Review 'Love for Sale': Pembuktian Gading Marten, Masterpiece Andibachtiar Yusuf

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
15 Maret 2018 18:01 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Review 'Love for Sale': Pembuktian Gading Marten, Masterpiece Andibachtiar Yusuf
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
'Love for Sale' dirilis hari ini, Kamis (15/3/2018), di bioskop-bioskop tanah air, tepat satu minggu setelah penayangan perdana film 'Mata Dewa' yang juga dibuat oleh sutradara yang sama, yakni Andibachtiar Yusuf. 'Mata Dewa' flop di pasaran, bahkan di Jakarta dan kota-kota besar lain film tersebut sudah turun layar. Menilai dari kualitas filmnya sendiri, rasa-rasanya karma yang diterimanya cukup pantas. Ucup, begitu sapaan akrab sutradara yang satu ini, terkesan setengah hati mengarahkan 'Mata Dewa' -- demi tidak menyebutnya sebagai sebuah proyek gampangan mencari uang.
ADVERTISEMENT
Tetapi, saya tak akan membahas lebih jauh lagi mengenai film tersebut. Bukan tanpa alasan saya menyinggungnya, sebab barangkali diantara pembaca ada yang sempat menyaksikan 'Mata Dewa', lantas mengalami trauma psikis. Saya ingin menegaskan bahwa 'Love for Sale', film karya Ucup yang paling gres ini dapat mengobati rasa kecewa Anda. Dan bahkan, bagi saya pribadi, film ini berhasil menunjukkan potensi sesungguhnya yang dimiliki Ucup sebagai seorang pencerita dan sutradara yang baik -- yang kita sama-sama tahu populasinya sedikit di skena perfilman tanah air.
Diproduksi bersama lewat tiga production house (PH) diantaranya Visinema Pictures yang sukses menghasilkan karya-karya terbaik seperti film peraih Piala Citra 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku', 'Filosofi Kopi: the Movie', dan 'Surat dari Praha' (ketiganya diarahkan Angga Dwimas Sasongko), PH 13 Entertainment di balik sejumlah judul seperti 'Love', 'Jakarta Hati', dan 'Filosofi Kopi the Movie 2: Ben & Jody', dan keterlibatan PH baru Stay Connected Media, di bawah pengawasan duo produser handal Angga Dwimas Sasongko dan Chicco Jerikho, jika pun Anda masih belum yakin akan kepiawaian Ucup dalam mengemas film, nama Visinema Pictures sebagai PH yang konsisten memproduksi film-film berkualitas masih belum ternoda.
ADVERTISEMENT
Kehadiran 'Love for Sale' bahkan kian mengukuhkan brand Visinema Pictures yang semestinya sudah tak perlu diragukan lagi oleh para penggemar film. Lain kali Visinema Pictures memproduksi film baru, tontonlah dengan penuh keimanan. Setidak-tidaknya baru PH yang satu ini dan LifeLike Pictures yang saya anggap paling serius menggarap film-film mereka dan memastikannya agar tidak berakhir menjadi tontonan medioker.
Gading Marten di film Love For Sale (Foto: Visinema Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Gading Marten di film Love For Sale (Foto: Visinema Pictures)
Alkisah dalam 'Love for Sale', Richard Achmad (Gading Marten, 'Love') adalah seorang jomblo akut, berusia 41 tahun, selama 20 tahun terakhir masa hidupnya ia habiskan untuk menyendiri sambil menekuni rutinitasnya sebagai pemilik sebuah percetakan kecil di bilangan Jakarta Pusat. Sehari-hari, di rumahnya, yang mana terletak persis di samping lokasi usaha percetakannya tersebut, ia hanya berkawan dengan seekor kura-kura yang sering ia ajak ngobrol.
ADVERTISEMENT
Teman-temannya memang lumayan banyak, namun sekali-sekali saja dalam waktu tertentu mereka dapat berkumpul di bar dan berhahahihi bersama. Pada satu kesempatan inilah kemudian Richard ditantang oleh teman-temannya untuk dapat membawa gandengan ke acara pesta pernikahan salah seorang dari mereka dalam waktu dua minggu. Richard mengiyakan tantangan tersebut.
Separuh awal film ini mengisahkan usaha-usaha Richard untuk mendapatkan gandengannya, sekaligus menunjukkan kepada kita bagaimana sosoknya sebagai seorang karakter. Richard bukanlah arketipe protagonis yang kerapkali muncul dalam kebanyakan film-film nasional. Ia adalah antitesis dari karakter-karakter tipe peranan Ferdi Nuril, Jefri Nichol, Dimas Anggara, atau Iqbaal Ramadhan yang biasanya mesti tampil ganteng, atletis, muda, berbudi pekerti baik, dan sederet sifat-sifat terpuji lainnya.
Richard dalam film ini terlihat seperti teman kita di kehidupan nyata, seperti om kita, seperti tetangga kita, ia terlihat biasa-biasa saja. Yang luar biasa adalah bagaimana Gading Marten menghidupkan perannya tersebut, dengan amat alamiah ia berhasil terlihat menjadi sosok penyendiri, keras, namun lewat gestur dan sorot matanya, kita tahu bahwa sosoknya lebih dari sekedar apa yang terlihat. Ia memendam sesuatu.
