Konten dari Pengguna

Nasionalisme Akun Media Sosial dengan Foto Profil Idola Korea

Shofiyatun
Alumni Jurusan Arsitektur Instintut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
16 Agustus 2021 12:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofiyatun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bendera Merah Putih di puncak Gunung Prau, Dieng, Wonosobo. Foto : Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Bendera Merah Putih di puncak Gunung Prau, Dieng, Wonosobo. Foto : Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
"Buat penyuka drama Korea, ini daftar drama Korea Olimpiade Tokyo 2020: Kasus liputan pembukaan olimpiade oleh TV MBC Korea Selatan yang menuai protes sejumlah negara, atlet tembak Korea Selatan menyebut atlet tembak Iran sebagai teroris, pemanah putri Korea Selatan yang meraih emas dihujat di negaranya sendiri karena berpenampilan rambut pendek, asosiasi badminton Korea Selatan akan mengadukan pelatih China yang kedapatan mengumpat dalam Bahasa mandarin saat ganda putri China bertanding melawan ganda putri Korea, takut dengan radiasi nuklir tim Korea Selatan membawa makanan sendiri. Mungkin karena hidupnya terlalu sering berkubang dengan drama. Sehabis ini saya di pecinta drama Korea” , tulis salah satu teman Facebook saya di statusnya.
ADVERTISEMENT
“Masnya ada masalah apa sih sama pencinta drama Korea?”, ketik saya di kolom reply. Namun kemudian saya urungkan memencet tombol kirim. Bukan apa juga. Tidak ada gunanya berdebat. Walau jujur, saya lumayan merasa kesal juga ketika membaca statusnya.
Bukan. Saya bukan merasa kesal dengan rasisnya warganet Korea tapi kesal karena dia menyenggol-nyenggol penyuka drama Korea. Seakan serasis apa pun negara Korea, kami pencinta drama Korea akan membela negara Korea dengan membabi buta.
Di Twitter pun juga begitu. Ketika ramai berita terkait atlet panahan banyak yang menyesalkan kasus tersebut. Dan tentu saja kemudian muncul akun yang nge-tweet kira-kira begini: “Menunggu ava Korea membela (negara Korea) dengan membabi buta”. Tentu saja kolom reply juga akhirnya terpecah menjadi beberapa kubu. Menyesalkan kasus rasis warganet Korea dan kubu satunya berisi tanggapan bahwa tidak semua ava Korea begitu.
ADVERTISEMENT
Buat yang belum paham apa itu ava Korea, ava Korea adalah akun-akun di sosial media twitter yang menggunakan foto profil artis Korea. Seringnya foto-foto idola.
Kenapa akhirnya muncul stigma negatif terkait ava Korea ini? Dikarenakan akun-akun ava Korea sering (ditengarai) membalas cuitan di kolom reply dan hashtag-nya tidak nyambung dengan topik yang ingin dinaikkan TS.
Bahasa kasarnya, riding the wave di kolom reply demi menaikkan idolanya menjadi trending topic. Sehingga menutupi topik lain yang ingin dinaikkan di Twitter. Dan kejadiannya tidak sekali dua kali.
Dari sinilah muncul stigma dan glorifikasi tersendiri terhadap akun ava Korea.
Karena ava Korea merusak ava korea sejagat internet. Tidak semua ava Korea begitu. Kalau kita nge-judge balik ava Korea apa bedanya kita dengan apa yang kita judge coba? Sampai akhirnya ava Korea-pun memberikan pembuktian bahwa mereka tidak hanya bisa menjadikan idolanya trending topic tapi juga isu yang lagi naik. Seperti kasus Omnibus Law kemarin.
ADVERTISEMENT
Mengutip cuitan bapak Ismail fahmi: "TOP AVATAR #MosiTidakPercaya Tagar ini beserta tagar-tagar lain terkait penolakan terhadap Omnibus Law yang menjadi trending topic dunia, digaungkan oleh akun-akun dengan ava Korea ini. K-Popers Strike Back!"
Tak hanya menjadikan trending topik tapi juga ikutan turun ke jalan. Berseliweran di Twitter foto-foto mereka membawa selebaran/spanduk bertuliskan:
“Loving kpop doesn’t mean losing our nationality but approving RUU KUMP means losing our democracy”.
"Ava Korea juga mahasiswa. Indonesia nomor satu. Oppa nomor dua”.
