Konten dari Pengguna

Lakon Karna Tandhing: Representasi Konflik Politik dalam Jagad Pewayangan

Shofiha Mila
Sohifihatul mila atau bisa dipanggil dengan mila oleh orang sekitar. Memiliki hobi menggambar dan membuat kerajinan. Lahir dikota Lamongan dengan 3 bersaudara. Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya. Cita-cita ingin menjadi wirausaha yang sukses.
11 Januari 2021 14:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofiha Mila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jagad pewayangan tiada henti-hentinya menyajikan berbagai kisah dan konflik yang luar biasa. Dengan penokohan dan alur cerita yang membuat semua insan yang menyaksikan dikisahkannya lakon demi lakon pewayangan berdecak kagum dan mendapati berbagai pesan moral serta hikmah di setiap lakon tersebut. Kisah yang bisa dibilang menjadi kisah paling menarik dalam pewayangan adalah perang Bharatayudha, dimana perang ini merupakan perang saudara yang melibatkan Pandhawa sebagai kubu protagonis dan Kurawa diceritakan sebagai kubu antagonis. Dalam perang Bharatayuda, terdapat berbagai peristiwa penting yang terbagi dalam 4 lakon pewayangan. Yang pertama yakni Lakon Bisma Gugur, dimana lakon ini menceritakan tentang gugurnya kstaria hebat sekaligus kakek dari para Pandhawa yang menjadi Mahasenapati Kurawa harus mati di tangan Raden Arjuna dan Dewi Srikandi. Selanjutnya, yang kedua adalah Lakon Durna Gugur, yang menceritakan peristiwa Pandhita Durna sebagai Mahasenapati kurawa meregang nyawa ditangan Mahasenapati Drestajumena dari kubu Pandhawa, Durna adalah orang dibalik hebatnya Arjuna dan para pandhawa karena Durna merupakan guru dari semua pangeran Ngastina. Ketiga, ada Lakon Karna Tanding, menceritakan sebuah kisah dilematis yang dialami oleh Adipati Karna yang bertempur untuk pihak Kurawa atas desakan kepentingan politik melawan para adiknya, Pandawa. Karna harus gugur di tangan adiknya sendiri, Raden Arjuna sebagai puncak hidupnya. Dan yang keempat, Lakon Salya Gugur, yang menceritakan tentang paman para pandhawa, Prabu Salya yang juga menjabat sebagai mahasenapati Kurawa gugur ditangan keponakannya sendiri yakni Prabu Puntadewa.
ADVERTISEMENT
Lakon Karna Tandhing
Dari 4 lakon Bharatayudha tersebut, Lakon Karna Tanding mempunyai daya tarik tersendiri, mulai dari latar belakang tokoh Karna, perjalanan hidup, hingga gugurnya Karna dalam pertandingan terakhir melawan Pangeran Arjuna yang sebenarnya adalah adiknya sendiri. Membahas persoalan wayang tidak dapat lepas dari kapasitasnya sebagai representasi jagad mitis masyarakat Jawa. Penelitian menunjukkan bahwa wayang sebagai lapis mitis ke-dua merupakan “realitas sosial” yang di dalamnya mengandung kaidah dan norma tentang pranata sosial dan ritual. Khususnya berkenaan dengan pranata ritual, dipahami dalam jagad wayang bahwa masing-masing tokoh manusia (epik) merupakan inkarnasi dari tokoh dewa (mite) (Wahyudi, 2012). Dalam buku Mahabharata karya Nyoman Pendit, menjelaskan bahwa Pertarungan hidup mati bagi kedua kubu ini juga disertai berbagai kondisi dilematis karena disamping rivalitas abadi antara dua ksatria pemanah terbaik, keduanya adalah saudara seibu yang seharusnya saling menyayangi. Karna, yang dididik oleh Begawan Parasurama ini mengabdikan seluruh pengetahuan dan kemampuannya sepanjang hidup untuk membunuh Arjuna di suatu pertarungan. Di suatu kesempatan saat kompetisi antar para pangeran Ngastina digelar, Karna yang datang berstatus anak kusir dengan berani menantang pangeran Arjuna untuk bertarung. Namun, bukan kesempatan, malah berrbagai cercaan dan hinaan menghujam hati Karna. Ditengah keputus-asaan tersebut, Raden Duryudana memberikannya kekuasaan sebagai Adipati di Ngawangga, salah satu daerah yang berhasil ditaklukkan Ngastina.
