‘Dilan 1990’) itu, kini ada neneknya yang diperankan Niniek L. Karim (‘Ibunda’, ‘Nay’) yang sedikit banyak memberi pengaruh pengasuhannya kepada Dilan. Walau baru bermain di semesta Dilan, berkat keluwesan Niniek L. Karim, dan chemistry-nya yang kuat terbangun dengan aktor-aktor lain di film ini, kita seolah-olah sudah kenal lama dan akrab betul dengan sang nenek yang cerewet tapi penuh kasih itu.
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Jika ada hal yang masih saya kurang sukai dari film ini, dan ini saya alami dari seluruh film seri ‘Dilan’, adalah tentang bagaimana semua filmnya diakhiri, begitu saja, tanpa tedeng aling-aling! Dan rasanya, mungkin, karena film ‘Dilan’ ini berasal dari buku karangan Pidi Baiq, jangan-jangan itu memang merupakan ciri khas sang pencipta Dilan tersebut, dan jika begitu, kita hanya dapat menerimanya saja, sambil tetap mengkritisinya bahwa sebuah film punya aturan tersendiri untuk diakhiri. Bahwa ada hukum tiga babak atau hukum delapan sekuen dalam penulisan skenario, yang mungkin berbeda dengan cara sebuah novel ditulis dan bagaimana kisahnya diakhiri sesuka hati pengarangnya. Walaupun hukum-hukum penulisan skenario itu sifatnya sunnah, maka jika kembali ke khittah kata ‘sunnah’ tersebut, artinya jika memungkinkan, memang sebaiknya diikuti atau dianjurkan untuk dilaksanakan.
Still adegan film Dilan 1983: Wo Ai Ni | Dok. Falcon Pictures
Tanpa bercerita lebih banyak lagi mengenai plot film, saya ingin menyampaikan bahwa idealnya film ini tayang di masa libur lebaran, karena temanya yang ternyata kuat sekali pada elemen-elemen keluarga dan nilai-nilai keluarga, tema persahabatan anak-anak yang penuh keceriaan dan kepolosan, di tengah suasana puasa Ramadan yang sesekali memberi kejutan dengan ledakan-ledakan petasan dan meriam lodong, juga serunya sepedaan ke tempat pesantren kilat, ini tontonan nostalgis yang pas bagi seluruh anggota keluarga. Tapi, karena lebaran sudah lewat, jadi film untuk mengisi liburan sekolah pun rasanya pas juga!
ADVERTISEMENT
Jadi, mengapa saya mau kembali mengulas film? Sederhananya, saya hanya ingin menyampaikan, bahwa sutradara Fajar Bustomi, Pidi Baiq dan Alim Sudio sebagai penulis naskah, dan Frederica sebagai produser, lewat film Dilan 1983: Wo Ai Ni ini membuktikan bahwa mereka telah membuat film yang lebih baik, seniat-niatnya, dan sehormat-hormatnya, demi kita para penonton film dan penggemar setia.
Alhamdulillah. Dan, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.