“No matter who you are, where you from, your skincare, your gender identity, speak yourself!”.
Aku Army-nya BTS tapi hari ini aku jadi Army-nya rakyat Indonesia”.
Dan ketika topik yang hangat jadi trending topic pun, akun ava Korea masih salah juga. Saya menemukan dua komen di dua kasus rasisme panahan dan kasus Omnibus Law.
ADVERTISEMENT
“Segini banyaknya yang komentar kok rata-rata ava-nya artis Korea ya?”, komentar seorang mahabenar warganet di akun CNN Indonesia yang sedang membagi berita berjudul: Omnibus Law Ciptaker, Puncak Pengkhianatan Negara ke Rakyat.
“Saya menyaksikan banyak ava Korea yang mendadak membenci orang Korea setelah kasus rasisme di olimpiade I fucking love the sheer irony of this situation”, komentar seorang mahabenar warganet yang lain.
Apakah ada larangan bagi akun Ava Korea untuk berkomentar tentang negaranya sendiri? Apakah tidak boleh bersuara akan ketidakadilan negeri?
Saya jadi berpikir kalau misal ternyata yang komentar akun-akun dengan foto profil berlatar Jepang atau foto berlatar lagi jalan-jalan di Belanda apakah akan mendapat stigma negatif juga? Tentu saja tidak. Dan ini masih terjadi di 76 Tahun Kemerdekaan negara kita, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jadi walau kita merdeka dari yang (katanya) penjajah tapi kita masih belum merdeka dari pikiran-pikiran kolot seperti katak dalam tempurung. Yang menjajah kita negara Belanda dan Inggris, tapi entah kenapa kalau jalan-jalan ke Inggris dan Belanda berasa lebih keren ketimbang jalan-jalan ke tembok besar China.
Kita punya kisah pilu Jugun Ianfu pada masa penjajahan Jepang, tapi entah kenapa kalau nge-wibu ngerasa lebih mulia ketimbang ngedrakor. “Tapi kan jadi kepengin berkunjung ke Korea mbaknya?”
“Memang apa salahnya berkunjung? Setiap orang punya preferensi kesukaan masing-masing. Suka Jepang jadi ingin datang ke Jepang. Suka Thailand jadi ingin datang ke Thailand. Suka Manchester United jadi ingin datang ke Inggris”.
Kalau dalam bahasa per-fandom-an, kasta tertingginya adalah umrah atau berziarah langsung ke tempat yang disukainya. Dan dengan datang kesana pun juga tidak membuat kita mendadak luntur jiwa nasionalismenya. Ini hanya perkara kesukaan. Perkara selera. Dan tentu saja urusan selera kesukaan berbeda dengan urusan nasionalisme.
ADVERTISEMENT
***
Beberapa tahun lalu juga pernah kejadian serupa dan mirip. Membandingkan para backpacker yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan backpacker yang suka jalan-jalan dalam negeri.
Perbandingannya seolah-olah, jalan-jalan di dalam negeri lebih nasionalis atau lebih cinta Indonesia ketimbang backpacker yang memilih berjalan-jalan ke luar negeri.
Dan ternyata itu sebuah kampanye jalan-jalan sebuah media. Padahal di masa itu biaya jalan-jalan ke luar negeri lebih murah ketimbang biaya jalan-jalan di negeri sendiri. Tak lebih dari persoalan murah dan mahal saja. Tidak ada hubungannya denga jiwa nasionalisme.
Kita tarik kebelakang lagi ada kampanye Aku Cinta Rupiah dan Produk Dalam Negeri. Yang makin kesini produk dalam negeri makin diglorifikasi seakan paling baik dan tentu saja embel-embel karya anak bangsa sebagai daya tarik. Walau pada kenyataanya kita hanya bagian merakit saja.
ADVERTISEMENT
Misalnya Mobil Esemka bahan baku dari China dirakit sama anak bangsa. Vaksin Nusantara yang diracik di depan anggota dewan ternyata juga buatan Amerika dan anak bangsa Indonesia yang jadi kelinci percobaannya. Dan yang paling hangat adalah mari kita tunggu Laptop Merah Putih sebagai salah satu produk kebanggaan anak bangsa.
Kalau seperti ini, rasa nasionalisme tak lebih dari sekadar social campaign? Ya masa Ava Korea dibilang tidak nasionalisme itu bagaimana?(chop)