Konten dari Pengguna

Rating Drama Series Meningkat, Dampak Kehancuran Generasi Bangsa Dipertanyakan

Shilva Lioni
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
22 Oktober 2024 18:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shilva Lioni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi batasan usia dalam tontonan. Sumber foto: Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi batasan usia dalam tontonan. Sumber foto: Shutterstock.
ADVERTISEMENT
Perkembangan drama series atau film serial pendek di Indonesia belakangan ini mengalami kemajuan yang cukup pesat dan menarik perhatian banyak khalayak masyarakat. Hal ini dibuktikan melalui pencapaian rating hingga jumlah tayang yang dengan mudahnya dapat menembus jutaan orang hanya dalam beberapa hari semenjak sebuah series resmi dirilis. Tidak hanya itu, cuplikan video dari berbagai drama series atau film serial pendek juga seringkali menjadi viral dan selalu bermunculan di berbagai platform media sosial. Hal ini tentu secara tidak langsung akan berdampak pada jangkauan penonton yang lebih luas serta peningkatan jumlah tontonan pada series tersebut. Bagi perkembangan industri film Indonesia, hal ini merupakan hal positif untuk perkembangan industri film kedepannya. Namun menjadi perhatian dan pertanyaan kemudian bagi kita apakah di samping dampak positif yang dihadirkan terhadap perfilman Indonesia terdapat hal negatif yang dapat menjadi dampak bagi masyarakat seiring dengan tingginya rating dan antusiasme masyarakat terhadap drama series di Indonesia dewasa ini?
ADVERTISEMENT
Berbicara terkait dampak negatif berarti membicarakan seputar hal buruk yang timbul. Tingginya rating yang terus meningkat mengindikasikan dan berbanding lurus dengan tingginya antusiasme dan rutinitas serta waktu yang dihabiskan masyarakat untuk menonton film drama series yang ditampilkan. Jika drama series yang ditampilkan memuat nilai-nilai, norma, kebaikan, dan nilai agama atau pembelajaran tentu hal ini akan membawa banyak kebaikan bagi kalangan penikmat series tersebut yang mayoritas merupakan generasi penerus bangsa yakni mereka yang melek teknologi dan media sosial. Namun, bagaimana jika justru sebaliknya yakni dengan kehadiran drama series yang acap kali memuat tema dan konten dewasa, seks, perselingkuhan, dan berbagai tindak asusila lainnya?
Nyatanya, belakangan ini hal tersebut justru banyak dipertontonkan ke hadapan kita semua. Film-film dewasa, mengandung tema dewasa, konten seks, dan tindak asusila seperti adegan ciuman, hubungan badan, seks, pertengkaran, dan perselingkuhan justru seringkali menjadi trending dan digemari oleh masyarakat utamanya para generasi bangsa dewasa ini. Menariknya kehadirannya justru ibarat pepatah “mati satu tumbuh seribu”, yakni pada saat satu series selesai maka akan tumbuh banyak drama series baru lahir dan menyusul dengan mengangkat tema yang sama. Hal ini tentu terjadi bertolak dari kesuksesan dan pencapaian drama series terdahulu yang mengangkat tema tersebut, sehingga tidak akan mencengangkan jika kemudian banyak drama series baru lahir dan menyusul untuk mengangkat tema yang sama dan hal ini tentu akan terus berlanjut kedepannya. Hal ini senada dengan hasil survey Jakpat dan Cabaca yang mendapati bahwa 60,29 persen responden yakni orang Indonesia tertarik dengan kisah bertemakan perselingkuhan.
ADVERTISEMENT
Tantangan industri film Indonesia menjadi semakin nyata dan sulit. Pilihannya apakah akan tetap untuk terus bertahan dengan muatan tontonan berisikan tema dewasa, seks, dan berbagai permasalahan sosial lainnya dengan raupan cuan dan rating yang tinggi atau justru menggantinya dengan tema-tema baru yang lebih positif untuk ditonton oleh generasi muda bangsa kita?
Ilustrasi batasan usia dalam tontonan. Sumber foto: Shutterstock.
Informasi peringatan serta kalangan penonton yang disasar dalam setiap series memang nyatanya selalu disampaikan di setiap awal episode series. Namun, ungkapan atau pernyataan seperti "menganjurkan konten tidak pantas untuk penonton dibawah usia 21 tahun", serta menyebutkan "tayangan mengandung tema dan seks" nyatanya seakan tidak memiliki daya yang cukup kuat untuk menekan dan ditaati oleh penonton yakni dimulai dengan pilihan kata “dianjurkan” dibandingkan dengan penggunaan kata “dilarang”, menggunakan kata “mengandung” dibandingkan kata“memuat” atau “menampilkan”. Bahkan fakta dimana banyaknya cuplikan video beredar tanpa filter dapat dengan mudah ditemukan di berbagai media sosial justru semakin memperparah kondisi ini. Buruknya lagi, tontonan series yang ditampilkan meski mengandung seks justru ditampilkan secara gamblang tanpa sensor yakni tidak disamarkan dan justru di fokuskan secara dekat. Hal ini tentu tidaklah elok dan akan menjadi pertanyaan besar bagi pertumbuhan generasi bangsa kedepannya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, tak bisa dipungkiri semua permasalahan-permasalahan sosial dan tindak asusila seperti seks bebas, pemerkosaan, narkoba, dan sebagainya yang terjadi secara signifikan di kalangan anak usia dibawah umur akan muncul sebagai salah satu dampak yang ditimbulkan dari perkembangan arah dunia perfilman di tanah air yang mana belakangan ini justru banyak memuat konten dewasa didalamnya tanpa tindak dan filtrasi yang lebih lanjut. Apakah lantas kemudian hal ini elok untuk dibiarkan secara terus-menerus? Bagaimana dengan dampak jangka panjang yang bisa terjadi? Bagaimana dengan generasi bangsa kita kedepan? Semoga menjadi sebuah renungan  untuk perbaikan dunia perfilman dan kualitas generasi muda bangsa kedepannya.