Mengambil Hikmah dari Film 'Marriage Story'

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
11 Desember 2019 14:29 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shandy Gasella. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Shandy Gasella. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari belakangan ini netizen media sosial, khususnya dari ranah Twitter, ramai membicarakan film terbaru garapan Noah Baumbach berjudul ‘Marriage Story’, berkisah tentang perjalanan sepasang suami isteri yang hendak bercerai. Charlie (Adam Driver, 'Star Wars: The Force Awakens', 'BlacKkKlansman'), seorang sutradara theater asal New York yang sedang nge-hits, lagi sibuk-sibuknya mempersiapkan pertunjukan drama di mana istrinya sendiri, Nicole (Scarlett Johansson, 'Avengers', 'Lost in Translation') turut berperan di dalamnya. Kemudian Nicole mendapat tawaran untuk bermain dalam sebuah serial TV tepat di kala pertunjukan tersebut bakal digelar di Broadway. Nicole memilih pergi ke Los Angeles untuk syuting serial TV di sana, dan dia membawa serta anak mereka yang masih kecil bernama Henry (Azhy Robertson, 'Juliet, Naked').
Tak begitu jelas pangkal persoalan mengapa pasutri ini mengalami ketidakcocokan satu sama lain setelah sekian lama mereka menikah. Di awal film diperlihatkan keduanya tengah menemui seorang mediator yang sedang mencoba menengahi keduanya untuk dapat rujuk kembali, dengan cara memberikan tugas kepada mereka untuk menuliskan hal-hal baik tentang pasangan hidup mereka dalam secarik kertas. Charlie menulis hal-hal baik tentang Nicole dan sebaliknya. Lewat voice over, kita tahu hal-hal baik apa saja dari Nicole yang dilihat Charlie, juga sebaliknya. Tetapi, keduanya tidak tahu apa yang dituliskan oleh pasangannya karena ketika sang mediator meminta mereka untuk membacakan apa yang mereka tulis, Nicole memilih untuk pergi, seakan tekadnya untuk berpisah dengan Charlie memang sudah bulat dan tak bisa diganggu gugat.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Los Angeles, Nicole menemui seorang pengacara andal bernama Nora (Laura Dern, 'Jurassic Park', 'Blue Velvet') untuk mengurus proses perceraiannya. Berceritalah ia kepada Nora, juga kepada kita sebagai penonton, tentang sekelumit latar belakang hidupnya hingga ia mengenal Charlie. Syahdan dulu semasa tinggal di LA ia pernah jadi aktris sejumlah film remaja. Suatu hari dia main ke New York dan bertemu dengan Charlie, lantas jatuh cinta. Nicole kemudian menjadi aktris utama di sejumlah pertunjukan drama yang disutradarai Charlie, keduanya kemudian sukses dikenal sebagai seniman mumpuni dan bersama-sama membangun reputasi yang baik. Tetapi, Nicole sepertinya tak pernah betah untuk tinggal di New York. Ia selalu kangen rumah ibunya di LA. Pernah membujuk Charlie, bahkan memintanya untuk menyutradarai pertunjukan di LA, namun Charlie menolak kesempatan itu. Sepengakuan Nicole, mendapatkan perlakuan demikian dari Charlie, lama-lama ia jadi merasa “kecil” dan seolah tak dianggap oleh pasangan hidupnya itu.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, pangkal persoalan ketidakcocokan keduanya tak benar-benar disampaikan secara terang benderang. Sejak kapan keduanya ribut, kita tak diberitahu. Pun film ini bukan mau menunjukkan posisi siapa yang paling benar atau yang paling salah. Tetapi, saya setuju dengan akhir film ini, setuju dengan pilihan pembuat film yang memutuskan kedua tokoh utama film ini untuk berpisah. Ini bukan film komedi romantis yang sering mengelabui penonton untuk percaya bahwa segalanya akan indah pada waktunya.
Menarik memperhatikan komentar netizen yang bergulir di lini masa Twitter, misalnya banyak dari mereka menyebut momen-momen pertengkaran keduanya, seperti ketika Charlie berteriak kepada Nicole bahwa ia berharap pasangannya itu agar mati saja supaya ia terbebas dari dirinya, dan sejurus kemudian sambil berderai air mata Charlie meminta maaf, dan Nicole menghampirinya, lantas mengusap-usap punggungnya yang tengah membungkuk di hadapannya. “Ambyar banget!” Begitu netizen kompak berkomentar.
