Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Lain Garis Satu Perjuangan
8 Maret 2025 16:59 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari shofwan karim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menolak Lupa: Natsir dan Sukarno
ADVERTISEMENT
Oleh Shofwan Karim

Saya sering membaca dan mendengar langsung semasa hidupnya Mohammad Natsir mengutip: “Dan Katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).
ADVERTISEMENT
Mungkin motto itu pula yang mengantarkan Natsir dan Sukarno meniti gelombang kehidupan nasional. Memperjuangkan kemerdekaan, mempertahankan dan merebut tujuan dengan cita-cita yang kadang kala berbeda dari luar, tetapi tujuan sama, Indonesia adil Makmur dalam di bawah Ridha dan berkha-Nya. Kadang kala mereka Bersatu, kala lainnya mereka di garis berbeda.
Menurut Deliar Noer, (1980:97), Sukarno atau Ahmad Soekarno (1901-1970), di masa pembuangannya di Flores (1934-1938), memuji Mohammad Natsir (1907-1993). Dalam sepucuk suratn¬ya kepada A. Hasan, pendiri Gerakan Persis (Persatuan Islam), pujian Sukarno atas kegiatan-kegiatan Natsir dalam Persis amatlah berkesan.
Persis Bandung sebagai lembaga pendidikan Islam (waktu itu—kini Gerakan Islam) mempunyai tujuan antara lain: (1) melaksanakan berlakunya hukum Islam dan kembali kepada pimpinan Al-qur'an dan Sunnah; (2)menghidupkan jiwa jihad dan ijtihad; (3)membasmi bid'ah khurafat, takhayul, taklid, dan syirik; (4)memperluas tabligh dan dakwah Islam; (5)mendirikan pesantren dan sekolah untuk mendidik kader-kader Islam; (6)menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan. (Anshari, 1985:13 ).
ADVERTISEMENT
Setelah menamatkan AMS (1927-1930), Mohammad Natsir yang semula bercita-cita menjadi Mister in de Rechten (Sarjana Hukum) tidak melanjutkan kuliah ke Fakultas Hukum atau menjadi pegawai pemerintah, padahal ia mendapat tawaran bea-siswa di Fakultas Hukum di Jakarta dan di Fakultas Ekonomi Rotterdam Negeri Belan¬da.
Natsir di Jalan-Nya
Perhatiannya tertumpu kepada perjuangan di jalan Allah, fi sabilillah. Di AMS ia berhadapan dengan lingkungan intelektual yang sekuler, memisahkan urusan dunia dan akhirat, memisahkan urusan agama dan negara.
Mohamad Natsir dan dengan tekun mempelajari buku-buku berbahasa asing. Ia mahir dalam bahasa Latin. Pada mulanya kemampuannya dalam Bahasa Belanda ia agak ketinggalan, tetapi belakangan dengan usaha keras ia berhasil menguasai bahasa ini dengan baik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya ia menguasai Bahasa Arab, Jepang, Jerman dan Perancis. Oleh karena keterlibatannya dalam gerakan Islam dan politik semakin intensif, maka setamat AMS, walaupun mendapat Bea-Siswa untuk melanjutkan kuliah di fakultas hukum, ia mengurungkan niat itu.
Ia lebih tertarik melihat persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Ia bahkan merasa berdosa kalau itu ditinggalkan. Un¬tungnya kedua orang tuanya dapat mengerti penjelasan yang dikemu¬kakannya untuk mengurungkan niat menjadi meester itu.
Ia mulai pilihannya dengan menggerakkan dunia pendidikan dan menjadi guru di MULO. Salah seorang muridnya ialah Dahlan Djambek yang belakangan menjadi salah satu tokoh PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonsia) 1958-1960. (Tempo, 2 Desember 1989).
Menurut Natsir dorongan utamanya dalam dunia keguruan itu adalah mengajarkan agama. Itulah mata pelajaran yang dipegangnya di sekolah MULO dan Sekolah Guru Gunung Sahari Lembang.
