Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kritik Atas Ideologi Ekologi
5 Oktober 2024 12:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Shinta Silvia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ekologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan lingkungannya telah menjadi landasan bagi berbagai upaya konservasi alam. Namun, terjadi pergeseran dari ekologi ilmiah menjadi ekologisme yaitu transformasi ilmu ekologi menjadi ideologi politik dan sosial dalam beberapa dekade terakhir.
Sekitar 80 persen dari hal-hal yang dibicarakan dalam wacana ekologi sebenarnya adalah contoh dari ekologisme (Haber,1993). Meskipun kontribusi ekologisme terhadap kritik perkembangan masyarakat dan pentingnya dalam politik tidak dapat diabaikan, penggunaannya yang tidak kritis oleh berbagai kelompok sering kali melenceng dari ilmu ekologi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Hal ini mirip dengan bahaya biologisme yang di masa lalu telah digunakan secara tidak kritis dalam ranah politik dan sosial seperti dalam konteks Darwinisme sosial yang mereduksi alam menjadi ajang perselisihan yang kejam.
Ekologisme cenderung menggambarkan alam secara romantis dan idealis sebagai sistem harmonis yang bekerja sempurna tanpa campur tangan manusia. Ini dapat dilihat dari banyaknya argumen dalam gerakan ekologi yang menyatakan bahwa alam merupakan sistem yang mampu mempertahankan keseimbangannya secara mandiri dengan beragam spesies yang saling terjalin dalam jaringan ekologi yang harmonis.
Pemikiran seperti ini menurut Capra (1983) menggambarkan adanya kecerdasan ekosistem yang memungkinkan terciptanya integrasi harmonis di antara berbagai komponen sistem alam.
Namun, pandangan idealis ini dapat mengarah kepada naturalisme ekologis yaitu anggapan bahwa hukum alam harus diikuti secara mutlak dalam cara kita berinteraksi dengan lingkungan. Ini menciptakan visi utopis di mana alam dianggap sebagai sistem sibernetik terbaik yang tidak memerlukan intervensi manusia.
Padahal, ekologi sendiri menunjukkan bahwa alam tidak selalu harmonis. Seperti yang diungkapkan Dahl (1989), alam bisa kejam tergantung pada sudut pandang yang diambil. Persaingan antara spesies, bencana alam, dan krisis ekologi merupakan bagian integral dari dinamika alam.
ADVERTISEMENT
Konsep ekonomi alam juga sangat dilematis dalam diskusi ekologis. Konsep ini menciptakan analogi antara ekosistem dan sistem ekonomi di mana alam dianggap sebagai suatu sistem yang dapat diatur dan diukur seperti bisnis ekonomi.
Ide ini menimbulkan kesan bahwa biosfer adalah entitas yang efisien seperti ekonomi nasional di mana berbagai ekosistem bekerja seperti perusahaan yang laporan keuangannya dapat diaudit. Namun, pandangan ini mengabaikan kompleksitas sistem alam yang jauh lebih rumit daripada yang dapat dijelaskan dengan analogi ekonomi. Ekonomi memerlukan tujuan dan manajer, sedangkan alam, menurut teori evolusi modern, tidak diarahkan oleh teleologi atau tujuan tertentu (Honnefelder, 1993).
Ekologisme dapat menciptakan ilusi tentang alam yang stabil dan harmonis serta mendorong upaya manusia untuk campur tangan secara berlebihan dalam sistem alam dengan harapan untuk mengoptimalkan atau melestarikan keseimbangan ekologis. Ini menciptakan risiko bahwa kita akan mengabaikan sifat dinamis dan tak terduga dari ekosistem alam.
ADVERTISEMENT
Alam tidak selalu bekerja dalam pola harmonis dan stabil. Sebaliknya, ekosistem sering kali diwarnai oleh kekacauan, kontradiksi, dan proses destruktif yang merupakan bagian alami dari evolusi dan perubahan lingkungan.
Contoh konkret dari penyalahgunaan konsep ekonomi alam dapat ditemukan dalam kebijakan tertentu seperti tindakan manusia yang dianggap untuk memelihara ekonomi alam, namun pada kenyataannya hanya memproyeksikan ideologi ekologisme.
Dalam beberapa kasus, istilah ini digunakan untuk membenarkan tindakan manusia terhadap lingkungan seperti penembakan burung gagak di Bavaria yang dianggap mengganggu ekonomi alam. Padahal, gangguan terhadap lanskap lebih disebabkan oleh aktivitas manusia daripada masalah ekologi.
Di sisi lain, istilah-istilah seperti kompatibel secara ekologis atau rekonsiliasi dengan alam juga menciptakan ilusi bahwa manusia dapat hidup dalam harmoni sempurna dengan alam. Kenyataannya, sebagai makhluk biologis, manusia tidak dapat sepenuhnya hidup tanpa mengorbankan organisme lain. Istilah-istilah ini menyederhanakan hubungan manusia dengan alam dan mengaburkan realitas kompleks hubungan ekologis yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Ekologisme sering kali menyederhanakan masalah etika dalam interaksi manusia dengan alam menjadi persoalan teknis yang dapat diukur melalui audit ekologis. Ini mengabaikan pertanyaan moral yang lebih mendalam tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dengan alam.
Artinya, ekologi tidak boleh diperlakukan sebagai panduan normatif untuk menentukan cara manusia berinteraksi dengan lingkungan. Sebaliknya, pemikiran seperti ini bisa mengalihkan perhatian dari tanggung jawab etis yang seharusnya menjadi fokus utama dalam menghadapi krisis lingkungan saat ini (Gorke, 2003).
Alhasil, ekologisme memiliki kontribusi penting dalam wacana ekologi namun harus diwaspadai karena dapat mengarahkan pada pandangan yang terlalu idealis tentang alam. Ilmu ekologi sendiri harus dipertahankan sebagai disiplin ilmiah yang kompleks dan bukan sebagai landasan ideologis yang menyederhanakan realitas hubungan manusia dengan alam.
ADVERTISEMENT