Korupsi pada Proyek Meikarta dalam Etika Normatif

Shelma Aliyanisa
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
31 Desember 2020 12:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shelma Aliyanisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin menggunakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/10/2018). (merdeka.com/Dwi Narwoko)
zoom-in-whitePerbesar
Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin menggunakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/10/2018). (merdeka.com/Dwi Narwoko)
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, korupsi merupakan suatu tindakan menyimpang yang melanggar norma dan dapat terjadi kapanpun dan dimanapun. Penyakit korupsi ini tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan, namun dapat juga terjadi di sektor swasta bahkan di masyarakat. Terdapat beberapa faktor penyebab korupsi, seperti faktor ekonomi, faktor sosial budaya, ataupun faktor politik. Faktor ekonomi merupakan faktor yang paling sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Namun begitu, pada kasus korupsi yang terjadi di lingkungan birokrasi, faktor politik berperan sama pentingnya di mana dalam faktor ini efektivitas kinerja dalam sistem pemerintahan sangat berpengaruh. Secara umum korupsi di birokrasi dapat terjadi karena kualitas pemerintahan yang kurang baik. Korupsi itu sendiri terdiri dari beberapa jenis. Andvig, et al., 2009 menyatakan jenis-jenis korupsi yang terdiri dari suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (fraud), dan pemerasan (extortion). Pada kasus Proyek Meikarta, korupsi yang terjadi adalah jenis suap yang pada dasarnya adalah pembayaran yang diberikan dan diterima dalam bentuk apapun dalam suatu hubungan yang korup.
ADVERTISEMENT
Kasus Korupsi Proyek Meikarta
Beberapa waktu lalu, terdapat indikasi kasus korupsi jenis penyuapan dalam Proyek Meikarta. Pada proses pembangunannya, terjadi beberapa kasus hukum yang melibatkan berbagai pihak yang berkaitan dengan perizinan. Tindakan penyuapan ini dilakukan melalui lima kali transaksi yang terjadi karena anak perusahaan developer Proyek Meikarta pada saat itu membutuhkan beberapa perizinan untuk melakukan pembangunan seperti Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada saat itu Presiden Direktur developer proyek ini diduga melakukan suap sebanyak lima kali pemberian dana kepada Bupati Bekasi saat itu dengan total Rp10,5 miliar dalam bentuk dollar Amerika. Selain itu, dalam proses pengurusan Raperda Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Pengembangan proyek pembangunan Meikarta juga terdapat indikasi kasus suap yang dilakukan sejumlah pihak dengan melibatkan Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi dan Sekretaris Daerah Pemprov Jawa Barat. Dalam kasus suap tersebut, KPK telah menetapkan sembilan tersangka yang diduga sebagai pemberi suap, dengan jabatan mulai dari Direktur Operasional, konsultan, hingga pegawai. Kemudian penerima suap yang ditetapkan berasal dari pejabat pemerintah setempat mulai dari Bupati Bekasi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi, hingga Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi. Pada kasus Proyek Meikarta, total uang suap yang dikeluarkan oleh pihak developer adalah sebesar Rp16.182 miliar dan 270.000 dolar Singapura yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi dan diberikan secara bertahap.
ADVERTISEMENT
Korupsi Proyek Meikarta dalam Etika Normatif
Etika normatif adalah salah satu cabang kajian etika yang berfokus pada standar penilaian benar salahnya suatu tindakan. Kajian etika normatif dapat dipandang melalui dua pendekatan teoritis, yaitu deontologi dan teleologi. Pendekatan deontologi menekankan pada pengambilan keputusan secara etika yang seharusnya dibuat melalui pertimbangan kewajiban yang dimiliki oleh seseorang dengan menghormati hak yang dimiliki oleh orang lain. Jika berdasarkan pada beberapa teori dalam deontologi, kasus korupsi di Proyek Meikarta tidak menunjukkan etika yang baik bahkan tidak menunjukkan keberadaan etika pada diri pelaku korupsi yang terlibat. Berdasarkan teori contractarianism, misalnya. Pada teori ini dikatakan bahwa setiap manusia berusaha memaksimalkan pengambilan keputusan demi mengejar kepentingan mereka masing-masing dan perilaku individu dalam mengambil keputusan ini disebut sebagai moral. Maka ketika pihak dari developer Proyek Meikarta saat itu melakukan penyuapan kepada Bupati Bekasi untuk memperoleh perizinan penggunaan tanah, hal tersebut adalah suatu konsep moral. Pada konsep moral tersebut, pola pikir untuk mencapai kepentingan pribadi telah tercapai, namun hal itu bukanlah etika yang baik secara deontologi karena menyalahi kewajiban pribadi untuk taat terhadap hukum yang berlaku. Dari sudut pandang teori lainnya dalam deontologi, yaitu natural rights theory, etika dikatakan terbentuk ketika seseorang mulai menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang harus dihormati. Maka pada Proyek Meikarta, etika dapat dikatakan tidak terbentuk dalam diri pelaku yang terlibat karena tindakan korupsi berupa penyuapan tersebut tidak mencerminkan kesadaran akan adanya hak asasi yang dimiliki orang lain secara khusus hak sipil dan politik. Keadilan politik tidak terwujud dalam sistem pemerintahan di mana agar setiap izin dapat dikeluarkan oleh pemerintah setempat, diperlukan kucuran dana langsung kepada pejabat yang berkepentingan. Apabila hal seperti ini telah menjadi suatu kebiasaan maka dapat dibayangkan berapa banyak proyek pembangunan yang terhambat pada proses perizinan karena keterbatasan anggaran sehingga hal ini secara luas akan berpengaruh terhadap laju pembangunan suatu wilayah. Karenanya kasus korupsi ini secara tidak langsung melanggar hak asasi dalam hal keadilan sipil dan berpolitik.