ADVERTISEMENT
Dan ada satu adegan lain yang juga dikomentari sebagai “momen ambyar” lainnya, yakni ketika pada satu malam Nicole dan Charlie yang sedang menggendong Henry berpamitan sambil keduanya bersama-sama menutup pagar rumah, seketika sebelum pintu tertutup sepenuhnya kita melihat Nicole dan Charlie beradu pandang.
Saya tak tahu pasti apa yang dimaksud dengan “ambyar”, tetapi jika mesti menduga-duga, saya membayangkan bahwa ambyar itu berarti hancur berkeping-keping. Sedih sesedih-sedihnya.
Jika begitu, apakah orang-orang yang merasakan kesedihan akan berpisahnya Nicole dan Charlie, berharap keduanya agar tak berpisah? Bahwa mereka pasangan yang terlalu sweet untuk dipisahkan?
Tulisan ini saya maksudkan tidak untuk menilai film ini sebagai film yang bagus atau bukan—jika bagus, bagusnya di mana, jika jelek, jeleknya di mana, raihan enam nominasi Golden Globe termasuk kategori Film Terbaik adalah pembuktian yang sahih bahwa film ini paripurna kualitasnya.
ADVERTISEMENT
Saya sepakat dengan komentar khalayak yang menyebut akting Adam Driver dan Scarlett Johansson begitu kuat dan menginfeksi, beberapa orang bahkan menyebut keduanya “menemukan akting”—seperti Alexander Graham Bell menemukan telepon! Jadi, sebelum mereka berdua, belum pernah ada aktor yang berakting, sebab akting belum ditemukan. Demikianlah memang orang dapat berkomentar se-lebay itu, sama lebay-nya ketika orang-orang juga memuji setinggi langit aspek sinematografis film ini, yang menurut mereka berhasil menyedot mereka masuk ke dunia Nicole dan Charlie. Padahal mereka nontonnya lewat handphone!
Bagi saya film ini kuat dari sisi narasi. Urusan sinematografi, desain suara, dan tetek bengek lainnya tak begitu saya risaukan. Bukan berarti mereka tidak penting, hanya memang penampilan Adam Driver dan Scarlett Johansson ditambah skenario tulisan Noah Baumbach sendiri menjadi alasan yang cukup bagi kita untuk mengagumi film ini. Lainnya bonus saja.
ADVERTISEMENT
Setelah menonton film ini, memuji-mujinya, lantas apa? Begitu yang ada di benak saya. Film ini mengajak kita untuk membuka dialog tentang bagaimana, bukan semestinya, tetapi sebaik-baiknya kita mencintai. Dalam pernikahan atau bukan.
Begini. Kali ini izinkan saya, seorang suami dan bapak dari seorang putri, untuk ngoceh tentang cinta dan tentang pernikahan. Saya punya teori bahwa banyak orang merasa tahu tentang cinta, menyatakan cinta bahwa ia mencintai pasangannya, padahal belum tentu ia tahu cara mencinta. Jika sudah demikian, merasa jatuh cinta, pacaran, lantas menikah, celakalah mereka.
Jika mau membaca, monggo, mari kita berdialog. Tidak pun tak apa-apa, sudahi saja sampai di sini. Percayalah, jika untuk meyakinkan diri apakah film ini bagus atau tidak, semua orang sepakat ini film yang amat layak ditonton.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, cinta itu mesti dipelajari. Ia seni yang paling hakiki.
Jika ada orang yang tengah berdansa, lalu orang itu mengajak kita untuk ikut berdansa dengannya, jika kita belum ahli, tentu kita bakal menjawab, “Maaf, saya tak bisa berdansa.” Kita tak melompat dan mulai berdansa lantas punya pikiran bahwa kita penari yang hebat. Kita perlu belajar, mempelajari keanggunannya, gerakan-gerakannya. Kita mesti melatih tubuh kita.
