Konten dari Pengguna

Ketika Realitas dan Fantasi Bertabrakan

Shilfy Nurul Fazri
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
16 November 2023 17:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shilfy Nurul Fazri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi orang yang depresi. Foto : Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi orang yang depresi. Foto : Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Banyak orang mengira psikosis dan skizofernia merupakan sebuah penyakit kejiwaan yang serupa. Namun, ternyata keduanya merupakan dua kondisi yang berbeda. Skizofernia adalah penyakit mental yang memengaruhi pemikiran seseorang. Sedangkan psikosis sendiri memang salah satu gangguan yang memengaruhi pemikiran. Namun, psikosis merupakan gangguan mental yang tidak berdiri sendiri melainkan sekumpulan pengalaman dengan tanda-tanda yang lebih lengkap. ​
ADVERTISEMENT
Seperti yang diketahui penderita psikosis akan mengalami halusinasi dan delusi yang dapat berkembang seiring berjalannya waktu. Halusinasi sendiri adalah gangguan persepsi pada panca indra. Orang yang mengalami halusinasi biasanya akan mendengar suara-suara bisikan, melihat bayangan, dan mencium bau-bauan yang sebenarnya tidak ada. Sedangkan, delusi adalah suatu kondisi seseorang yang selalu berpikir terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan, seperti merasa ada yang memperhatikan, mengejar, berniat jahat, dan dijauhi oleh orang lain di sekitarnya. Selain mengalami halusinasi dan delusi, penderita umumnya akan mengalami gangguan dalam berinteraksi sosial, gangguan suasana hati (mood swing) atau depresi, melantur saat berbicara, gangguan tidur, dan sering merasa cemas. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa psikosis merupakan gangguan mental yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang. Psikosis juga dapat dikenal dengan istilah episode psikotik.  
Ilustrasi orang yang mengalami halusinasi. Foto : Canva
Alfin Siregar Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatra Utara dalam sebuah artikel penelitian tahun 2018 yang berjudul kasus gangguan kejiwaan pada remaja. Artikel tersebut mengangkat sebuah kasus yang dialami oleh remaja berusia 18 tahun yang mengalami gangguan psikosis. Remaja tersebut mengalami gangguan suasana hati di mana dia selalu menjerit dan menangis pada tengah malam secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan dari keluarga yang melarangnya untuk bermain dan perlakuan kasar yang dia terima dari orang terdekat sehingga menimbulkan rasa takut yang berlebihan. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan seseorang sangatlah berpengaruh terhadap kondisi mental seseorang.  
Ilustrasi remaja yang mengalami gangguan psikosis. Foto : Canva
Adakah penyebab lainnya yang memengaruhi gangguan tersebut?Tentunya ada, yaitu penyalahgunaan NAPZA, gangguan tidur, kecanduan alkohol, minim komunikasi, dan masih banyak lagi penyebab yang dapat memicu gangguan tersebut. Seseorang yang telah mengidap gangguan tersebut sebaiknya segera ditangani karena apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan komplikasi psikosis yang dapat membuat penderitanya cenderung melakukan sesuatu dengan ceroboh sehingga bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain. 
ADVERTISEMENT
Biasanya ahli psikolog mendiagnosis penderita psikosis dengan wawancara medis (anamnesis) dengan penderita dan orang terdekatnya untuk mengetahui gejala dan riwayat kesehatannya. Kemudian, akan melakukan tes kepribadian, perilaku, pola pikir, dan cara mereka menyelesaikan masalah. Salah satu pengobatan yang dilakukan adalah terapi psikologis, yaitu psikoterapi guna membantu mengubah perilaku, pola pikir, dan mengurangi kecemasan penderita. 
Dengan demikian, psikosis adalah bentuk ketakutan mental berupa disintegrasi kepribadian yang sulit membedakan antara realitas dan imajinasi yang dipicu oleh adanya tekanan pada diri seseorang, trauma yang dialami, dan masih banyak lagi faktor yang dapat memengaruhi gangguan tersebut. Hal ini dapat dicegah dengan cara bersosialisasi dengan orang lain, sering berolahraga, berbagi cerita dengan kerabat, dan istirahat yang cukup. Seandainya hal tersebut disadari oleh semua orang, maka seiring berjalannya waktu risiko terjadinya gangguan mental tersebut tentunya akan berkurang.
ADVERTISEMENT