Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Empat Diskursus Etika Lingkungan
4 Oktober 2024 15:00 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Shinta Silvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis ekologi, dimensi moral semakin dipertimbangkan oleh filsuf-filsuf yang mengembangkan norma-norma etis dalam berhubungan dengan alam. Pertanyaan utama yang muncul adalah apakah manusia hanya memiliki tanggung jawab moral terhadap sesamanya atau apakah ada kewajiban moral langsung terhadap alam dan entitas non-manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, apakah entitas seperti hewan, tumbuhan, atau bahkan ekosistem, memiliki kedudukan moral sehingga layak untuk diperlakukan secara etis?
Meskipun manusia sering dianggap sebagai satu-satunya makhluk yang mampu bertindak secara moral karena kapasitasnya untuk refleksi dan kehendak bebas, perdebatan muncul mengenai apakah organisme lain dan entitas alam dapat dianggap sebagai objek moral. Objek moral ini adalah entitas yang menjadi objek tanggung jawab moral langsung manusia.
Frankena (1979) menjelaskan bahwa perbedaan pandangan dalam etika lingkungan tidak hanya terkait antara etika nilai dan kewajiban, tetapi lebih pada lingkup tanggung jawab manusia terhadap entitas non-manusia. Meyer-Abich (1982) mengklasifikasikan berbagai posisi dalam etika lingkungan ke dalam lima kelas berdasarkan lingkup tanggung jawab moral yang berkisar dari penghormatan terhadap diri sendiri hingga penghormatan terhadap seluruh alam.
ADVERTISEMENT
Dengan menggunakan konsep lingkaran moral di mana setiap tingkat lingkaran menggambarkan perluasan tanggung jawab moral manusia, kita dapat memetakan posisi-posisi utama dalam etika lingkungan. Lingkaran moral ini menempatkan manusia sebagai pusat dengan entitas lain menjadi objek tanggung jawab moral sesuai dengan tipe etika yang dianut.
Pertama, antroposentrisme yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya subjek moral yang layak mendapatkan perlakuan etis secara langsung. Dalam pandangan ini, manusia memiliki nilai intrinsik karena kapasitasnya untuk bernalar dan bermoral, sementara entitas non-manusia hanya memiliki nilai instrumental.
Dengan demikian, tanggung jawab moral terhadap alam selalu bersifat tidak langsung, yaitu sejauh alam memengaruhi kesejahteraan manusia. Immanuel Kant dalam Metaphysische Anfangsgründe der Tugendlehre menjelaskan bahwa kekejaman terhadap hewan harus dihindari bukan karena hewan itu sendiri, melainkan karena hal tersebut dapat merusak empati manusia terhadap sesamanya.
ADVERTISEMENT
Pandangan ini mencerminkan pendekatan antroposentris dalam melindungi alam di mana semua tindakan terhadap alam diukur berdasarkan dampaknya terhadap manusia.
Kedua, Patosentrisme yang memandang bahwa tidak hanya manusia tetapi juga makhluk yang mampu merasakan kesenangan dan rasa sakit memiliki kedudukan moral. Dalam pandangan ini, hewan tingkat tinggi yang mampu mengalami penderitaan layak mendapatkan perlakuan etis.
Filsuf seperti Peter Singer (1979) menyatakan bahwa kepentingan makhluk yang mampu merasakan penderitaan harus dipertimbangkan secara setara, tanpa memandang kapasitas atau spesies mereka. Namun, patosentrisme membatasi lingkup tanggung jawab moral manusia hanya pada makhluk yang memiliki kesadaran akan penderitaan.
Tumbuhan dan entitas alam tak bernyawa tidak termasuk dalam lingkup pertimbangan etis ini kecuali jika perlakuan terhadap mereka secara tidak langsung menyebabkan penderitaan pada makhluk yang lebih peka.
ADVERTISEMENT
Ketiga, biosentrisme yang memperluas lingkup tanggung jawab moral manusia kepada semua makhluk hidup tanpa memandang kapasitas mereka untuk menderita. Menurut pandangan ini, semua organisme hidup memiliki kepentingan intrinsik untuk hidup dan karenanya layak mendapatkan pertimbangan moral.
Biosentrisme tidak membatasi nilai intrinsik hanya pada hewan tingkat tinggi, tetapi mencakup semua makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan organisme mikro.
Di kalangan pendukung biosentrisme, terdapat perdebatan mengenai apakah ada hierarki nilai di antara spesies. Beberapa pendukung biosentrisme moderat berpendapat bahwa ada perbedaan nilai antara spesies, sementara biosentris radikal memandang bahwa semua makhluk hidup setara dalam nilai moral.
Keempat, Fisiosentrisme atau Holisme yang melihat etika lingkungan secara komprehensif. Posisi ini mencakup tidak hanya makhluk hidup, tetapi juga entitas tak bernyawa seperti batu, air, dan ekosistem. Dalam pandangan ini, setiap elemen alam memiliki nilai intrinsik dan tidak ada entitas yang hanya berfungsi sebagai sarana bagi yang lain.
Pendekatan holistik juga dapat dibedakan antara pandangan monistik dan pluralistik. Holisme monistik berpendapat bahwa hanya keseluruhan sistem yang memiliki nilai intrinsik, sementara bagian-bagian individualnya mendapatkan nilai dari hubungan mereka dengan keseluruhan. Sebaliknya, holisme pluralistik mengakui bahwa baik keseluruhan maupun bagian-bagian individualnya memiliki nilai moral (Gorke, 2003).
ADVERTISEMENT
Alhasil, keempat tipe utama dan posisi dalam etika lingkungan di atas yaitu antroposentrisme, patosentrisme, biosentrisme, dan fisiosentrisme mencerminkan berbagai cara manusia memandang lingkup tanggung jawab moral terhadap alam. Pandangan-pandangan ini bervariasi dari yang paling sempit yaitu hanya terhadap manusia, hingga yang paling luas yaitu terhadap keseluruhan alam.
Seiring dengan berkembangnya kesadaran akan krisis ekologi, perdebatan ini semakin relevan dalam membentuk pendekatan etis terhadap lingkungan dan tanggung jawab moral kita terhadap alam di masa depan.