ADVERTISEMENT
Dari situ, situasi politik mulai mewarnai lakon ini, dimana Karna kini tidak hanya berjuang untu mendapat pengakuan sebagai pemanah terbaik, juga mengemban tanggung jawab untuk memperjuangkan Raden Duryudana menjadi penguasa Ngastina. Dalam pertunjukan Lakon Karna Tanding yang disajikan oleh Blancius Subono, disampaikan bahwa Lakon Karna Tanding menyampaikan 3 pesan moral utama yakni kebenaran, keadilan dan kesetiaan. Kebenaran dan keadilan dalam Lakon ini disampaikan melalui bagaimana Karna membela para Pandawa sebagai lambang kebenaran, ketika perang Bharatayudha sudah akan terjadi, Prabu Kresna dan Dewi Kunti berusaha membujuk Karna untuk berbalik arah memerangi Kurawa, namun hasilnya, Karna tetap bergeming demi Politik balas budinya tehadap Kurawa tapi Karna berjanji untuk menjaga semua pandawa tetap hidup. Ketetapan Prabu Karna tersebut sebagai wujud rasa sayangnya kepada Pandawa dan tanggung jawabnya sebagai saudara tua yang harus menyelamatkan dan mensejahterakan adik-adiknya. Menurut Prabu Karna, hanya dengan pecahnya Baratayudalah Pandawa dapat hidup tenang, dan Baratayuda terjadi, maka Prabu Karna harus berada di pihak Kurawa sebagai Benteng Kurawa. Agar Pandawa mencapai kejayaan, maka dalam Baratayuda nanti, ia harus melawan Arjuna. Meskipun Prabu Karna rela mati di tangan Arjuna, tetapi bukan berarti dia akan mengalah begitu saja. Dalam membuktikan keseetiaannya, dia akan tetap berdiri sebagai ksatria dan senapati yang bertanggung jawab atas tugasnya sebagai Senapati Kurawa (periksa Mulyono, 1992: 54). Itulah bentuk kebenaran dan keadilan serta kesetiaan yang dijunjung oleh Adipati Karna.
ADVERTISEMENT
Ketika hari ke-17 Perang Bharatayudha meletus, disitulah saatnya Adipati Karna bertanding melawan Raden Janaka Arjuna, sebagai panglima atau Senapati, Karna memiliki misi khusus untuk membunuh Arjuna di hari itu juga untuk memastikan kemenangan pihak Kurawa, sedangkan Arjuna wajib membunuh Karna sebagai langkah utama dalam misi Bima membunuh Prabu Suyudana karena Karna adalah pelindung bagi sang Prabu. Di tengah dilema yang sudah dialami Karna, pada akhirnya panah pasupati raden Arjuna berhasil menembus leher Karna dan membuat sang Ksatria Suryaputra gugur sebagai pahlawan kebenaran, karena mengorbankan nyawanya untuk kejayaan Pandawa.
Pesan Moral dan Kesimpulan secara Politik
Bharatayudha menjadi lambang dari kekuasaan dan keperkasaan isu politik yang bisa mengesampingkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. selain Karna yang berjuang demi politik balas budi terhadap Kurawa yang memberikannya kekuasaan, harta, dan kenaikan kasta, ada juga Prabu Sengkuni dari Gandara berjuang dengan berbagai siasat politik untuk mendapatkan kekuasaan untuk sang keponakan, Raden Duryudana. Di samping itu, ada Resi Bisma juga harus bertarung melawan kebenaran para cucu kesayangannya yakni Pandhawa demi sumpah sucinya untuk berjuang secara politis melindungi Ngastina sebagai Senapati. Pandhita Durna juga harus menyayat hatinya sendiri tatkala harus mengangkat senjata melawan murid-murid terbaiknya juga demi alasan politik karena jasa-jasa Ngastina dan sumpahnya dalam membela tahta Ngastina. Para Pandawa, sang lambang kebenaran, harus melawan para sepupu mereka yakni Kurawa demi keadilan dan hak politik sebagai penguasa sah Kerajaan Ngastina. Peristiwa diatas cukup merepresentasikan dominasi dari isu politik dalam perang Bharatayudha/ Melihat dari perlakuan Duryudana kepada Karna, Sengkuni kepada Duryudana, Bisma dan Durna kepada Ngastina, menunjukkan bahwasanya yang abadi adalah kepentingan politik, mengalahkan kebenaran, keadilan, kesejahteraan, bahkan persahabatan serta kekeluargaan. Oleh karena itu, melalui pesan moral Lakon karna Tanding, sebagai manusia yang masih hidup, sudah semestinya mampu berpikir bahwa manusia harus mampu mengesampingkan mana kepentingan politik yang membawa kepada kesejahteraan dan ketentraman sehingga bisa diprioritaskan, dan juga mana kepentingan politik yang bisa menjerumuskan dan menjauhkan manusia dari kebenaran dan perilaku adil.
ADVERTISEMENT