'Tehran: City of Love', Komedi Tragis Para Jiwa yang Mendamba Cinta

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2020 15:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
★★★★☆ | Shandy Gasella
Poster film Tehran: City of Love | Dok. Here and There Productions
Sinema Iran dikenal luas dalam skena perfilman dunia lewat karya-karya monumental yang disutradarai seperti oleh; Abbas Kiarostami, Asghar Farhadi, Majid Majidi, Mohsen Makhmalbaf, Samira Makhmalbaf, Marjane Satrapi, dan masih banyak nama lain, dan sekarang bertambah lagi satu nama, yakni Ali Jaberansari yang menyutradarai Tehran: City of Love ini, merupakan film keduanya setelah Falling Leaves (2013). Tahun lalu film berdurasi satu jam 42 menit ini diganjar piala Film Terbaik Young Jury Award pada gelaran Sofia International Film Festival, juga mendapatkan piala Aktris Terbaik dari Beijing International Film Festival. Di Indonesia kita dapat menyaksikannya lewat over the top (ott) Klik Film yang bekerja sama dengan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Lantaran pandemi Covid-19 yang masih melanda, maka pemutaran sejumlah film yang masuk JAFF tahun ini dapat kita saksikan dari rumah lewat ponsel di genggaman kita, tanpa perlu repot-repot pergi ke Jogja.
ADVERTISEMENT
Film ini berkisah tentang tiga orang kesepian yang tinggal di Teheran, Iran, berupaya mencari cinta -- atau kebahagiaan? Adalah Mina (Forough Ghajabagli, Fireworks Wednesday, The Accomplice), seorang resepsionis sebuah klinik kecantikan yang memiliki masalah kelebihan berat badan. Saat waktu senggang dia selalu menghubungi pasien-pasien lelaki yang datang ke kliniknya, Mina berpura-pura jadi sesosok perempuan seksi bernama Sara, lantas meninggalkan pesan teks atau voice note dengan intonasi suara yang dibuat seseksi mungkin, mengajak para lelaki yang ditaksirnya untuk kopi darat di sebuah kafe. Mina memang selalu datang ke tempat yang dijanjikan, hanya untuk memerhatikan para lelaki yang dikibulinya celingukan di dalam kafe mencari-cari sesosok perempuan fiktif bernama Sara.
Still Tehran: City of Love yang menampilkan Mina diperankan Forough Ghajabagli | Dok. Here and There Productions
Di tempat lain, seorang penyanyi acara pemakaman bernama Vahid (Mehdi Saki, Low Heigts, The Third Day), baru saja ditinggalkan tunangannya, membuatnya seolah kehilangan gairah hidup. Lantas ketika berkesempatan menyanyi di sebuah acara pernikahan, ia didekati seorang fotografer perempuan bernama Niloufar (The Blackboard, 3 Faces), teman baik Mina. Niloufar sebenarnya merasa kasihan saja kepada Vahid yang terlihat muram, maka ia menawarinya pekerjaan untuk menyanyi di sebuah acara milik temannya. Vahid salah membaca niatan Niloufar, tetapi seketika itu setelah mereka bertemu, Vahid menemukan gelora baru dalam hidupnya, wajahnya kini tak lagi mesem. Ia bersemangat sekali untuk ketemu Niloufar, bahkan rela menyanyi tanpa dibayar asal Niloufar berada di sana sebagai fotografer acara.
ADVERTISEMENT
Di tempat lain lagi, Hessam (Amir Hessam Bakhhtiari), seorang mantan juara binaraga, sekarang menjadi pelatih di sebuah tempat kebugaran, tak pernah menyiratkan kebahagiaan dalam hidupnya. Mukanya selalu mesem dan judes. Ia punya keinginan menjadi bintang film, maka sesekali ia mendatangi klinik kecantikan untuk melakukan botox atau sekadar mencukur bulu tubuhnya. Dan ia mengikuti casting sebuah film. Suatu hari ia kedatangan seorang lelaki ganteng yang minta dilatihnya agar mencapai bentuk tubuh ideal dalam waktu tiga bulan agar menang kompetisi binaraga. Hessam pun melatihnya, memberikan saran-saran, dan seiring waktu mereka semakin akrab. Ada intensi yang secara halus diperlihatkan lewat gestur Hassem, juga tentu saja intensi sengaja dari pembuat film, yang menyiratkan bahwa Hessam kemungkinan seorang homoseksual. Tetapi, ini film yang diproduksi di Iran, sebuah negara dengan pemerintahan yang opresif. Tentu pembuat film tak bisa secara terang-terangan membahas isu kontroversial bila tak ingin disensor atau bahkan masuk penjara.
