Melihat Lebih Dekat Realitas Kondisi Petani di Desa Cikarawang

Shintia Rahma Islamiati
Mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB University
Konten dari Pengguna
30 Mei 2022 20:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shintia Rahma Islamiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi bersama narasumber (dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi bersama narasumber (dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Mahasiswa IPB yang tergabung dalam kelompok tugas mata kuliah Kajian Agraria terjun langsung ke Desa Cikarawang demi melihat bagaimana realitas kondisi petani di daerah lingkar kampus IPB pada 13 Mei 2022. Desa Cikarawang terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masyarakat di daerah pedesaan tidak lepas dari sektor pertanian, karena bidang pertanian masih menjadi pekerjaan yang mendominasi dan turun temurun dari keluarga atau orang tua. Peran petani, khususnya petani padi tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, karena petani padi menjadi pemasok kebutuhan pangan utama berupa beras pada beberapa daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pentingnya peran petani padi bagi bangsa Indonesia belum menjanjikan petani tersebut menjadi sejahtera, sebab adanya masalah kemiskinan masih terjadi pada keluarga petani di beberapa daerah Latifah (2017). Fenomena diferensiasi dan polarisasi petani menjadikan masyarakat petani menjadi homogen, begitu pula petani di Desa Cikarawang. Berdasarkan hasil wawancara dengan dua narasumber yang merupakan petani dari dua kelas yang berbeda, maka terbukti adanya fenomena diferensiasi dan polarisasi. Adanya diferensiasi membentuk dua golongan petani berdasarkan status kepemilikan tanah, disatu pihak golongan besar petani landless (buruh tani) dan bertanah sangat sempit (gurem), dipihak lain golongan kecil petani yang memiliki tanah sangat luas (tuan tanah besar).
Kondisi Pertanian Desa Cikarawang
Secara umum kehidupan pertanian di Desa Cikarawang masih tergolong tradisional salah satunya yaitu alat pertanian yang masih dioperasikan melalui tenaga manusia dan hewan. Menurut Suranny (2014) cangkul merupakan salah satu alat tradisional yang digunakan dalam pertanian, bagi petani desa cikarawang cangkul menjadi kawan baik dalam mereka menuntaskan pekerjaannya. Jika kita mendengar kata petani mungkin salah satunya terlintas kata padi, faktanya pada petani Desa Cikarawang rukun tetangga (RT) 04 ini justru padi bukanlah komoditas yang mendominasi. Terbukti pada gabungan kelompok tani Mandiri Jaya dimana hasil pertanian didominasi oleh umbi-umbian khususnya singkong dan ubi jalar. Para petani kelompok Mandiri Jaya memanfaatkan hasil pertaniannya terkhusus pada ubi jalar dengan efisien. Mereka mengolahnya menjadi berbagai bentuk produk, mulai dari daunnya sebagai bubuk teh hingga buahnya menjadi komponen penting dalam pembuatan sambal. Bukan hanya umbi-umbian, pada petani kelompok lain di rukun warga (RW) berbeda, hasil pertanian berupa buncis, kacang, timun, singkong, ubi, dan bengkuang menjadi komoditas yang diunggulkan.
ADVERTISEMENT
Kepemilikan lahan pertanian menjadi salah satu permasalahan petani Desa Cikarawang khususnya pada rukun tetangga (RT) 04. Menurut Bapak Ahmad (58) salah satu responden yang tergabung dalam gabungan kelompok tani (gapoktan) Mandiri Jaya Desa Cikarawang dahulu masih banyak lahan pertanian namun karena kebutuhan yang semakin meningkat dan penawaran akan tanah yang tinggi menjadi faktor berkurangnya lahan pertanian dan bahkan saat ini petani padi tidak memanen hasil pertaniannya untuk dijual namun dipergunakan memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Selain itu, Bapak Jumadi (35) salah satu petani daerah tersebut menjadi bukti bahwa masih banyaknya petani yang kekurangan lahan bahkan bagi mereka yang memiliki lahan pun belum memenuhi keuntungan produksi. Menurutnya lagi, aturan yang dibuat oleh salah satu pejabat daerah setempat menyulitkan para petani dalam melakukan pekerjaan mereka.
