Gairah Hijaber di London

shofwan karim
Ketua PWM Sumbar 2015-2020, 2000-2005. Rektor UMSB 2005-2013. Komisaris PT Semen Padang 2005-2015. DPRD Prov Sumbar 1992-1999. Dosen IAIN-UIN IB 1985-2018.
Konten dari Pengguna
9 Agustus 2020 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari shofwan karim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gairah Hijaber di London
Oleh Shofwan Karim
Wanita mjuda berhijab di London. (Foto Tempo.Com)
Kumparan-mania yang baik. Pada 2004 saya dan isteri bersama satu putra kami ke London, Inggris. Waktu itu fenomena melengkapi busana muslimah di kepala dan wajah, jilbab, yang sekarang disebut berhijab menjadi heboh pada beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Mereka melarangnya. Seperti di Prancis dan beberapa yang lain. Di Inggris berbeda. Ada fenomena semakin banyaknya jumlah pemeluk Islam dan warga Muslim di United Kingdom ini. Tayangan itu dapat dibenarkan melalui pengamatan mata langsung.
Saya belum mendapatkan angka statistik. Angka itu tidak akan ada, karena soal agama tidak termasuk pertanyaan cacah jiwa di sini. Jadi kalaupun ada angka, itu pasti estimasi semata. Saya mengamati pada setiap kali naik kereta bawah tanah atau Underground yang di sini juga disebut Tube. Ada saja perempuan muslimah yang berhijab. Begitu pula ketika naik bus kota pemandangan yang sama soal wanita berhijab itu.
Imnati Ilyas, Dra., B.A., S.Pd., M.Pd., (Kons) dan Adam Putra Shofwan di halaman Buckingham Palace, 2004 (Foto Dok.)
Satu atau dua kali kali saya sengaja berdiri di pinggir jalan Oxford Syrcus. Inilah jalan paling macet oleh bus kota. Karena dari sini dengan jalan penyanggah di kiri dan kanannya menjadi tempat bus kota berputar kembali ke rutenya. Kaena saya dari Padang, maka khayan saya, kira-kira seperti situasi Jalan Mohammad Yamin arah ke Masjid Taqwa Muhammadiyah dan belok ke Bundo Kanduang atau masuk ke Pasar Raya Padang.
ADVERTISEMENT
Di situ tumpahnya segala mall dan supermarket, pusat belanja dari yang rendah ke yang tinggi. Dan di jalan ini pula adanya petak-petak kaki lima teratur rapi. Dengan begitu pantaslah kawasan ini paling padat dan tempat berjejal orang hilir mudik. Pagi, siang, sore dan malam hari.
Saya mencoba mengamati dan menghitung . Ternyata hampir setiap tiga menit, paling kurang ada satu atau dua wanita berjilbab yang lewat. Umumnya mereka berdua atau dengan beberapa orang yang kelihatannya seperti satu keluarga. Warna kulit mereka tidak semata-mata beraneka warna, tetapi banyak pula yang bekulit putih. Yang terakhir ini, oleh teman saya Murad, menyebut pribadi sebagai muslimah asli Inggris.
ADVERTISEMENT
Tentu saja perbandingan itu kalah banyak dengan mereka yang tidak memakai jilbab dan perempuan yang membuka tubuhnya. Lebih-lebih lagi sekarang sedang musim panas atau summer (Juli). Sehingga bagi kebanyakan orang di sini, memakai pakaian yang paling minim menjadi umum.
Ibu Priharyati, Isteri Eddy Paratomo, SH., M.CDM-Wk Dubes RI di London (2004). Sesudahnya Dubes di Jerman kini Prof. Dr. H. Eddy Pratomo, S.H., M.A., menjadi Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta (Foto: Dok SK)
Tentu terasa aneh, bagi kita orang asing. Misalnya menyeberang taman Green Park setelah keluar dari stasiun kereta bawah tanah arah ke Buckingham Palace atau Istana Buckingham. Di situ sejak siang sampai sore orang berjemur dengan buka-bukaan. Sementara wanita-wanita Muslimah banyak lewat dengan teman atau keluarganya.