ADVERTISEMENT
Arini (debut akting luar biasa dari Della Dartyan) tiba-tiba hadir ke dalam kehidupan Richard. Ia menjadi katarsis film ini, dan lewat kehadirannya ia mengubah jalan hidup Richard, membantunya menunjukkan siapa jati dirinya yang sebenarnya. Lantas Richard tak lagi sendiri. Kebersamaan Richard-Arini adalah salah satu pertunjukan drama romansa yang paling masuk akal dan meyakinkan yang pernah tergambarkan dalam khasanah perfilman kontemporer.
Adegan film Love For Sale (Foto: Visinema Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Adegan film Love For Sale (Foto: Visinema Pictures)
Richard yang canggung pada kali pertama berjumpa Arini, obrolan-obrolan mereka yang wajar -- namun juga cerdas pada saat yang bersamaan, hingga perkembangan hubungan mereka ditulis oleh Ucup bersama M. Irfan Ramli ('Cahaya dari Timur: Beta Maluku', 'Surat dari Praha') dengan penuh ketelitian dan rasa hormat setinggi-tingginya terhadap kecerdasan penontonnya.
ADVERTISEMENT
Naskah skenario tulisan mereka tak hanya berhasil menyuguhkan drama romansa -- salah satu yang terbaik sepanjang tahun ini -- namun juga melengkapinya dengan humor-humor yang dewasa, segar, dan lagi-lagi saya katakan; hormat setinggi-tingginya terhadap kecerdasan penontonnya.
Tim pembuat film ini membuat keputusan yang tepat dengan mendapuk Gading Marten sebagai protagonis kita, Richard Achmad. Peran yang ia mainkan di film ini akan melekat lama pada namanya, dan akan dikenang lama oleh para penggemar film tanah air. Sebelum ini Gading pernah juga bermain bagus, yakni lewat peran kecil sebagai sopir taksi bernama Arif dalam film 'Love' karya sutradra asal negeri Jiran Kabir Bathia, yang rilis sepuluh tahun silam!
Merupakan debutnya juga bermain film layar lebar, namun naasnya, walaupun menunjukkan dedikasi yang tak main-main lewat peran kecilnya tersebut, Gading kemudian sering terjebak ke dalam peran-peran pendukung yang tak berarti, dan acapkali bermain di bawah arahan sutradara-sutradara medioker. Sepuluh tahun kemudian, lewat film ini, ia unjuk kebolehan sebagai aktor yang semestinya tak akan dianggap sepele lagi, dan menjadikan nama belakangnya (Marten) betul-betul pantas ia sandang. Penampilannya begitu mengesankan.
Della dan Gading beradu akting (Foto: Visinema Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Della dan Gading beradu akting (Foto: Visinema Pictures)
Ucup, yang kadung dicap sebagai sutradara film spesialis bertema bola seperti 'Romeo Juliet', 'Hari Ini Pasti Menang', dan 'Garuda 19' (makanya film 'Mata Dewa' yang berkisah tentang dunia basket gagal), mencurahkan craftmanship-nya yang tak main-main dalam menggarap film ini, namun rasa kecintaannya terhadap sepakbola masih tetap tersalurkan lewat dialog, dan suara-suara off-screen pertandingan bola yang disaksikan karakter dalam sejumlah adegan.
ADVERTISEMENT
Barangkali 'Love for Sale' adalah karya terbaiknya sejauh ini, dan saya akan mengenang film ini sebagai salah satu film dewasa terbaik yang dibuat secara "dewasa" untuk waktu yang lama. Dewasa dalam arti bahwa film ini mengisahkan kehidupan para karakter dewasa, dengan suguhan cerita yang dewasa, dan dibuat dengan kesadaran yang juga dewasa hingga menghadirkan realisme yang begitu kontemplatif dan menohok. Ucup juga dengan berani sekaligus lihai menampilkan babak-babak percintaan dua sejoli Richard-Arini tampil wajar tanpa kemunafikan yang kerapkali digambarkan demikian dalam khasanah perfilman kita.
Di film ini, bahkan ada adegan bercinta antara Richard dan Arini, dan Ucup berhasil mengeksekusinya tanpa membuatnya menjadi terlihat cupu -- satu hal yang sering dilakukan oleh banyak sutradara lain. Ucup meyakini bahwa ketika dua sejoli tengah bercinta, tak mungkin si perempuan tak melepaskan behanya, sebab hal itu tentu saja bertentangan dengan akal sehat. Nah, hal-hal yang bertentangan dengan akal sehat tak akan Anda jumpai di film ini.
ADVERTISEMENT
Lewat 'Love for Sale' Ucup menemukan keindahan dan gairah sejati di tengah lanskap perfilman nasional yang kering ide dan craftmanship. Setelah menonton film ini, setidak-tidaknya saya memiliki kesan bahwa filmmaking yang didasari cinta dan dedikasi belumlah mati.