PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL DARI KACAMATA PERBANKAN

Konten dari Pengguna
25 Juni 2020 5:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shasza yemima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penanganan pandemi COVID-19 memerlukan kebijakan-kebijakan yang extraordinary untuk dieksekusi oleh pemerintah. Salah satunya adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Atas upaya penanganan tersebut, tentu saja ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah. Terhentinya kegiatan dan aktivitas ekonomi akibat pembatasan sosial berakibat pada penurunan kinerja perekonomian yang tajam. Keterkaitan ini juga memicu gejolak pada stabilitas sistem keuangan.
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu cara menjaga stabilitas sistem keuangan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2020 tentang pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 11 Mei 2020 lalu. Tujuannya antara lain adalah untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha yang terdampak oleh pandemi ini. Program ini pada dasarnya merupakan bagian dari Perppu No. 1 tahun 2020 (sekarang diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020) yang mengatur mengenai kebijakan pemerintah dalam rangka mempercepat penanganan dampak pandemi COVID-19 yang dapat mengancam perekonomian dan stabilitas sistem keuangan nasional.
Salah satu kebijakan yang banyak disorot adalah kebijakan penempatan dana pemerintah pada anchor bank atau bank peserta. Bank peserta tersebut didorong untuk membantu melakukan penyediaan bantuan likuiditas kepada bank-bank pelaksana yang telah menyalurkan kredit, modal kerja sampai pemberian restukturisasi kredit kepada pelaku usaha yang terdampak pandemi COVID-19. Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh bank penerima bantuan likuiditas adalah bank tersebut harus merupakan bank yang berkategori sehat. Artinya, bank tidak mengalami kesulitan dalam solvabilitas, permodalan dan rasio keuangan lainnya. Penilaian tingkat kesehatan bank ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
ADVERTISEMENT
Seperti yang ditegaskan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu, kriteria “bank sehat” ini merupakan implementasi pengaturan dari pemberian dukungan likuiditas yang dari awal bertujuan untuk membantu para pelaku usaha dalam rangka pemulihan ekonomi nasional. Bantuan likuiditas ini bukan ditujukan untuk membantu perbankan yang memiliki masalah likuiditas, juga bukan untuk menyelamatkan bank dari kebangkrutan. Kriteria lain yang harus dipenuhi oleh bank pelaksana adalah memiliki SBN, Sertifikat Deposito Bank lndonesia, Sertifikat Bank Indonesia, Sukuk Bank Indonesia, dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah yang belum direpokan tidak lebih dari 6% (enam persen) dari dana pihak ketiga.
Namun Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah justru mempertanyakan nasib dari bank-bank yang kurang sehat. Kriteria ini dinilai sangat ketat dan akan sangat sulit dipenuhi oleh bank-bank kecil, sehingga bantuan tidak akan banyak dimanfaatkan oleh bank-bank yang memiliki permasalahan likuiditas. Kemana bank-bank ini akan memintan bantuan? Padahal bank-bank yang kurang sehat inilah yang sebenarnya membutuhkan bantuan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga seakan kontradiktif dengan pernyataan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso yang mengatakan bahwa skema bantuan likuiditas ini disediakan oleh pemerintah untuk bank-bank yang “membutuhkan”. Dana dari pemerintah akan ditempatkan di bank besar sebagai bank peserta dan kemudian dialirkan ke bank pelaksana. Padahal apabila bank tersebut termasuk kategori “bank sehat” maka besar kemungkinan bahwa bank tersebut tidak membutuhkan bantuan likuiditas.
Pro dan kontra terhadap kebijakan penempatan dana dalam rangka pemberian dukungan likuiditas perbankan tidak berhenti sampai sini saja. Menurut Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H. Amro, penunjukan anchor bank dalam menyelesaikan masalah likuiditas tidak tepat. Hal ini karena lembaga yang berwenang untuk mengurus masalah likuiditas perbankan menurut Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan adalah Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Peran perbankan disini seharusnya adalah sebagai obyek dari kebijakan dan bukan sebagai regulator. Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui penempatan dana pada anchor bank dinilai akan membuat sistem perbankan “sakit”. Sebab, apabila ada kerugian dalam program ini, maka tanggung jawab sepenuhnya dibebankan kepada anchor bank.
ADVERTISEMENT
Namun ternyata mayoritas para pemegang saham Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai anchor bank melihatnya dari sisi yang berbeda. Aturan ini dianggap bersifat non-mandatory contractual dan dilakukan berdasarkan perjanjian antara kedua belah pihak (bank peserta dan bank pelaksana) sehingga kerugian dapat diminimalisir. Selain itu, peraturan ini juga dapat meningkatkan peran perbankan sebagai agent of development dalam mendukung program pemulihan ekonomi nasional.
Akibatnya, saham Himpunan Bank Milik Negara justru meroket setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Menteri BUMN Erick Thohir mengumumkan penempatan dana sejumlah Rp30 T kepada 4 Bank BUMN berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional. Artinya, para pemegang saham melihat aturan ini sebagai kepercayaan pemerintah kepada bank peserta yang potensial membantu memulihkan perekonomian utamanya sektor riil.
ADVERTISEMENT
Terakhir, terkait dengan pelaksanaannya, bantuan likuiditas perbankan ini sangat berisiko menimbulkan pembengkakan anggaran. Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono mengatakan bahwa bail out yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional ini perlu dimitigasi agar anggaran yang dibutuhkan terkait penanganannya tidak selalu membengkak.
Hal ini pernah terjadi saat krisis moneter tahun 1998 lalu, dimana Bank Indonesia menyediakan bantuan likuiditas kepada bank-bank bermasalah yang kemudian malah disalahgunakan oleh para pemilik bank. Uang ratusan triliun rupiah dibawa kabur, namun kondisi perbankan saat itu tetap tidak membaik.
Tentu saja banyak orang yang membandingkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Apakah benar kerugian negara akibat bantuan likuiditas yang disediakan pemerintah dapat terulang kembali? Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah berpendapat bahwa pemulihan ekonomi 2020 berbeda dengan kejadian kelam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BBLI). Hal ini karena adanya anchor bank sebagai jembatan antara pemerintah sebagai pemberi bantuan likuiditas dengan bank pelaksana, yang nantinya akan menyalurkan bantuan dana ke masyarakat. Hal ini mencegah terjadinya moral hazard oleh bank pelaksana, sebab risiko penyaluran bantuan likuiditas dapat dideteksi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad juga sependapat dan menambahkan bahwa penempatan dana pada anchor bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dikendalikan dibawah komando Menteri BUMN, sehingga berbeda dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BBLI).
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso berharap bahwa dukungan likuiditas perbankan ini dapat menyalurkan kredit sebesar Rp600T dan memulihkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% (lima persen).
Penulis : Shasza Yemima (Mahasiswa PKN STAN)