Mereka sepertinya tak mempedulikan pola-tingkah orang-orang yang menjemur diri di rerumputan atau bebaringan di bagian lain di bawah pokok pohon kayu besar yang sudah ratusan tahun di bagian lain taman. Tidak ada apa-apanya. Mereka tak peduli.
ADVERTISEMENT
Sama halnya mereka yang buka-bukaan itu tidak peduli pula kalau orang di sekitarnya memakai pakaian panjang dan berhijab atau berhijab. Ini mungkin hak privasi masing-masing. Hijab yang saya maksud di sini sepertinya adalah hijab mayoritas gadis-gadis muda dan mahasiswi di Indonesia.
Bukan jilbab yang lebar dan besar-besar. Yang tersebut terakhir ini ada juga. Tetapi jarang sekali. Bahkan ada pula yang memakai cadar, tetapi tidak banyak. Jadi jilbab mode selebritis. Dengan celana jin, bahkan ada yang ketat atau rok panjang, tetapi rambutnya tertutup dengan berbagai gaya dan seni. Gaya pakaian begini saya lihat juga di Mesir pekan lalu.
Pada bagianlain kota London, saya juga melihat toko kebutuhan konsumsi pokok bertulis halal. Tetapi tidak ada yang menulis kalimat restoran atau rumah makan Islam, muslim atau semacam itu. Padahal di negara lain hal itu umum saya lihat. Misalnya di kota Beijing, China.
ADVERTISEMENT
Pada bulan September 1995, dengan rombonan, lalu Desember 2015 dengan isgeri, dan Agustus 2019 sekeluarga, pada resto berlabel Muslim Restaurant atau halal. Label itu umum sekali di beberapa jalan kota ini dan pada beberapa tempat istirahat arah ke Tembok Besar (Great Wall) , 75 kilometer ke luar kota Beijing.
Kembali ke Murad. Lelaki 40-an tahun ini mengaku ingin cepat kembali ke negerinya atau ke negeri lain yang menurut perasaan dan versinya benar-benar muslim. Mengapa?. Tanya saya. Wah, di sini tidak baik untuk perkembangan anak-anak, katanya. Lingkungan di sini terlalu materialistik, hedonistik dan cepat merusak jiwa keturunan saya nantinya, katanya.
ADVERTISEMENT
Ia mengaku memiliki sepasang putra putri yang masih kanak-kanak. Ia ingin keturunannya terpelihara secara Islami murni. Tetapi Murad sendiri tidak menolak hal-hal yang amat positif di sini yang mungkin tidak dia peroleh di negeri lainnya kalau nanti meninggalkan negeri ini.
Di sini, masih kata Murad, kriminal sedikit sekali. Kejahatan-kejahatan berat, jarang sekali terjadi. Semua hal diatur dengan peraturan dan hukum. Dan itu terasa bukan suatu pemaksaan. Sudah merupakan hal yang alami. Pada hal-hal tertentu warga Inggris sangat menghormati hak-hak asasi dan hak sipil lainnya. Karena itu di Inggris tidak ada larangan seperti di Perancis untuk memakai pakaian yang sesuai dengan kewajiban agama.
Di sini tidak ada larangan memakai jilbab bagi muslimah di sekolah. Sama halnya tidak ada larangan memakai tutup kepala bagi kaum Yahudi dan lambang salib bagi Nashrani.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, untuk menjadi penduduk tetap di Inggris atau permanent residence, relatif mudah. Bila anda tinggal terus menerus di sini selama 4 tahun, kata Gede dari KBRI, sudah bisa memiliki status itu. Tetapi kalau keluar lagi jangan sampai lebih dari dua tahun. Kalau lebih dari itu , status permanent residence anda batal. Harus mulai dari awal lagi.
Dengan status penduduk tetap itu, jaminan bekerja dan lain-lain sudah dimiliki. Ini juga menjadi daya tarik imigran datang ke sini. Boleh jadi ini faktor pendorong utama pula bertambahnya warga beragama Islam di negeri Ratu Elyzabeth ini. ***