ADVERTISEMENT
Ia memantapkan dirinya seba¬gai pengkaji agama dan pejuang agama. Ia tidak memburu uang, tetapi cukup bekerja bersama A.Hasan Bandung sebagai anggota Redaksi Majalah "Pembela Islam" dengan honor Rp. 20 perbulan.
Ia terus belajar agama dengan konsep belajar agama bukan sekedar Ilmu Tauhid, fiqh, tafsir dam hadist tetapi juga ilmu filsafat Islam, sejarah kebudayaan Islam, pendidikan Islam, politik Islam dan lain-lainnya.
Pada fase ini Natsir mengisi perjuangannya dengan giat di bidang pendidikan, menulis dan berpolitik dengan masuk Partai Islam Indonesia pada 1939. Sore hari ia membuka kursus pendidi¬kan Islam dengan murid awalnya lima orang dengan mengunakan tempat yang dipakai pihak lain untuk kursus Bahasa Inggris.
Kursus ini berkembang menjadi Pendidikan Islam dengan menyewa Gedung sendiri di Jalan Lengkong Besar No. 16. Tempat ini menjadi Kampus Pendidikan Islam yang dipimpinnya 1932-1942. Pandidikan Islam di sini terdiri atas empat tingkat: Taman Kanak, HIS, MULO dan Kweeksckool (sekolah guru). Dalam perkembangannya sekolah ini berpindah-pindah sampai sekolah ini ditutup Jepang.
ADVERTISEMENT
Dalam perjuangan membela Islam ia banyak menulis dalam majalahPembela Islam..Pembela Islam No. 1 terbit tahun 1929 dan berhenti terbit dengan No. 71 bulan Mei 1935. (M. Natsir, 1973:430). Selanjutnya ia menulis pula di dalam Al-Manar,Panji IslamdanPedoman Masyarakat.
Ciri khas tulisannya pada masa itu adalah mempertahankan dan membela Islam dari serangan kaum nasionalis dan sosialis, seperti Ir. Soekarno, Soewarni, Sitti Sundari, Dr. Soetomo dan lain-lain.
Khusus terhadap Soekarno, Natsir terlibat polemik hangat yang terpenting dan paling monumental adalah tentang agama dan ne¬gara. Perdebatan dengan Soekarno terutama berlangsung 1936-1940-an tatkala Bung Karno dibuang Belanda ke Ende di Pulau Flores, seperti di singgung di atas.
Garis Berbeda
Tesis Soekarno ialah pembelaannya terhadap gerakan sekularisa¬si-westernisasi Kemal Ataturk di Turki berintikan ide pemisahan agama dari negara. (Suhelmi, 1999:48). Sekitar tahun 1938-1940 itu, Sukarno banyak menulis dalam majalah Panji Islam di Medan antara lain berjudul: (1)Memudahkan pengertian Islam;(2)Apa sebab Turki memisahkan Agama dari Negara;(3)Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal-Udara; (4)Islam Sontolojo, dll.
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya isi tulisan Sukarno itu ialah ingin agar dalam Islam ada pembaharuan. Yang dikatakan pembaharuan oleh Sukarno dalam hal ini adalah seperti di Turki yang dilakukan oleh Kamal Attaturk tersebut tadi.
Tema pokok yang senantiasa dikemukakan Sukarno berkisar soal modernisme, modernisasi, dan rethinking of Islam (pemikiran ulang tentang Islam). (Ibid, h.429). Selain itu semboyan Soekarno ketika itu adalah soal nasionalisme seperti, "Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme ! Adapun agama adalah pilihan dan tanggungjawab masing-masing diri!."
Di lain pihak M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tetapi adalah suatu pandangan hidup yang meli¬puti soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Baginya Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sen¬diri. Sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploita¬si manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan dan juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiski¬nan.