ADVERTISEMENT
Lewat film ini kita dapat memerhatikan dan menganalisis secuil sosiologi masyarakat Teheran kontemporer lewat ketiga karakter utama. Bagaimana dan betapa pun berbeda situasi politik dan tatanan hidup suatu negara, permasalahan manusia secara individual pada dasarnya universal, terutama menyangkut persoalan pencarian kebahagiaan, dan dalam hal ini kebahagiaan yang bertumpu atau bergantung pada kehadiran orang lain. Yang mana bukanlah kebahagiaan yang hakiki, menurut saya.
Hessam (kiri), Mina (tenga) dan Vahid dalam satu adegan Tehran: City of Love | Dok. Here and There Productions
Mina tak pernah diceritakan diejek atau diperlakukan buruk lantaran fisiknya yang kelebihan berat badan, tetapi ia sendiri yang menciptakan ketidakbahagiaannya dengan mencari atau ingin mendapat perhatian dan pengakuan dari orang lain. Suatu ketika, tanpa diduga dia disapa seorang lelaki di sebuah kafe, yang merupakan pasien di kliniknya, Mina seketika senang dan berbunga-bunga, hingga kemudian ia mendapati fakta bahwa lelaki tersebut sudah beristri. Kebahagiaannya sirna seketika.
ADVERTISEMENT
Vahid tak menduga, sesaat setelah ia menyatakan rasa kekaguman, sesaat setelah ia menyatakan dirinya menaksir Niloufar, sang perempuan idamannya tersebut ternyata bakal pergi jauh ke Australia dalam waktu dua minggu. Hassem yang saya kasihani yang barangkali kebingungan dengan orientasi sekusualnya, dia sudah pernah menikah lantas bercerai, juga pada saatnya ia mulai dapat memahami dirinya sendiri, sekonyong-konyong ditinggal pula oleh si lelaki ganteng yang minta berhenti latihan karena mesti bepergian bisnis ke luar negeri.
Film yang seolah tak bercerita apa-apa ini, dalam artian tak ada plot tertentu laiknya dalam dramaturgi film arus utama, yang mana biasanya berupa rumusan di babak pertama memperkenalkan karakter dan permasalahan yang dihadapi, babak kedua dan penutup berupa rintangan atau konflik lantas resolusi atau jalan keluar yang didapatkan si karakter utama. Film ini tak bertumpu pada struktur cerita seperti itu, tetapi ia memberikan studi karakter yang jenuin, yang nyata bak orang-orang di keseharian kita. Dan, yang paling utama, pembuat film membuka selebar-lebarnya ruang interpretasi bagi penonton, yang sesuai pengalaman hidup masing-masing, pasti memiliki pembacaan tersendiri atas makna atau pesan yang coba disampaikan film ini.
ADVERTISEMENT
Seluruh pemain mencurahkan performa terbaik, pengadeganan dan bingkai kamera ditata sedemikian intim, membawa kita tersedot ke dalam dunia yang ditinggali para karakter utama. Lewat detail-detail yang dihadirkan secara halus, seperti misalnya adegan pihak berwajib yang menggerebek sebuah acara di mana Vahid terlibat menjadi penyanyi, adegan tersebut tak dibuat atau diterangkan lewat konteks tertentu, tetapi kita dapat menerka maksudnya secara politis apa, dan itulah dunia tempat para karakter di film ini hidup. Sengsara. Hanya cinta yang dapat menyelamatkan mereka, dan sayangnya mereka belum memahami bahwa dalam rangka dapat mencintai dan dicintai orang lain, mereka mesti mencintai diri sendiri terlebih dahulu.
Itu tentu hanya pembacaan saya saja, dan saya berharap Anda punya pembacaan sendiri, tontonlah selagi sempat dan tersedia, serta dapat diakses dengan mudah. Ini film yang langka. Sepanjang ini saya terangkan masa Anda enggak kepingin nonton?
ADVERTISEMENT