Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ulasan Film: Remake Bayi Ajaib, Lebih Superior dari Pendahulunya
21 Januari 2023 15:26 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Entah kau pernah menontonnya di gedung bioskop paling megah di kotamu, atau di bioskop second-tier, entah lewat televisi tabung atau layar tancap, rasanya generasi milenial hingga boomer yang saya kenal, pada suatu masa pasti pernah menonton film horor berjudul Bayi Ajaib garapan Tindra Rengat.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebentar, siapa yang ingat nama Tindra Rengat? Terus terang saja, saya pun mesti googling dahulu sebelum menyebut namanya itu dalam artikel ini. Padahal, lewat googling lebih lanjut saya mendapati bahwa dia sutradara yang cukup produktif pada masanya, sempat membuat banyak film untuk sejumlah aktor sohor seperti Widyawati (Rindu, 1973), Benyamin S (Benyamin si Abu Nawas, 1974), Barry Prima (Darah Perjaka, 1985), Eva Arnaz (Sakura dalam Pelukan, 1979), Rachmat Hidayat (Lupa Daratan, 1975), dan lain-lain.
Pada skena horor, nama Tindra Rengat tak segahar nama Sisworo Gautama, pada skena komedi, namanya juga tak sesohor Nawi Ismail apalagi sekaliber Nya Abbas Akup, dan pada ranah drama juga action, reputasinya belum, jangankan pada level Oh-dia-sutradara-yang-bikin-film-itu-kan, ada yang ingat namanya saja rasanya mungkin sudah syukur alhamdulillah.
ADVERTISEMENT
Nyaris tak ada wartawan film, kritikus, ataupun akademisi film yang, jangankan menganalisis atau menimbang karya-karyanya, mengenangnya dan menulis rekam jejaknya secara ala kadarnya pun rasanya nihil. Karena hal itulah, pembuka artikel ini saya dedikasikan untuknya.
Rasanya Tindra Rengat sebagai seorang penulis cerita sekaligus sutradara film Indonesia cukup layak kita kenang. Tak ada apresiasi yang lebih mulia bagi seorang seniman, selain namanya dikenang oleh para penikmat karyanya bukan?
Empat puluh tahun sejak kali pertama film asli Bayi Ajaib dirilis, Falcon Pictures membeli hak buat ulang (remake) film tersebut dan kemudian mendirikan Falcon Black, semacam subsidiari yang khusus menjadi rumah bagi film-film horor dan subgenre-nya. Ini gestur yang menandakan bahwa Falcon tidak ingin main-main dalam menggarap horor.
ADVERTISEMENT
Rako Prijanto didapuk produser Frederica menjadi sutradara remake Bayi Ajaib, Rako sebelum ini juga sempat me-remake film Italia berjudul Perfetti Sconosciuti yang kemudian versi remake-nya diberi judul Perfect Strangers, produksi Falcon Pictures dan tayang eksklusif via kanal streaming Prime Video. Perfect Strangers garapan Rako menjadi salah satu yang terbaik dari sekian banyak veri remake-nya. Dan Bayi Ajaib ini menjadi debut Rako membesut film horor. Dan singkatnya, hasilnya tak mengecewakan.
Tapi, panjangnya begini. Sedari dulu saya punya keprihatinan terhadap judul 'Bayi Ajaib' ini. Saya rasa judul dan cerita tak begitu nyambung. Sebab, walaupun judulnya 'Bayi Ajaib' toh cerita hampir seluruhnya berkutat pada seorang anak lelaki umur tujuh tahun, bukan bayi! Pada versi asli dan remake, fase pengenalan bayi ini hanya berlangsung kurang dari lima menit saja, sisanya lantas film melompat ke masa tujuh tahun kemudian.
Semula saya berharap versi remake akan mengambil jalan lain, misalnya, menceritakan keganjilan-keganjilan selama Didi, sang bayi, hidup pada masa tujuh tahun awal umurnya. Dengan cara begitu, tim pembuat film versi remake dapat lebih leluasa dan memiliki kemerdekaan kreatif untuk membuat kisah yang baru, sambil tentu saja, menghormati legasi pendahulunya. Dan dengan cara begitu pula, judul 'Bayi Ajaib' pada akhirnya akan dapat dijustifikasi penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Namun, apa boleh buat, mungkin atas pertimbangan tertentu, pada akhirnya versi remake ini memilih untuk setia pada pakem dan elemen-elemen film aslinya, tetapi naskah skenarionya dipoles dan dipertajam oleh Alim Sudio (Miracle in Cell No. 7, Perfect Strangers).Tanpa membocorkan cerita (spoiler), secara garis besar, kisah pada film versi remake ini sama dengan aslinya, namun hal-hal yang terasa tak masuk akal atau tak memiliki penjelasan pada film pertama, kini dibuat terang, tetapi beberapa bagiannya justru jadi terlalu terang. Bukankah film horor dan subgenrenya identik dengan hal-hal yang misterius?
Scene-scene ikonik film aslinya digarap ulang dengan pendekatan yang sama, dan berkat kemajuan teknologi filmmaking kiwari, Rako Prijanto berhasil menaikkan level scene-scene ikonik tersebut. Tetapi, efek horornya apakah sama, melebihi, atau justru kurang dari versi asli, saya rasa penonton yang belum menyaksikan versi asli dapat memberi kesan yang lebih valid ihwal ini. Bahwa kesan menonton film Bayi Ajaib versi asli dan ditonton pada masanya, akan berbeda rasa ketika film yang sama ditonton sekarang. Kini orang lebih terbiasa dan lebih genah menyaksikan film horor yang ada jumpscare-nya, dan atmosferik, misalnya.
ADVERTISEMENT
Bagian paling asyik dari genre horor adalah jumpscare-nya, dan dengan catatan, tentu saja jika digarap dengan baik. Lantas memberi treatment yang setia pada film asli, yang mana nihil jumpscare, akan membuat film dan penontonnya memiliki jarak. Untungnya Rako masih mau memberi sentuhan-sentuhan jumpscare itu, dan hasilnya secara visual dan pay-off, hampir selalu berhasil. Dan saya suka elemen gore di film berdurasi 97 menit ini.
Seluruh cast tampil maksimal, dan terutama si aktor cilik Rayhan Cornellis yang berperan sebagai Didi. Juga penampilan istimewa dari Deasy Ratnasari yang sudah absen bermain film selama 15 tahun! Kali terakhir dia tampil di film Kun Fayakuun yang rilis di tahun 2008.
Film horor perdana dari Falcon Black ini jelas lebih superior ketimbang film aslinya, dalam segala aspek. Dan ia memberi penghormatan yang layak terhadap pendahulunya, satu hal yang jarang dicapai oleh sebuah karya buat ulang.
ADVERTISEMENT