ADVERTISEMENT
Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semes¬tinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair. (M. Natsir, 1973:9).
Semua lontaran Sukarno di atas tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja. Oleh Natsir dan penulis-penulis Islam lainnya, garis tegak prinsip Sukarno dianggap besar resikonya untuk pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia.
Mereka menganggap Sukarno belum tahu dengan sung¬guh-sungguh duduknya hukum dan hudud dalam Islam, karena Sukarno baru saja mempelajari dan mencintai Islam sebagaimana diakui sendiri oleh Sukarno. Bahwa Sukarno baru saja memeplajari Islam waktu itu, dapat dibaca dalam kumpulan surat-suratnya dari tempat pengasingan Ende (Flores) kepada A. Hasan, Guru Persis Bandung. Surat-surat itu kemudian diterbikan oleh Persis Bandung, 1936.(Ibid :429)
ADVERTISEMENT
Sumber pengetahuan Sukarno tentang Islam oleh para pembela Islam waktu itu dianggap belum bisa dipertang¬gungjawabkan. Sukarno lebih banyak bersumber menyandarkan pikirannya kepada kalangan non-Muslim. Sumbernya adalah rujukan yang ditulis dalam Bahasa Belanda, Inggris, Jerman dan Prancis atau bahasa Barat lainnya.
Beberapa penulis mengklarifi¬kasi pendapat-pendapat Sukarno itu, antara lain A. Hasan, "Membu¬dakkan pengertian Islam" , dimuat berturut-turut dalam majalah Al-Lisan. Sementara itu Hasbi Ash-Shiddieqy menulis dalam Lasykar Islam (Ibid, h.430].
Natsir yang mendukung faham kesatuan agama dan negara, mende¬bat hujah-hujah Soekarno. Natsir menolak idealisasi Sukarno terhadap konsep Mustafa Kamal yang mengajak: "Lepaskanlah Agama dari Negara. Jangan Agama itu diperlindungi juga, supaya Agama itu tidak jadi Agama "kunstmatig", supaya rakyat bisa menjelmakan idealnya Islam itu dengan ia punyalevensstrijd, dengan gerak idealnya ia punya jiwa dan tenaga, " dan sebagainya. (Ibid:469).
ADVERTISEMENT
Terhadap pernyataan Sukarno di atas tadi, selanjutnya Natsir berkata:
Kita bukan suka kepada Agama kunstmatig (buatan). Barang siapa memperhatikan perjuangan penduduk Indonesia dalam seperem¬pat abad akhir-akhir ini, akan cukup mengetahui, bahwa dalam pergerakan kita kaum Muslimin di Indonesia, sesung¬guhnya Agama itu adalah sebagian dari levens strijd (kehidupan yang nyata) kita. Baik dalam lapangan sosial maupun dalam lapangan politik.
Akan tetapi lihat pula teman-teman kita di Turki sana. Mereka telah berjuang. Mereka telah mendapat kemenangan. Mereka mengaku adalah putera-putera Islam. Tetapi sete¬lahnya mereka mendapat kemenangan dan kekuatan, bukan mereka verwerkelijken (menyadari) cita-cita ke-Islaman mereka, melain¬kan mereka tindas pengaruh Islam itu berangsur-angsur. (Ibid).
Natsir juga mendebat apa yang disinyalir Soekarno berdasarkan sumber dan rujukannya termasuk kitabal-Islam wa Usul' l-Hukmoleh Al-Syaikh Ali Abdul Raziq.
ADVERTISEMENT
Natsir mendebat argumen Soekarno yang mengutip Abdul Raziq tentang tidak terkaitnya tugas kerasu¬lan Muhammad saw. dan kepemimpinannya terhadap ummat Islam. Soekarno menyimpulkan pendapat Syeikh Abdurrazik: "Rasulullah hanyalah mendirikan Agama saja, tidak mendirikan Negara."
