Konten dari Pengguna

Krisis Ekologi dan Kepunahan Spesies: Paradigma Saintisme vs Etis

Shinta Silvia
Staf Pengajar Teknik Lingkungan Universitas Andalas. Alumni Yokohama National University, Japan.
1 Oktober 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shinta Silvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pencemaran lingkungan dengan limbah industri mengancam kepunahan spesies dan daya dukung ekologis. Foto: https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Pencemaran lingkungan dengan limbah industri mengancam kepunahan spesies dan daya dukung ekologis. Foto: https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepunahan spesies di planet kita adalah salah satu gejala yang paling mengkhawatirkan dari krisis ekologi yang tengah berlangsung hari ini. Fenomena ini terjadi karena banyak faktor kompleks, di antaranya penghancuran langsung, eksploitasi berlebihan terhadap populasi, adanya spesies baru, pencemaran kimia, pertanian intensif, hilangnya habitat terutama akibat penghancuran hutan hujan tropis, pariwisata massal, dan efek rumah kaca.
ADVERTISEMENT
Signifikansi dari berbagai penyebab ini telah bergeser selama seratus tahun terakhir. Jika sebelumnya penghancuran langsung seperti berburu serta pengenalan spesies baru menjadi penyebab utama kepunahan spesies, saat ini hilangnya habitat dan pertanian intensif yang memegang peran utama dalam kepunahan spesies.
Di Jerman, misalnya, sepertiga dari semua spesies pakis dan tumbuhan berbunga serta separuh dari sekitar lima ratus spesies vertebrata asli telah hilang atau berada di ambang kepunahan sejak akhir tahun 80-an. Faktor-faktor ini telah memicu perdebatan global mengenai bagaimana manusia dapat mencegah hilangnya lebih banyak spesies.
Salah satu ancaman utama di masa depan yang diperkirakan akan semakin parah adalah efek rumah kaca. Jika suhu global meningkat sebesar 3 derajat Celsius, seperti yang diprediksi, banyak spesies tumbuhan dan hewan akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat, dan akhirnya mati. Sebagian besar kepunahan di masa lalu disebabkan oleh perubahan ukuran dan lokasi habitat, namun perubahan akibat aktivitas manusia sekarang jauh melampaui apa yang pernah terjadi dalam sejarah planet kita.
ADVERTISEMENT
Apa yang membuat krisis ini berbeda dari kepunahan di masa lalu adalah bahwa kali ini, penyebab utamanya adalah tindakan manusia. Dalam konteks ini, kita tidak hanya menghadapi peristiwa alam yang tak terhindarkan, melainkan akibat dari motif, sikap, dan pandangan hidup manusia yang dapat dikritik secara faktual dan etis.
Krisis ini mencerminkan kesalahan dalam cara kita berhubungan dengan alam dan sesama manusia, dan bukanlah fenomena yang terisolasi. Hilangnya spesies hanyalah salah satu gejala dari krisis ekologi yang lebih luas, yang melibatkan ancaman terhadap kehidupan akibat aktivitas manusia yang tidak berkelanjutan.
Krisis ekologi ini sering dianggap sebagai salah satu krisis terbesar yang dihadapi oleh peradaban yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, ada perbedaan pandangan mengenai solusi yang harus diambil untuk mengatasinya. Dalam menghadapi krisis ini, terdapat dua paradigma utama yang muncul dan perlu dianalisis lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Paradigma pertama adalah saintisme ekologi. Posisi ini melihat krisis ekologi sebagai masalah faktual, bukan etis. Pendukung pandangan ini percaya bahwa masalah yang terkait dengan krisis ekologi, seperti kepunahan spesies, dapat diatasi semata-mata melalui cara ilmiah dan teknologi. Mereka berpendapat bahwa untuk menghindari kecelakaan ekologis di masa depan, kita harus melanjutkan jalan penguasaan ilmiah dan teknologi atas alam.
Teknologi, dalam pandangan ini, telah membuka jalan untuk mengendalikan alam, dan meskipun proses ini belum sempurna, kita harus melanjutkan langkah ini dengan lebih hati-hati. Penelitian ekologi harus dipromosikan untuk lebih memahami batas-batas teknologi dan mengevaluasi risiko ekologi secara lebih baik.
Mereka yang mendukung saintisme ekologi juga yakin bahwa jika perubahan arah terbukti diperlukan, perubahan tersebut dapat dicapai dalam kerangka sistem ekonomi dan industri yang sudah ada. Tidak perlu perubahan ideologis yang mendasar, melainkan yang dibutuhkan adalah perencanaan yang lebih bijaksana dan rasional dalam pengelolaan alam.
ADVERTISEMENT
Paradigma kedua adalah antroposentrisme etis, yang memandang krisis ekologi sebagai masalah faktual sekaligus etis. Menurut pandangan ini, masalah moral yang terkait dengan hilangnya spesies bukan semata-mata disebabkan oleh fakta bahwa spesies-spesies tersebut hilang, melainkan karena pengurangan keanekaragaman hayati dapat menyebabkan manusia kehilangan sumber daya yang berguna di masa depan.
Kehilangan ini dianggap akan berdampak buruk bagi generasi mendatang dan mungkin menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Dalam pandangan ini, tanggung jawab manusia terhadap alam adalah tanggung jawab pragmatis, bukan tanggung jawab etis langsung terhadap keberadaan spesies tersebut.
Namun, para pendukung antroposentrisme etis cenderung menolak gagasan bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk melindungi spesies demi kepentingan mereka sendiri. Perlindungan spesies, menurut pandangan ini, adalah postulat yang tidak memiliki justifikasi moral yang kuat, kecuali dalam konteks perlindungan untuk kepentingan manusia masa kini dan masa depan (Gorke, 2003).
ADVERTISEMENT
Alhasil, kepunahan spesies di planet kita mencerminkan dilema yang lebih besar tentang bagaimana kita memandang hubungan manusia dengan alam. Paradigma saintisme dan antroposentrisme etis menawarkan dua pendekatan yang berbeda, tetapi keduanya menyoroti kompleksitas yang ada dalam merespons krisis ekologis ini. Jika kita ingin mencegah kehancuran lebih lanjut, kita harus mempertimbangkan lebih dalam bagaimana teknologi, ilmu pengetahuan, dan moralitas manusia dapat bersinergi untuk menjaga kehidupan di bumi.