Rentaneko: Sebuah Usaha Membunuh Sepi pada Masa Pandemi

Shofiyatun
Alumni Jurusan Arsitektur Instintut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Konten dari Pengguna
16 Agustus 2021 14:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shofiyatun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Memeluk Kucing. Sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Memeluk Kucing. Sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
Sebagai pekerja sektor konstruksi, selama pandemi saya nyaris tidak pernah WFH. Tidur siang adalah sebuah kemewahan. Biasanya baru bisa tidur siang itu di akhir minggu.
ADVERTISEMENT
Kemaren tidak seperti biasanya saya tidak bisa tidur siang. Hanya gelundung-gelundung saja sampai menjelang Maghrib. Tiba-tiba saya teringat lagu Alm. Chrisye: Surya tenggelam, ditelan kabut kelam, senja nan muram, di hati remuk redam. Malam mencekam, rembulan sendu rawan, anak perawan, menanggung rindu dendam.
Seperti ada yang kurang hari ini. Batin saya. Saya mencoba merunut mundur ke jam tadi siang sepulang kerja. Tak ada yang aneh. Saya pulang setelah hari berlalu lebih dari separuh. Saya mampir warung dulu buat bungkus makan siang, sampai kosan, salat dan makan. Terus sembari menunggu terlelap saya menyalakan laptop dan memutar film Korea yang dari minggu kemaren tidak kelar-kelar nontonnya.
Biasanya setiap pulang kerja, nyaris tiap hari biasanya saya disambut sama beberapa kucing sekitar yang suka maen ke kosan. Saya suka ngasih makan mereka. Kadang pakai makanan kucing kadang pakai sisa jatah makan saya. Saya juga stok Bolt sekilo yang saya taruh di botol plastik bekas air mineral.
ADVERTISEMENT
Dan biasanya kalau Sabtu gini itu kucing-kucing jarang langsung pergi. Ada yang goler-goler di keset depan pintu kamar bak rebahan di hotel mewah nan empuk, di keset depan pintu kamar mandi bak plesiran sembari berjemur di pantai dan suka ada yang curi-curi masuk kamar seperti orang-orang menunggu antrean vaksin. Iya, ada sekitar tiga kucing yang sering datang. Dua berwarna oranye, satu berwarna hitam. Yang hitam sepertinya juga sudah sepuh, setiap habis makan kerjanya hanya rebahan di rak sepatu depan kamar.
Kalau weekend biasanya kucing yang curi-curi masuk kamar akan saya biarkan. Apalagi pas jam-jam tidur siang seringnya kucing-kucing itu suka nyempil ikutan rebahan.
Suara gesekan kuku kucing dan kain sprei kemudian disertai dengkuran yang halus. Selalu sukses membuat saya mudah terlelap. Kemudian kita saingan tidur. Siapa yang terakhir bangun dialah juaranya. Kalau mengutip lagu mba Dee Lestari: "Malaikat juga tahuuuu... siapa yang jadi.. juaranyaaa!"
ADVERTISEMENT
Apa jangan-jangan karena ketidakhadiran kucing-kucing tersebut saya susah tidur siang ini?
***
Suara azan maghrib terdengar dari kejauhan. Jalanan juga kerasa lengang. Padahal ini malam Minggu. Oh iya.. sekarang masih minggu PPKM. Sejak pandemi sekitar kosan saya terasa sepi. Padahal biasanya ramai dengan mahasiswa karena memang kebetulan lokasi kosan berada di sekitaran kampus.
Rental printer dan fotokopian yang biasanya buka 24 jam juga tutup nyaris sudah dua tahunan ini. Warung-warung pun begitu. Sebagian besar tutup. Hanya beberapa saja yang buka. Dan saya bersyukur saya jadi tidak terlalu khawatir perkara makanan. Walau terkadang menunya itu-itu lagi. Tapi sejauh ini lumayan bikin saya masih bertahan.
Sampai pernah ada bang ojol yang mengantar saya ke kosan bilang, “Mbak, daerah sini kayak desa ya? Sepi sekali.”
ADVERTISEMENT
Saya jadi teringat sama film Jepang berjudul Rentaneko (Rent a Cat). Berkisah tentang perempuan bernama Sayoko, seorang yang menawarkan jasa persewaan kucing bagi orang-orang yang kesepian. Seekor kucing bisa menggantikan ‘lubang-lubang’ rasa sepi di hati.
