Berhenti Objektifikasi terhadap Wanita

Shavna Dewati Setiawan
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta. Masih belajar menulis.
Konten dari Pengguna
16 Juli 2021 13:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shavna Dewati Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wanita. Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/4bmtMXGuVqo?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wanita. Sumber gambar: https://unsplash.com/photos/4bmtMXGuVqo?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kalian mendengar atau membaca ungkapan tersebut? Terdapat banyak ungkapan untuk wanita. Wanita adalah perhiasan, wanita adalah ikan sebagai umpan kucing, wanita sebagai aset, dan ungkapan lainnya untuk menggambarkan sesosok wanita. Ungkapan-ungkapan tersebut sudah begitu melekat di masyarakat tanpa disadari.
ADVERTISEMENT
Dari tampak luar, penggunaan ungkapan ini terkesan meninggikan derajat wanita. Wanita selalu dianggap sosok suci, sehingga ungkapan-ungkapan tersebut lahir untuk mengaggungkan wanita. Akan tetapi, sadarkah bahwa penggunaan ungkapan ini justru merendahkan wanita? Lho, padahal ungkapan ini bertujuan untuk memuji, bagaimana bisa?
Ungkapan-ungkapan yang merujuk wanita sebagai suatu objek ini dinamakan objektifikasi seksual. Wanita tidak lain hanyalah dianggap pemuas hasrat untuk pria dan mengekang wanita untuk tidak berlaku di luar “batas”. Pengontrolan wanita dalam objektikasi seksual yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan yang beredar dalam masyarakat ini menjadikan masyarakat berpikir bahwa wanita memang sepantasnya begitu. Hingga tahap yang lebih parahnya adalah wanita diabaikan saat mengalami kekerasan maupun pelecehan karena hal tersebut lumrah di mata masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ambil contoh yaitu ungkapan bahwa wanita adalah permen. Permen dengan bungkus terbuka diibaratkan perempuan yang berpaikan terbuka dan sugestif. Karena pakaian tersebut sugestif, pria berbondong-bondong datang mendekati wanita ini dan diibaratkan para pria bernafsu kepada wanita tersebut. Maka wanita-wanita dengan gaya berpakaian terbuka seperti inilah yang dianggap hina di mata masyarakat sebab pakaiannya terbuka dan sugestif di mata pria.
Di sisi lain, permen yang bungkusnya tertutup memiliki pesan bahwa wanita yang menutup dirinya sebaik mungkin adalah contoh ideal. Tidak memperlihatkan tubuh dan menjaga keperawanan hingga usia menikah selalu ditanamkan terhadap wanita. Saat wanita ingin berpakaian terbuka, wanita akan dicap tidak senonoh karena sudah menggoda pria dengan baju yang sugestif.
Ungkapan-ungkapan yang terus-menerus mendiktekan perempuan membuat wanita hanya dinilai dari suci atau tidaknya di mata masyarakat. Jika wanita sudah tidak perawan, maka wanita tidak ada harga dirinya lagi karena dianggap “barang bekas”. Wanita pun tidak bisa bebas berekspresi dalam memilih pakaian sebab pria selalu tergoda saat wanita mengenakan pakaian terbuka. Hal yang lebih miris adalah banyak kaum wanita menormalisasikan pemikiran seperti ini.
ADVERTISEMENT
Represi dari objektifikasi seksual ini dapat bersifat fatal. Saat ada wanita dilecehkan oleh pria, masyarakat langsung menilik korban pelecehan dari baju yang dikenakan. Jika baju yang dikenakan adalah baju terbuka dan berkesan sugestif, perempuan disalahkan karena telah menggoda pria untuk melakukan pelecehan tersebut. Masyarakat justru menyampingkan pelaku pelecehan yang dari awal berinisiatif untuk melakukan pelecehan.
Pemikiran untuk menyalahkan wanita saat pelecehan terjadi disebut victim blaming. Victim blaming kerap terjadi karena pemikiran tersebut telah ditanamkan melalui ungkapan-ungkapan bernada objektifikasi seksual. Akibatnya, wanita yang mengalami pelecehan sering kali menutup diri untuk tidak menyuarakan kejadian tersebut dan membiarkan pelaku tetap bebas di luar. Korban tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya didapatkan dan justru mendapatkan caci-maki dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2018, Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik yang dilakukan terhadap 32.341 responden mengungkapkan bahwa sebesar 17% wanita berpakaian tertutup. Pakaian tertutup ini juga terdapat kategori wanita berhijab pendek maupun panjang. Dari hasil survei ini membuktikan bahwa korban tidak pantas disalahkan atas pelecehan yang terjadi. Menyalahkan korban atas pakaian yang dikenakan juga bukan alasan pelecehan seksual untuk dilakukan.
Pemikiran masyarakat terutama kaum pria seharusnya diedukasi untuk tidak melihat wanita hanya sebagai pemuas hasrat saja. Sesama wanita juga seharusnya mendukung satu sama lain bukan malah menjatuhkan sesama. Wanita bagaimanapun juga sederajat dengan pria dan semestinya diberlakukan selayaknya manusia. Pakaian wanita juga bukan menjadi alasan untuk mewajarkan pelecehan yang terjadi.
(Shavna Dewati Setiawan/Politeknik Negeri Jakarta)
ADVERTISEMENT