ADVERTISEMENT
“Bantuan yang diterima suka ga turun ke petani, kalau mau apa-apa susah” begitu tuturnya saat wawancara dilakukan.
Dengan permasalahan yang ada memengaruhi pendapatan dari para petani setempat sehingga mereka mencari pekerjaan tambahan guna memenuhi kebutuhan mereka yang tidak dapat dipenuhi hanya melalui pertanian saja.
Kelas-Kelas Petani Berdasarkan Diferensiasi/Polarisasi
Petani pada kenyataannya tidak homogen, mereka terbagi ke dalam kelas-kelas sosial. Henry Bernstein membagi petani menjadi tiga. Pertama, petani kaya adalah mereka yang mengakumulasi aset produksi sekaligus mereproduksi diri sebagai kapitalis dalam skala yang lebih besar, dengan terlibat dalam reproduksi yang meluas. Kedua, petani menengah, yaitu mereka yang mampu memproduksi kapitalnya dalam skala produksi yang sama dengan sebelumnya, dan sebagai tenaga kerja yang setara dengan konsumsi mereka (secara turun temurun). Ketiga, petani miskin, yaitu mereka yang berjuang untuk mereproduksi diri sebagai kapital, sampai harus bekerja keras memproduksi diri mereka sendiri. Diferensiasi kelas ini kemudian terbagi menjadi dua golongan berdasarkan status kepemilikan tanah, disatu pihak golongan besar petani landless (buruh tani) dan bertanah sangat sempit (gurem), dipihak lain golongan kecil petani yang memiliki tanah sangat luas (tuan tanah besar).
ADVERTISEMENT
Petani di Desa Cikarawang terbagi atas kelas-kelas sosial. Berdasarkan hasil wawancara, narasumber pertama yang bernama Bapak Ahmad Bastari (58) termasuk ke dalam golongan petani dengan tanah yang luas. Luas lahan yang dimiliki oleh Bapak Ahmad adalah 1 hektar dan juga mengelola lahan bersama seluas 89 hektar. “Lahan pribadi cuma 1 hektar lebih sedikit, kalau nggak pribadi ya gapoktan hampir 89 hektar punya bersama,” ungkap Bapak Ahmad. Jika dilihat dari luas lahan pribadi milik Bapak Ahmad dengan lahan pribadinya termasuk kedalam golongan petani kecil yaitu luas lahan yang dikuasai antara 0,5-1,99 hektar, tetapi jika lahan bersama yang diolah oleh Bapak Ahmad dihitung maka beliau termasuk petani kaya dengan penguasaan lahan di atas 3 hektar.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan narasumber kedua yang bernama Bapak Jumadi (35) merupakan petani yang menggarap tanah seluas 6000 meter persegi atau 0,6 hektar. Tanah tersebut merupakan lahan warisan dari orangtua yang harus dibagi rata kepada 12 saudara sehingga tanah yang dimiliki Bapak Jumadi hanya seluas 0,05 hektar. “Kalau punya bapak saya 6000 meter diberatin ke saya, dibagi ke kakak-kakak adik-adik,” ungkap Bapak Jumadi. Berdasarkan penuturannya, Bapak Jumadi termasuk ke dalam golongan petani gurem dengan luas lahan yang dikuasai kurang dari 0,1 hektar. Beliau juga menyatakan bahwa, sejak dahulu lahan milik orangtua luasnya 6000 meter persegi hingga saat ini tidak ada pertambahan atau pengurangan luasan lahan.