Seorang ibu tua yang tinggal sendiri setelah anak-anaknya pada mentas. Seorang bapak yang jauh dari keluarga karena kerjaan, dan seorang perempuan penjaga rental mobil merasa ditinggalkan oleh dunia. Saking kerasa sepinya.
Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Sayoko juga kesepian. Tapi untungnya dia punya banyak kucing. Secara tidak sengaja Sayoko sudah menciptakan kondisi 'lingkungan yang menyembuhkan'nya sendiri. Atau lebih dikenal dengan istilah healing environment.
***
Mengutip buku Health & Human Behaviour-nya Jones. Lingkungan memegang peran penting dalam proses penyembuhan manusia. Yakni sekitar 40%, baru diikuti faktor medis 10%, genetik 20% dan faktor lain-lain 30%.
ADVERTISEMENT
Pengurangan rasa sakit, rasa stress dan perasaan tertekan, memberikan suasana hati yang positif serta membangkitkan serangan merupakan salah satu dari penerapan healing environment.
Rasa sepi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi di masa pandemi yang tidak kunjung usai ini. Seringkali saya butuh jeda untuk menata diri dan hati. Seperti yang saya ceritakan di atas, sebagai pekerja sektor konstruksi yang nyaris tidak pernah WFH. Setiap harinya saya ke kantor dengan moda transportasi motor pribadi. Setiap hari pulang dan pergi berpapasan dengan yang namanya ambulans entah berisi pasien covid-19 entah berisi jenazah.
Ketika kasus sedang tinggi-tingginya sekali jalan saya bisa berpapasan dengan 5 bahkan sampai 6 mobil jenazah. Bisa dihitung sehari bisa total 10 sampai 12 kali berpapasan. Sampai kosan jiwa rasanya kosong. Namun, sambutan kucing-kucing ini lumayan mengisi lubang kekosongan itu.
ADVERTISEMENT
Ada masanya juga rasanya tak sanggup mengendarai motor sendiri. Di saat seperti itu saya sangat berterima kasih terhadap teknologi bernama layanan antar jemput secara daring.
Sebenarnya saya bukan pencinta kucing, tapi tidak juga bisa dibilang benci. Saya jarang memasukkan kucing ke kamar karena di kamar yang hanya ukuran tak seberapa ini saya melakukan semua aktivitas. Mulai aktivitas rebahan sampai aktivitas pemujaan.
***
Matahari pun sudah kembali keperaduan dengan sempurna. Malam pun semakin beranjak. Saya juga belum bisa mengatasi rasa sepi dan gelisah. Kemudian saya mencoba googling terkait tentang kucing ini. Dan menemukan hal yang menurut saya keren. Bahwa suara dengkuran kucing ternyata sangat baik untuk kesehatan. Berpelukan dengan kucing juga memberikan rasa tenang. Studi ilmiah juga menunjukkan bahwa pemilik kucing memiliki tekanan darah yang lebih rendah dan dapat hidup lebih lama daripada manusia yang tidak memiliki hewan peliharaan
ADVERTISEMENT
Dengkuran kucing yang umumnya dalam kisaran 40-200 Hz diyakini dapat menyembuhkan luka dan menghilangkan rasa sakit. Bahkan untuk diri kucing itu sendiri.
Googling-googling lagi kemudian saya menemukan sebuah web yang menyediakan suara dengkuran kucing. Tagline webnya: Bagi anda yang tidak di rumah, tidak dapat memiliki hewan peliharaan (kucing), atau hanya perlu memperbaiki dengkuran. Suara dengkuran kucing ini bisa membantu anda bersantai dan meniru pengalaman menenangkan dengan meringkuk tanpa terganggu kutu dan bulu (kucing).
Saya bertekad memutarnya nanti sebelum tidur.
***
Paginya saya terbangun dengan suara pintu seperti ditendang-tendang. Begitu saya buka, seekor kucing oranye merangsek masuk ke dalam kamar. Saya hanya bisa tertawa-tawa sambal sesekali berteriak, “Jangaaan!!” Dikarenakan ini kucing langsung menyerbu wadah benang rajut saya dan menjadikannya mainan sampai benangnya berantakan ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
“Awas tak jewer nanti,” dan si kucing tetap saja lari-larian macam Jerry sedang dikejar Tom. Hih!
Seperti kata Christoper Mc Candle dalam film 'Into the Wild', Happines is only real when it shared. Yah.. berbagi kebahagiaan dengan seekor kucing sudah lebih dari cukup di masa pandemi ini. (chop)