Terhadap pernyataan Soekarno ini, Natsir mengatakan bahwa Soekarno sudah salah memahami tulisan Syekh tersebut. Karena pernyatan seperti itu dalam kitab Arrazik yang asli berbahasa Arab tidak ditemui. Kemungkinan Soekarno hanya membaca kitab Syekh ini yang berbahasa Barat yang salah dipahami. (Ibid:.481-483.)
Meskipun Natsir dan Sukarno dalam corak pemikiran berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu garis perjuangan menuju Indonesia Merdeka. Pada waktunya melepaskan diri dari penjajahan Belanda dan pada berikutnya membebaskan Idonesia dari penjajahan Jepang. Lalu mempertahankan kemerdekaan ini dari serbuan kembali Belanda dan sekutunya pasca Proklamasi 19454. Baru tahun 1949 Belanda mengakui Indonesi Merdeka secara penuh. (*)
ADVERTISEMENT
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ahmas Syafii Maarif,Studi tentang Percaturan dalam Kon¬stituante:
Islam dan Masalah Kenegaraan,( Jakarta: LP3ES, 1985. )
Amirsyahruddin, Integrasi Imtaq dan Iptek dalam PandanganDR. H.
Abdullah Ahmad, (Padang: Syamza, 1999. )
Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertaruangan Ideologis Partai-Partai Islam
Versus Partai-Partai Sekuler,(Jakar¬ta: Darul Falah, 1419 H.)
Anwar Harjono, Dkk., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.)
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati
Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah, 1999.)
Deliar Noer,Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1980.)
Endang Saifuddin Anshari,A. Hassan Wajah dan Wijhah seor¬ang Mujtahid, (Bandung: Firma Al- Muslimun, 1984. )
------------, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Jakarta: Rajawali, 1983.)
Hamid Basyaib-Hamid Abidin, Mengapa Partai Islam Kalah?
ADVERTISEMENT
Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu '99 sampai
Pemilihan Presiden, (Jakarta: Alvabet, 1999.)
M. Natsir, dihimpunkan oleh D.P. Sati Alimin ,Capita Selec¬ta, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.)
----------------, Capita Selecta(2), (Jakarta: Pustaka Pendis, 1957.)
----------------, Islam sebagai Dasar Negara: Pidato Moh. Natsir dalam
Sidang Pleno Konstituante pada Tang¬gal 12 Nopember 1957,
(Tanpa Tempat, Nama dan TahunTerbit).
-----------------,Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah,
1987.)
Majalah BulananMedia Dakwah, Rajab 1415/Januari 1995.
Majalah BulananSuara Masjid, Pebruari 1993.
Majalah Harmonis, No. 43, Maret 1993.
Mohammad Nahar Nahrawi dalam Seri Monograf Agama dan Peru¬bahan
Sosial, "Memahami Pemikiran-Pemikiran Muham¬mad Natsir
tentang Islam dan Pembaharuan Masyara¬kat", (Jakarta:
Departemen Agama, 1979.)
Mahmud Yunus,Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara,
ADVERTISEMENT
1979. )
"Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M. Natsir" , Lukman
Hakim 1993.
Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir/Mohammad Roem 70
Tahun, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-Kenangan
Kehidupan dan Perjuangan, (Jakarta: Pustaka Antra, 1978.)
Siddiq Fadzil, dalam Seminar Pemikiran Muhammad Natsir,"
Muhammad Natsir Ahli Politik dan Negarawan",
(Kualalumpur: Kerjasama Angakatan Belia Islam Malaysia
(ABIM) dengan Institut Kajian asar Uni¬versiti Islam
Antarbangsa, 1993.)
Sahar L. Hasan, Dkk.,Memilih Partai Islam: Visi, Misi danPersepsi,
(Jakarta: Gema Insani, 1998.)
Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani,
1999.)
#Mohammad Natsir #Soekarno #Pemikiran #Islam #