ADVERTISEMENT
Pada pendekatan teoritis teleologi dalam etika normatif, moral diasosiasikan dengan aksi yang berkaitan dengan hasil dari tindakan tersebut sehingga moralitas seseorang menjadi etis jika dia memberikan hasil yang baik. Teori-teori dalam pendekatan teleologi memberikan hasil yang cenderung berbeda dari deontologi karena perilaku individu pada kasus korupsi Proyek Meikarta sejatinya dapat dibenarkan dengan beberapa indikasi dan asumsi, dan sistem birokrasi yang tidak efisien lah yang menyebabkan korupsi ini menjadi seakan-akan diperlukan. Contohnya saja berdasarkan teori utilitarianisme. Teori ini menyatakan bahwa keputusan dan tindakan yang terbaik adalah yang memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Maka, apa yang dilakukan oleh pelaku pemberi suap dari pihak developer Proyek Meikarta bisa saja dibenarkan. Dengan asumsi bahwa tujuan utama dari korupsi ini adalah untuk mempercepat pembangunan yang sedang dilakukan. Percepatan pembangunan akan memberikan manfaat bagi banyak pihak yang terlibat dalam Proyek Meikarta, seperti pihak konsumen ataupun investor. Konsumen tentulah akan senang dan merasakan manfaat yang nyata karena properti mereka menjadi cepat selesai, sama halnya dengan investor yang merasakan manfaat dari semakin banyaknya konsumen tertarik untuk membeli properti di Meikarta. Hubungan kebermanfaatan ini saling berkaitan antara satu pihak dengan pihak lainnya sehingga semakin banyak pihak yang akan merasakan manfaat atas keputusan yang diambil oleh pihak developer Proyek Meikarta untuk memperlancar pembangunannya. Berdasarkan teori lain pada teleologi yaitu hedonisme, di mana tindakan yang baik adalah tindakan yang memberikan kepuasan atau kesenangan maksimal, maka tindakan korupsi ini juga bisa saja dibenarkan. Karena seperti disebutkan sebelumnya, hubungan antara pihak-pihak dalam proyek ini sangatlah berkaitan erat. Sehingga apabila kepuasan maksimal tercapai pada salah satu pihak maka secara berantai hal tersebut akan dirasakan pula oleh pihak lain dan pada akhirnya hal ini akan menjadi sesuai dengan utilitarianisme tadi.
ADVERTISEMENT
Walaupun berdasarkan dua teori etika dalam teleologi perilaku korupsi di Proyek Meikarta ini bisa saja dibenarkan, perlu diingat bahwa hal tersebut berlaku hanya pada asumsi-asumsi tertentu. Lagipula pada praktiknya teori-teori etika ini tidak serta merta diimplementasikan sebagai acuan perilaku dalam hubungan antar aktor-aktor di suatu negara, namun telah dikembangkan menjadi suatu kode etik tertentu yang lebih relevan penerapannya dengan realita di lapangan.
Faktor Penyebab Korupsi dan Kemudahan Birokrasi
Melalui sudut pandang etika normatif, baik deontologi maupun teleologi, dapat terlihat bahwa kasus korupsi berupa penyuapan pada Proyek Meikarta ini terjadi karena faktor ekonomi dan faktor politik. Faktor ekonomi mendorong individu untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sejalan dengan teori contractarianism pada deontologi. Pada faktor politik terlihat bahwa kurangnya kualitas pemerintahan pada kasus ini memberikan dorongan untuk melakukan korupsi seperti digambarkan dalam teori utilitarianisme dan hedonisme pada teleologi. Maka dari itu, perlu ada peningkatan kemudahan birokrasi pada sistem pemerintahan, seperti misalnya dengan meningkatkan kejelasan aturan mengenai perizinan dan kemudahan dalam akses serta penyederhanaan alur birokrasi yang harus dilalui. Sehingga setiap pihak yang terlibat dalam proses pembangunan suatu proyek dapat merasakan manfaat yang optimal tanpa melalui cara-cara yang menyalahi etika atau bahkan tidak mengikutsertakan etika di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Oleh: Shelma Aliyanisa, Ariq Avriyandi, Tarisa Khairunnisa/Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia
Referensi
Andvig JC, Fjeldtad OH, Amundsen I, Sissener T, Søreide T. (2000). Research on Corruption: A Policy Oriented Survey. [NORAD] Norwegian Agency for Development Co-operation.
Cooper, T. (2019). Handbook of administrative ethics. CRC Press.
Damanhuri DS. (2010). Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Berkembang. Bogor: IPB Press.