Target: Meleset, Terperosok dalam Kepura-puraan

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
27 Juni 2018 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Film Target (Foto: Twitter @sorayafilms)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Film Target (Foto: Twitter @sorayafilms)
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
Sejak memulai debut penyutradaraannya lewat 'Malam Minggu Miko the Movie' (2014), Raditya Dika hampir selalu mengarahkan sendiri, dan menulis naskah skenario sendiri untuk setiap film yang ia bintangi.
ADVERTISEMENT
Dari berderet judul seperti 'Marmut Merah Jambu', 'Hangout', 'Koala Kumal', 'The Guys', tak ada satu pun yang dapat menghibur saya, kecuali 'Single' (2015) yang saya anggap lumayan baik, dan barangkali menjadi filmografi terbaiknya sejauh ini.
Raditya Dika masih saya anggap sebagai penulis skenario yang buruk -- sebab tak menunjukkan perkembangan berarti dari tahun ke tahun. Padahal, semua skenario yang ia tulis adalah tentang dirinya sendiri, atau alter egonya. Dalam setiap skenario yang ditulisnya untuk film apapun, ia selalu gagal membangun plot, asyik sendiri, dan narsistik.
Dari satu film ke film lain, ia selalu mengulang kisah yang sama dengan formula yang sama; tentang betapa susahnya mencari pacar, tentang betapa bodoh dan culun dirinya (tetapi mantan-mantannya adalah para model papan atas), tentang dirinya yang tak ganteng, dan tentang betapa tidak lucu dirinya — dan, ketidaklucuan itu ia maksudkan untuk membangun komedi yang menyatakan (secara narsisistik) bahwa ia (merasa) dirinya sebenarnya lucu.
ADVERTISEMENT
Nah, bicara lucu tak lucu memanglah sebuah perdebatan tak berujung, sebab kelucuan akan selalu kita nilai berdasarkan preferensi, dan tingkat kecerdasan masing-masing orang. Maka, faktor kelucuan bukan menjadi landasan saya dalam meresensi film ini, walaupun filmnya sendiri dijual dengan iming-iming film thriller-komedi.
Bila sebelum-sebelum ini Raditya Dika sebagai penulis naskah sekaligus sutradara selalu mengulang formula yang sama dalam mengemas film, kali ini dia bertindak lebih jauh lagi, yakni dengan menjiplak mentah-mentah karya dia sendiri sebelumnya yaitu 'Hangout' (2016).
Biasanya orang menjiplak karya orang lain. Baru kali ini dalam sejarah terjadi orang menjiplak karyanya sendiri. Ada istilah tersendiri untuk itu; lazy writing.
Alkisah sembilan orang di antaranya Raditya Dika yang diperankan Raditya Dika, Cinta Laura Kiehl yang diperankan Cinta Laura Kiehl, Adit — eh, Samuel Rizal yang diperankan Samuel Rizal, Willy Dozan yang diperankan Willy Dozan, Abdur Arsyad yang diperankan Abdur Arsyad, Hifdzi Khoir yang diperankan Hifdzi Khoir, Ria Ricis yang diperankan Ria Ricis, Romy Rafael yang diperankan Romy Rafael, dan Anggika Boisterli yang diperankan Anggika Boisterli dijebak, diculik oleh Jigsaw.
ADVERTISEMENT
Mereka ditempatkan dalam sebuah gedung untuk mengikuti permainan hidup-mati. Alasan mereka dijebak sederhana: sebab Jigsaw merasa bahwa mereka merupakan manusia-manusia yang tak memiliki rasa syukur dan pantas untuk dihukum.
Bila saja premisnya memang seperti itu, barangkali film ini bakal jadi sedikit lebih menarik. Tetapi, tidak. Walaupun terinspirasi juga dari film seri 'Saw', 'Target' tak menawarkan kesadisan, misteri, apalagi thriller, melainkan hanya kebodohan dan 'apaan-sih' sepanjang 93 menit yang terasa seperti lamanya satu hari puasa yang penuh dengan cobaan.
Kesembilan karakter di film ini mendapatkan undangan untuk syuting sebuah film di suatu tempat. Sang pengundang tidak diketahui siapa, tetapi para seleb papan atas tanah air ini toh datang juga memenuhi undangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Film dibuka dengan receh: adegan interior di mana Raditya, Hifdzi, dan Tomy bertemu di sebuah rumah, membahas soal undangan misterius tersebut. Tak berselang lama, masuklah adegan interior lain, yakni sebuah rumah tempat di mana mereka diminta untuk berkumpul.
Di rumah tersebut tak ada yang menyambut kedatangan para seleb kita ini, dan mereka bersikap biasa saja. Mereka pun datang sendiri-sendiri tanpa ditemani manajer, asisten atau sekadar sopir yang mengantar mereka ke lokasi. Betul-betul membumi sekali para seleb kita ini.
Samuel Rizal di film ini berperan sebagai Adit dari 'Eiffel I'm in Love' — atau barangkali memang seperti itu perangainya di kehidupan nyata -- kita tak tahu -- yang jelas di film ini ia nyebelin, sok asik, dan sok macho. Cinta Laura kali ini mendapatkan peran yang biasanya jatuh kepada Richard Kyle ('Ini Kisah Tiga Dara', 'Jomblo') yang bahasa Indonesianya blepotan itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, Willy Dozan kok-mau-maunya disuruh tampil sebagai banci dalam semangat seksisme yang justru merendahkan harkat dan martabat seorang banci, cuma untuk ditertawakan bukan demi apapun selain kebebalan pembuatan film ini.
