Konten dari Pengguna

Kebebasan Berpendapat yang Dibatasi, Modernisasi Lemahkan Demokrasi?

Ni Putu Ayu Gita Shanti Pratiwi
Mahasiswi S1 Hubungan Internasional Universitas Udayana
1 Juli 2024 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Putu Ayu Gita Shanti Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Berpendapat. Foto: dok. Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Berpendapat. Foto: dok. Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kebebasan berpendapat adalah salah satu pilar utama dalam demokrasi untuk menghadapi berbagai tantangan di era modernisasi ini. Kebebasan berpendapat dinilai sebagai salah satu HAM setiap individu yang tidak bisa untuk dibatasi penggunaannya. Melemahnya kekuatan demokrasi turut memicu kekhawatiran seluruh negara di belahan dunia, termasuk Indonesia. Berbagai regulasi telah dirumuskan dalam menjaga kekuatan demokrasi di dalam negara.
ADVERTISEMENT
Dengan modernisasi, setiap individu sangat dimudahkan untuk mengakses informasi dengan cepat hanya melalui ponsel pribadi. Bahkan, setiap individu dapat dengan mudah untuk menyerukan pendapatnya melalui sosial media. Namun, hal ini justru dibatasi oleh pemerintah dengan menghadirkan undang-undang yang justru membatasi kebebasan berbicara di sosial media dan platform digital lainnya. Langkah ini, dipercaya sebagai solusi pemerintah dalam memerangi berita palsu dan ujaran kebencian.
Pembatasan Kebebasan Berpendapat di Era Digital
Era digital diyakini sebagai era dengan mengakses informasi dimanapun dan kapanpun dengan instan. Sosial media telah menjadi alat utama bagi setiap individu untuk dapat menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan pemerintah. Namun, dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak disahkannya pada tahun 2008 dengan banyaknya pasal "karet" didalamnya.
ADVERTISEMENT
Pasal "karet" tersebut kemudian mengkriminalisasi masyarakat yang ingin berpendapat dan tercatat terdapat 381 korban UU ITE sejak pertama kali diundangkan hingga tahun 2018. Dilansir dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (2021), terhitung bahwa terdapat kasus sebanyak 96,8 persen (744 perkara) yang dijerat dengan pasal 27, 28, 29 UU ITE dengan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen (676 perkara). Tingginya tingkat penghukuman ini kemudian dapat berdampak kepada masalah lainnya, seperti overcrowding penjara.
Modernisasi: Pisau Bermata Dua
Modernisasi dengan segala kemajuan teknologi didalamnya, seharusnya dapat menjadi salah satu komponen yang dapat memperkuat demokrasi. Teknologi dapat meningkatkan transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas pemerintah. Namun sayangnya, regulasi yang dihadirkanpun masih belum tepat dan adil, sehingga modernisasi dapat menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
ADVERTISEMENT
Pembatasan kebebasan berpendapat tidak hanya berdampak pada masyarakat biasa yang aktif di sosial media, namun akan berdampak besar bagi jurnalis, akademisi, dan aktivis yang memanfaatkan sosial media dalam menyebarluaskan informasi bagi masyarakat. Seringkali mereka akan mengalami kekangan akan sanksi hukum, sehingga menciptakan keraguan untuk mengungkapkan pendapat mereka secara bebas.
Dalam khasus ekstrem, tidak sedikit jurnalis yang menulis berita untuk mengkritik kinerja pemerintah menghadapi intimidasi, kekerasan, bahkan penahanan karena dianggap sebagai tindakan penyebaran ujaran kebencian. Hal tersebut menciptakan ketakutan yang tidak lagi kondusif bagi perkembangan demokrasi yang sehat.
Pengekangan Kebebasan Berpendapat "Mulai" Terjadi Kembali
Selain regulasi yang ketat, penahanan aktivis dan jurnalis yang mengkritik pemerintah juga meningkat. Seperti aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frits yang mendapatkan tuntutan atas pelanggaran Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dalam membuat gerakan #SAVEKARIMUNJAWA dalam menolak tambak udang ilegal pada tahun 2022 dan Jurnalis Muhammad Asrul yang mendapatkan tuntutan atas pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) setelah menerbitkan tiga berita mengenai dugaan korupsi di Kota Palopo tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Meskipun pasca reformasi kebebasan mulai mendapatkan ruangnya kembali, kekanganpun kembali menyelimuti kebebasan tersebut. Ketika keberanian untuk menyampaikan pendapat disuarakan, UU ITE hadir karena adanya kekosongan hukum pada media baru dengan minat yang tinggi oleh masyarakat di masa kini, yaitu platform digital. UU ITE hadir untuk melindungi masyarakat dalam platform digital, khususnya dalam bertransaksi elektronik, namun pada realitanya UU ITE justeu digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang yang ingin berpendapat yang justru melanggar HAM yang telah disepakati sebagai hak kepemilikan yang harus dihargai oleh setiap individu.