Konten dari Pengguna

Hukum Humaniter Internasional: Menyikapi Konflik Ethiopia dan TPLF

Safina Erza Qur'ani
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang.
2 Januari 2025 13:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Safina Erza Qur'ani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Desain Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Desain Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
Konflik merupakan suatu peristiwa yang sering kali terjadi pada suatu negara. Konflik bisa terjadi karena adanya perselisihan antara individu atau kelompok yang memiliki perbedaan tujuan, kepentingan, atau kebijakan. Terdapat beberapa cara dalam menyelesaikan konflik baik dengan cara damai maupun kekerasan.
ADVERTISEMENT

Konflik menggunakan kekerasan seringkali dikenal dengan konflik bersenjata (armed conflict), istilah lain dari perang. Konflik bersenjata sendiri terdiri dari konflik bersenjata internasional dan non-internasional. Jika konflik bersenjata internasional adalah konflik yang melibatkan dua negara atau lebih, maka konflik bersenjata non-internasional adalah konflik yang terjadi di suatu negara tanpa melibatkan negara lain, melainkan kelompok bersenjata yang menentang pemerintah di negara tersebut.

Dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) erat kaitannya dengan konflik bersenjata. Karena HHI sendiri merupakan pedoman dalam mengatur konflik bersenjata dan HHI ada untuk meminimalisir terjadinya perang. Sumber hukum HHI terdiri dari Hukum Perjanjian, Hukum Kebiasaan Internasional, dan Keputusan Hakim dan Doktrin. Dalam hukum perjanjian sendiri, HHI didasarkan pada empat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan II 1977. Merujuk Konvensi Jenewa IV, yang menjadi landasan hukum bagi perlindungan penduduk sipil saat terjadi konflik bersenjata. Artinya, apabila di suatu negara terjadi konflik bersenjata maka penduduk sipil akan dijamin perlindungannya melalui konvensi ini.
ADVERTISEMENT
Pada konflik bersenjata yang terjadi di negara Ethiopia yaitu Tigray People’s Liberation Front (TPLF) dengan pemerintah Ethiopia yang dipimpin Perdana Menteri Abiy Ahmed, termasuk dalam konflik bersenjata non-internasional. Akar dari munculnya konflik ini ialah sistem pemerintahan Ethiopia yang menganut sistem federal dimana setiap wilayah negara bagiannya memiliki wewenang menjalankan pemerintahan masing-masing, Tigray People’s Liberation Front (TPLF) salah satunya. Konflik ini memuncak ketika Abiy membubarkan dan menggabungkan Ethiopian People’s Revolutionary Democratic Front (EPRDF) menjadi satu partai yaitu Partai Kemakmuran dan ketegangan semakin meningkat ketika pemilihan umum di Ethiopia ditunda karena alasan pandemi COVID-19 yang kemudian membuat TPLF merasa bahwa terdapat kecurangan dalam penundaan pemilihan umum tersebut. Yang akhirnya timbul serangan antara Ethiopia National Defense Force (ENDF) dengan TPLF pada November 2020.
ADVERTISEMENT
Konflik bersenjata ini menyebabkan banyak kerugian bagi Ethiopia sendiri maupun TPLF. Seperti yang sering kita ketahui, konflik bersenjata selalu berdampak pada penduduk sipil. Benar saja. Akibatnya, banyak penduduk Tigray yang meninggal dunia dan harus mengungsi ke wilayah yang lebih aman. Bahkan lebih parahnya, anggota militer Ethiopia melakukan tindakan kekerasan seksual kepada warga sipil Tigray khususnya perempuan dan anak-anak. Sehingga warga sipil yang tidak bersalah ikut menjadi korban dari konflik ini.
Menyoroti kematian warga sipil yang tidak bersalah dan perempuan Tigray yang mengalami kekerasan seksual menunjukkan bahwa pihak yang berkonflik tidak menerapkan perlindungan hukum yang telah ditetapkan. Pemerintah Ethiopia khususnya, tidak ada upaya pencegahan justru lebih memperparah keadaan, ini menunjukkan bahwa jelas terdapat pelanggaran Hukum Humaniter Internasional.
ADVERTISEMENT
Sudah jelas bahwa warga sipil tidak boleh dijadikan sasaran perang dan sasaran kekerasan seksual terhadap perempuan maupun anak-anak. Segala tindakan pelanggaran ini telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV 1949 tentang Perlindungan Sipil di Masa Perang dan Protokol Tambahan II 1977 tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-Internasional. Fakta bahwa selama perang, terjadi kekerasan seksual yang artinya secara tidak langsung pihak yang berkonflik tidak memberikan perlindungan hukum kepada para warga sipil perempuan. Tindakan kekerasan seksual oleh anggota militer Ethiopia tersebut melanggar Konvensi Jenewa IV Pasal 27 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Wanita harus dilindungi secara khusus terhadap serangan apapun terhadap kehormatannya, khususnya terhadap pemerkosaan, prostitusi paksa, atau segala bentuk penyerangan tidak senonoh” dan Protokol Tambahan II 1977 Pasal 4 Ayat (2)(e) yang berbunyi “Pelecehan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat wanita, perkosaan, pelacuran dan setiap bentuk tindakan yang tidak senonoh”. Dan mengenai tindakan kematian warga sipil telah melanggar Protokol Tambahan II 1977 Pasal 13 tentang Perlindungan Bagi Penduduk Sipil.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya melanggar pasal-pasal tersebut, anggota militer Ethiopia melanggar prinsip proporsionalitas dengan melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, menjadikannya sebagai lawan dalam perang, yang seharusnya hal ini tidak mereka alami. Selain itu, mereka juga melanggar prinsip pembedaan (distinction) karena tidak membedakan mana objek militer dengan objek sipil. Lebih dari itu, Ethiopia adalah salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Artinya, dengan jelas bahwa Ethiopia dapat dimintai pertanggungjawaban akan tindakan yang mereka lakukan. Perdana Menteri Abiy Ahmed, pemegang kekuasaan tertinggi Ethiopia seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan ini tanpa kekerasan dan memakan korban sipil karena justru dapat memperparah keadaan. Oleh karena itu, pihak yang berkonflik Ethiopia dan TPLF merasakan dampak dan telah melanggar hukum perjanjian dalam Konvensi Jenewa IV 1949 dan Protokol Tambahan II 1977.
ADVERTISEMENT