Kembali ke cerita, mereka kemudian dihidangkan sajian makan mewah di sebuah meja makan besar. Semua berkumpul. Tak ada yang bertanya dengan sungguh-sungguh dari mana hidangan itu datang, atau siapa yang menyajikan. Pokoknya adegan itu ada hanya untuk memberi jalan terhadap cerita bahwa mereka kemudian pingsan terbius selepas menyantap hidangan tersebut.
Adegan berikutnya mereka disekap di sebuah gedung bertingkat, dengan leher masing-masing dipasangi alat yang (katanya) bila mereka mencoba kabur, alat tersebut bakal meledak menghancurkan kepala mereka.
Sebuah televisi menayangkan klip video ala Jigsaw dalam film seri 'Saw' yang meminta mereka untuk melakukan perintah apa pun yang dimintanya, seperti menodongkan pistol kepada siapapun lantas menarik pelatuknya.
ADVERTISEMENT
Nah, dalam skenario ini, tak jelas atau tak ada konsekuensi berarti bilamana mereka menolak menarik pelatuk senjata. Dan, tak nampak faktor psikologis apa pun ketika satu dari mereka menodongkan pistol begitu saja kepada yang lain. Seolah main-main tanpa tedeng aling-aling. Dan, memang film ini lantas berasa seperti main-main, dibuat ala kadar tanpa upaya yang berarti.
Anda boleh saja menganggap film ini lucu luar biasa dan manasbihkannya sebagai film paling lucu abad ini, tetapi sebagai sebuah film yang utuh dan tak terlepas dari unsur estetis lain, film ini tak jauh lebih baik dari rata-rata film bikinan anak SMA yang ikut kompetisi film pendek tingkat kabupaten.
Production value film ini bila dibandingkan dengan 'Single' yang sama-sama bikinan Soraya Intercine Films, ibarat langit dan bumi, dan kentara sekali betapa murahannya apa yang yang ditampilkan film ini.
ADVERTISEMENT
Set dan tata artistik hampir tak nampak, seakan film ini dibuat dengan satu instruksi kepada cast dan crew; "Udah ngumpul aja dulu, ntar kita langsung take!"
Dijual sebagai "thriller-komedi", bilamana komedi yang ditawarkan tidak sesuai preferensi humor kita, tentu kita kemudian akan berharap kepada unsur thriller yang coba ditawarkan, namun harapan tinggal harapan, thriller yang dijanjikan pun omong kosong belaka.
"Who done it" merupakan premis paling klasik dalam genre thriller, siapa pelakunya? Siapa yang menjebak mereka? Mudah atau tidak mudah ditebak siapa pelakunya bukanlah faktor utama yang menjadikan sebuah thriller/misteri berhasil, tetapi lebih kepada motifnya, apakah cukup masuk di akal? Apakah sepadan untuk si pelaku dan para korban?
Raditya Dika sebagai penulis naskah sekaligus sutradara baru sebatas pura-pura, ia sedang berhalusinasi, berandai-andai dirinya seorang M. Night Shyamalan, padahal kenyataannya tak jauh lebih jago dari Nayato Fio Nuala.
ADVERTISEMENT
Nah, dari sini akan ada spoiler (bocoran cerita), bila Anda pengagum setia Raditya Dika dan belum sempat menonton filmnya, sebaiknya berhenti membaca sampai di sini.
Ternyata motif si pelaku adalah dendam sekaligus pembalasan dendam atas derita yang duhulu dialami sang ayahanda. Ayahanda si pelaku adalah penulis skenario yang di tahun 80an atau 70an (saya lupa) mencoba menjual skenarionya berjudul "Sasaran" namun ditolak oleh seluruh rumah produkai kala itu.
Kini anaknya balas dendam, lantas menculik rekan sejawatnya, bahkan ada yang mesti terbunuh, dalam rangka memfilmkan skenario bikinan sang ayah.
Motif si pelaku jelas dibuat-buat; mengapa Raditya Dika dan kawan-kawan misalnya yang diculik, apa dosa mereka? -- tidak disinggung sama sekali. Lantas, apa susahnya zaman sekarang membuat film yang pada zaman dahulu tidak kesampaian dibuat -- terlebih si pelaku adalah seorang stand up comedian yang tajir? Tinggal keluar uang sendiri, hire produser maka jadilah film yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
Lagipula membuat film itu butuh skenario, dan SDM yang mumpuni, bukan hanya cukup pasang kamera CCTV lantas mengeditnya menjadi sebuah film -- kecuali film yang dimaksud berjudul "Kejadian-kejadian Aneh Yang Terekam CCTV".
Nampaknya logika adalah hal terakhir yang dipikirkan si pembuat film. Hal terakhir yang kedua adalah bakat. Tak nampak film ini dibuat oleh seniman mumpuni. Secara teknis, penggarapan Raditya Dika tak terselamatkan -- padahal ini bukan film pertamanya, melainkan film ketujuhnya.
Musik tema garapan Andhika Triyadi ('Dilan 1990', 'Sajen') yang bikin puyeng dan editing dari Sastha Sunu ('Eiffel... I'm in Love 2', 'The Guys') yang seolah menggunakan aplikasi Tik-Tok, merupakan pekerjaan yang berat manakala sutradara nampak kebingungan sendiri akan apa yang ia kerjakan.
ADVERTISEMENT
Apa yang dapat dihasilkan dari naskah skenario cetek, akting main-main yang pas-pasan, dan penyutradaraan yang asal-asalan selain hasil akhir film yang astaghfirullah'aladzim.
Keberadaan film ini turut mencederai tumbuh-kembangnya perfilman nasional Indonesia yang semakin tahun semakin baik dalam segi estetis. Kita perlu berani untuk mengatakan tidak bilamana kita memang tidak mampu. Tak ada hal baik dalam kepura-puraan.