Interseksionalitas Disabilitas vs Gender: Menelisik Stigma Beauty Standard

Shilva Nursafitri
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
31 Mei 2023 19:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shilva Nursafitri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan penyandang disabilitas sedang make up. Sumber foto : unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan penyandang disabilitas sedang make up. Sumber foto : unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Cantik itu harus warna kulitnya putih, badannya tinggi, hidungnya mancung, rambutnya lurus, serta langsing, dan sempurna.”
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan yang disematkan oleh media entertain kini sudah terinternalisasikan dalam realitas sosial, sehingga berdampak pada pemberian stigma privilege bagi individu yang memiliki standar tersebut dan mendiskriminasi sebagian orang yang tidak memenuhi standar yang dibentuk oleh kontruksi sosial. Stigma lahir dari cara pandang individu dalam melihat suatu fenomena yang menurutnya tidak wajar atau menyimpang.
Menurut (Goffman, 1963) stigma merupakan tanda maupun ciri pada seseorang yang membawa sesuatu yang begitu buruk dan dinilai lebih rendah dibandingkan individu lainnya. Faktor yang membentuk stigma yaitu pengetahuan, persepsi, tingkat pendidikan, usia dan kepatuhan agama. Penyandang disabilitas dengan stigma yang rentan seperti pada UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM) (UU No. 39).
ADVERTISEMENT
Dalam peraturan tersebut, kelompok rentan adalah orang lanjut usia, asnak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan orang dengan disabilitas. Keadaan rentan yang dialami penyandang disabilitas dapat menjadi kompleks dan menyebabkan interseksionalitas jika terdapat ketimpangan peran gender yang diperparah dengan standar kecantikan untuk perempuan di Indonesia.
Menurut (Crenshaw, 1991) yang merupakan pencetus pertama istilah interseksionalitas yaitu merupakan kajian tentang titik temu atau hubungan antara segala sistem atau bentuk penindasan, dominasi atau diskriminasi. Disabilitas yang sudah termasuk kelompok rentan ditimpa dengan realitas seorang perempuan yang masih dianggap oleh masyarakat sebagai seseorang yang lemah, pasif dan berkedudukan rendah dibandingkan laki-laki. Tentu perempuan penyandang disabilitas secara otomatis mendapat stereotype ganda dari masyarakat mengenai kekurangan, kelemahan dan ketidakberdayaan dalam menopang hidupnya.
ADVERTISEMENT
Apalagi ditambah dengan standar kecantikan ideal yang dibentuk oleh masyarakat Indonesia menjadikan penyandang disabilitas perempuan sulit dalam mendapati ruang gerak kehidupan seperti masyarakat pada umumnya. Hal ini menjadi menarik ketika ruang gerak yang terbatas bagi mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari akibat kekurangan fungsi gerak pada tubuh ternyata menimbulkan anggapan dan pandangan negatif dari masyarakat di sekeliling mereka. Sehingga berdampak terhadap keberlangsungan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat.
Sumber : Akun tiktok PUTRI dan libra kuy
Dalam dua representasi gambar di atas menunjukkan pandangan masyarakat terhadap perempuan disabilitas. Gambar pertama seorang perempuan tuna daksa yang menggunakan kursi roda sering mendapat diskriminasi dengan identitasnya sebagai disabilitas yang memakai kursiroda. Kondisi itu ditambah dengan pelapisan diskriminasi beauty standar yaitu badannya kurang tinggi dan terakhir beririsan peran gender yaitu seorang perempuan yang harus menjadi ibu dan dipertanyakan bagaimana dengan kondisi demikian jika hamil dan melahirkan.
ADVERTISEMENT
Namun, putri tidak gentar dengan diskriminasi orang-orang disekitarnya, dia membuktikan dengan lahirnya seorang anak yang sehat. Pada gambar kedua dengan akun tiktok libra kuy yaitu seorang perempuan tunadaksa dari lahir yang tangannya tidak sempurna bercerita tentang perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya disekolah dengan ejekan “tangan puntung”.
Sempat tertekan dengan keadaannya sehingga ingin pindah sekolah, namun dukungan dari keluarganya sangat berarti sehingga menjadikannya kuat. Dalam videonya bercerita juga bagaimana kehidupan percintaan yang mulus seperti harapnnya, karena yang mendekati selalu mundur karena mengetahui dia difabel.
Dari dua gambaran kasus tersebut, stigma yang dilekatkan masyarakat pada perempuan penyandang disabilitas berlapis-lapis sehingga berdampak pada krisis identitas. Namun, dari hal-hal seperti ini lahirlah gerakan untuk mendukung para penyandang disabilitas perempuan untuk lebih percaya diri karena bagaimanapun pada hakikatnya perempuan terlahir cantik.
ADVERTISEMENT
Gerakan 1.000 lipstik untuk difabel yang digagas oleh Laninka Siamiyono seorang vlogger kecantikan difabel sempat mengalami krisis percaya diri karena merasa tidak memenuhi standar kecantikan. Laninka menderita Rheumatoid Arthritis, penyakit auto imun yang menyebabkan peradangan sendi sehingga harus memakai kursi roda untuk menopang kegiatan sehari-harinya. Bermula dari pensil alis pemberian temannya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan tampilannya.
Sejak saat itulah kepercayaan dirinya terbangun, dan dia ingin membagikan pengalaman dan pencapaiannya dengan kaum difabel lain yang menderita krisis percaya diri. Sehingga, lahirlah gerakan 1000 lipstik untuk difabel dengan kelas make up tutorial yang digelarnya. Tujuan utama gerakannya adalah saling support sesama penyandang disabilitas perempuan dan mengajarkan cara merias wajah bagi para perempuan difabel agar dapat percaya diri. Bagi Laninka, merias diri juga menjadi medium untuk terapi, dan untuk membangun kepercayaan diri, membuka dunia baru dan ia sebarkan ke sesama penyandang difabilitas.
Gerakan 1000 Lipstick untuk Difabel dan Kelas Make up. Sumber : Akun Instagram @heylaninka
Hadirnya gerakan tersebut secara langsung membangun iklim inklusif bagi para penyandang disabilitas khususnya perempuan dan mengubah mindset dan stigma masyarakat bahwa perempuan penyandang disabilitas sama cantiknya dengan orang yang mereka anggap “normal”. Lipstik memiliki kekuatan tersendiri, menguatkan identitas dengan warnanya yang beragam, pink akan menjadikan seorang perempuan merasa girly, jika merah merasa powerfull atau sexy. Dan lipstik perlambang harapan kepercayaan diri seorang perempuan untuk tampil di depan umum. Diskriminasi akibat perlapisan identitass yang dianggap rendah oleh masyarakat dapat dientaskan dengan ikatan saling menguatkan antar sesama perempuan untuk perempuan.
ADVERTISEMENT