Kita tentu tak serta merta melukis hanya karena di hadapan kita ada kanvas, kuas, dan cat air. Walaupun segala keperluan untuk melukis ada di hadapan kita, dan kita lantas melukis, itu tak menjadikan kita pelukis yang hebat.
Saya bertemu seorang perempuan—andaikanlah ia kanvas. Saya pun naksir, dan benih-benih cinta tumbuh—saya mulai melukis. Dan dia juga ikut melukis. Tentu saja kami kemudian terlihat seperti dua orang bodoh. Tetapi kami tak pernah diberitahu bahwa cinta adalah seni. Kita terlahir ke dunia tidak disertai dengan bakat seni, kita mesti mempelajarinya seiring kita tumbuh dan menjalani kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tetapi kita terlahir dibekali dengan kapasitas. Tentu saja kita terlahir dengan raga, kita bisa menjadi penari karena kita memiliki raga. Kita dapat menggerakan anggota tubuh kita dan menjadi seorang penari, tetapi untuk menari dibutuhkan pembelajaran. Dan menari itu sebetulnya tidak sulit-sulit amat, karena kita bisa melakukannya sendirian.
Cinta atau mencintai jauh lebih sulit. Seperti menari dengan orang lain. Pasangan menari kita juga mesti tahu caranya menari. Menjadi laras dengan orang lain adalah sebentuk kesenian yang hebat. Menciptakan harmoni di antara dua manusia, dan dua manusia berarti dua dunia. Ketika dua dunia berdekatan, tubrukan tak terhindarkan—jika tidak tahu bagaimana caranya untuk membangun harmoni. Nah, cinta ibarat harmoni.
Cinta berarti memberi tanpa syarat dan ketentuan berlaku.
ADVERTISEMENT
Seorang pecinta sejati selalu siap untuk mencinta dan tak ambil pusing apakah cintanya dibalas atau tidak. Nicole dan Charlie bertindak sebaliknya. Ketika mereka memberi, mereka berharap agar mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. Mereka berbagi dengan syarat tertentu. “Jika kau ikut ke LA bersamaku, aku akan tetap mencintaimu.” Atau “Jika kau tetap tinggal di New York dan mendukungku, aku akan menjadi suami yang paling baik di dunia.”
Cinta memiliki kebahagiaan intrinsiknya sendiri. Kebahagiaan itu muncul dengan sendirinya ketika kita mencinta. Tak perlu menunggu waktu untuk melihat hasilnya. Kita mencinta dan hanya dapat mengetahui apa itu cinta hanya dengan mencintai, seperti belajar berenang, ya, dengan nyemplung berenang.
Ngapain menunggu “orang yang tepat”—dan hanya ketika bertemu orang yang tepat itu kita lantas mau membuka hati. Terus-terusan kita menunggu seseorang seperti Raisa untuk datang ke hidup kita, kelamaan berharap dan jika pun orang yang kita idam-idamkan itu tiba, kita sudah lupa bagaimana cara membuka hati lantaran kita sudah terlalu lama menutupnya.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang saya petik dari film ‘Marriage Story’ dan saya yakini betul adalah bahwa kita telah dikondisikan dengan cara yang salah. Semua orang berpikir bahwa mereka dapat mencinta secara otomatis, tanpa perlu usaha apa-apa. Ada potensi untuk mencinta, tetapi potensi itu mesti dilatih dan dikembangkan. Seperti biji tumbuhan, ia mesti tumbuh lantas berbunga.
Coba saja kita bawa biji tumbuhan, tak kan ada seekor kumbang pun bakal datang menghampiri. Tidakkah mereka tahu bahwa si biji bakal menjadi bunga di kemudian hari? Tetapi kumbang-kumbang itu bakal datang ketika si biji sudah berbunga.
Dua insan manusia, masing-masing tak bahagia, niscaya akan menciptakan lebih banyak ketidakbahagiaan bagi masing-masing ketika keduanya bersama. Kita tak bahagia, istri atau suami kita juga tak bahagia, tetapi kita berharap bahwa dengan bersama kita bisa bahagia? Itu kan persoalan matematika biasa, seperti dua ditambah dua menjadi empat. Sesederhana itu.
ADVERTISEMENT
Jangan seperti Nicole dan Charlie.