news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Mendampingi Istri Melahirkan di Austria (Bagian 2)

Shohib Masykur
Sebelum semesta ada kata.
Konten dari Pengguna
27 November 2020 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shohib Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ibu baru melahirkan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ibu baru melahirkan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Musim dingin membuat pagi lebih lambat datang. Kami menunggu dengan perasaan tegang. Satu jam lewat, dua jam berlalu. Rintihan Vina makin keras, bahkan berubah jadi erangan. Saya berdoa semoga semua baik-baik saja. Semoga prosesnya lancar tanpa kendala.
ADVERTISEMENT
Sampai pada satu titik, cairan bercampur darah mengalir membasahi pahanya. Kami putuskan untuk tidak lagi menunggu. Saya hubungi lagi Magalie untuk mengabarkan bahwa ketuban sudah pecah, sambil bergegas menyiapkan koper dan mengenakan baju hangat.
Di ujung telepon Magalie mengatakan dia akan segera meluncur ke rumah sakit dan memberi tahu ginekologis kami, Dr. Kucera. Kami diminta berangkat duluan.
Tanpa membuang waktu saya bawa Vina ke rumah sakit. Hawa dingin langsung menyergap begitu kami keluar pintu. Hari masih gelap, namun langit tampak cerah. Jalanan bersih tanpa salju.
Aneh benar musim dingin kali itu. Tak sekalipun salju turun. Namun hawa dinginnya tetap bisa membuat tubuh menggigil. Anehnya, entah karena panik atau sebab lain, saya tidak begitu merasa dingin.
ADVERTISEMENT
Hanya butuh tiga menit untuk mencapai rumah sakit. Selain dekat, jalanan juga lengang. Mobil saya melaju nyaris tanpa hambatan. Namun tiga menit itu terasa sangat lama. Sepanjang jalan Vina tak henti-hentinya mengerang.
Di lobi rumah sakit, kami disambut oleh petugas resepsionis—seorang laki-laki separuh baya yang tampak sedikit mengantuk. Kepadanya saya sampaikan bahwa istri saya akan segera melahirkan.
Mulanya dia menyodorkan formulir untuk diisi. Namun rintihan Vina membuatnya sadar bahwa dia tengah berhadap dengan kondisi emergensi. Akhirnya kami diarahkan langsung menuju bagian persalinan di mana dua suster tengah berjaga.
Para suster itu tampaknya telah sangat terbiasa menghadapi situasi semacam itu. Mereka bergerak sigap tapi tidak terburu-buru. Ketenangan mereka membuat saya kesal tapi sekaligus tenang.
ADVERTISEMENT
Kesal karena sepertinya mereka tidak memahami kepanikan saya, tenang karena saya tahu Vina berada di tangan yang tepat. Saya papah dia ke ruang bersalin. Sambil menahan sakit Vina merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Dengan terbata-bata dia meminta supaya diberi epidural. Tak tahan lagi dia dengan rasa sakit yang teramat sangat. Suster memeriksa keadaannya sebentar. Lalu dengan wajah tercengang dia sampaikan bahwa sudah terlambat untuk memberinya epidural. Mulut rahimnya telah terbuka penuh.
Butuh beberapa saat bagi saya untuk mencerna keterangan itu. Bukankah Magalie bilang butuh berjam-jam dari sejak pembukaan pertama hingga persalinan? Cerita-cerita yang saya dengar juga membawa pesan bahwa proses pembukaan membutuhkan waktu lama, bahkan bisa sehari lebih.
Vina baru mulai merasakan sakit yang tak bisa dia tahan dua jam lalu. Lantas kenapa pembukaannya sudah penuh? Sungguh saya tak mengerti. Antara panik dan bingung, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Memberinya epidural sudah terlambat. Namun tanpa epidural Vina terlihat kesulitan menahan rasa sakit.
ADVERTISEMENT
Saya mencoba menenangkan Vina seraya berharap Magalie dan Dr. Kucera segera datang. Saya genggam tangannya erat-erat. Saya elus-elus kepalanya yang penuh keringat. Saya berdoa semoga prosesnya tidak lama. Tak dapat saya bayangkan Vina harus menderita lebih lama lagi.
Setengah jam kemudian Magalie datang. Seperti biasa, dia bertindak cekatan. Dia tenangkan Vina yang sedang mengerang kesakitan. Dipeluknya Vina sambil membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja. Dalam pelukannya Vina tampak lebih tenang. Hanya dengan melihatnya rasa panik saya telah banyak berkurang.
Magalie bicara dengan suster dalam bahasa Jerman. Entah apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian dia keluar lalu kembali lagi bersama seorang laki-laki yang membawa peralatan berupa selang dan jarum. Kepada saya, Magalie katakan bahwa eipidural akan digunakan.
ADVERTISEMENT
Namun ada efeknya, yaitu proses kelahiran bisa jadi akan lebih lama karena Vina akan menjadi mati rasa dan kemampuannya untuk mendorong bayi berkurang. Rasa sakit membuat Vina tak peduli hal lain. Dia tetap ingin diberi epidural.
Jarum berukuran besar ditusukkan ke tulang belakang sebagai pintu masuk untuk selang kecil guna menghantarkan obat anestesi. Vina mengerang ketika jarum itu ditusukkan. Nyeri saya membayangkan sakitnya. Tapi sepertinya rasa sakit karena kontraksi melebihi rasa sakit karena suntikan itu.
Tak lama kemudian Vina tampak lebih tenang. Daya obat mulai bekerja. Sungguh ajaib, rasa sakit yang menjadi-jadi itu berhasil ditindas oleh obat ciptaan manusia. Anestesi adalah salah satu temuan paling penting dalam peradaban manusia. Siapapun yang menciptakannya layak mendapat pahala yang tak putus-putus.
ADVERTISEMENT