Realitas Kemiskinan Petani di Desa Cikarawang
Temuan di lapangan menunjukan perbedaan kondisi di antara petani. Ahmad Bastari (58) merupakan seorang petani dan Ketua Gapoktan di Desa Cikarawang. Ahmad merupakan lulusan salah satu SMA terbaik di Jakarta dan sempat diterima kuliah di luar negeri tetapi memutuskan untuk tidak melanjutkan studinya dan mencoba usaha sejak lulus sekolah. Saat ini, Ahmad memiliki lahan pribadi lebih dari 1 Ha dan lahan bersama yang ia kelola seluas 89 Ha. Komoditas yang ia tanam dalam skala besar yaitu, ubi dan singkong. Dalam mengelola lahan yang ia miliki, Ahmad memiliki 13 pekerja untuk menggarap lahan, mengelola hasil pertanian, hingga proses pengiriman hasil pertanian. Hal ini ia lakukan untuk memberdayakan buruh tani yang tidak memiliki lahan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Dalam memasarkan hasil pertanian, Ahmad dan petani di bawah bimbingannya sudah memiliki kerja sama dengan 4 perusahaan. Hal ini ia sampaikan sangat membantu ketika masa pandemi Covid-19 sehingga ia dan petani lainnya tidak perlu khawatir karena mereka sudah memiliki pasarnya. “Bagus karena sudah punya pasar, jadi budidaya panen tidak pusing lagi. Apalagi ketika covid banyak petani menjerit karena tidak ada pasar. Kalau kita sudah punya kemitraan dengan perusahaan dan pabrik.” ungkapnya.
Selain usaha tani, Ahmad juga berdagang dengan memiliki kios di Jakarta dan juga ditunjuk sebagai penyuluh swadaya nasional. Melalui pekerjaannya saat ini, Ahmad mampu meraup pendapatan hingga lebih dari 10 juta setiap bulannya sehingga mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan keluarga. Ia menyampaikan memang apabila dari bertani saja tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehingga membutuhkan sambilan yang lain. “Cuma kalau pertanian pribadi ya untuk kebutuhan kuliah, makan sehari-hari kalau tidak memiliki suatu sambilan yang lain akan kewalahan, setidaknya harus punya lahan 2 Ha atau lebih dengan pola tanam sayuran dan palawija itu baru bisa mencukupi kebutuhan.”, ungkapnya saat wawancara.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang berbeda ditemukan pada Jumadi (35) yang juga merupakan seorang petani. Ia merupakan lulusan SD dan pekerjaan sebagai petani digelutinya sejak ia berada di bangku sekolah dasar. Saat ini ia mengelola lahan bersama warisan keluarganya yang memiliki luas 6000 meter persegi dan ditanami ubi, bengkuang, singkong, buncis, kacang, dan timun. Sebelum mengelola lahan warisan keluarganya, ia bekerja sebagai buruh tani dengan menggarap lahan milik orang lain. “Dulu saya menggarap lahan punya orang lain tapi karena sudah meninggal, lahan tersebut diwariskan kepada anak-anaknya tetapi dijual jadi saya cuma menggarap lahan sendiri saja saat ini,” ujarnya saat wawancara. Selain bertani, ia juga beternak sapi dan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya sang istri juga turut membantu dengan berjualan ketan dan gorengan.
ADVERTISEMENT
Dalam 3 bulan masa panen ubi yang ia tanam dapat menghasilkan paling banyak 4 ton ubi dan dijual kepada tengkulak yang per kilonya dihargai 1500 rupiah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetapi, jika cuaca tidak baik dan tidak mendukung hanya dapat menghasilkan 1,5 ton saja. Hasil panen ini tidak sebanding dengan biaya produksinya yang mahal. Ia menyampaikan untuk kebutuhan pupuk saja butuh setidaknya 50 Kg pupuk urea yang harganya mencapai Rp 4000/Kg dan hal itu cukup memberatkan karena untuk akses pupuk tersebut butuh kartu tani sehingga sangat sulit untuk akses pupuk bersubsidi. “Sampai sekarang saya tidak punya kartu, karena sulit untuk membuat kartu tersebut dan banyak yang belum punya kartu (tani). Kalau ingin membeli pupuk dimana-mana ditanya kartu. Padahal kan saya mau beli bukan minta. Katanya untuk pupuk beli saja di dekat IPB di Leuwikopo itu tapi lebih jauh dan itu biaya lagi untuk kendaraannya,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Shintia Rahma Islamiati, Arum Putri Kirani, Dhea Kamilla, Shyntia Simbolon dan Dirgam Dapa H S