Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'Pintu Surga' Itu Bernama Hallstatt
12 November 2020 14:09 WIB
Tulisan dari Shohib Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Andai di dunia ada surga, pastilah Hallstatt menjadi pintu masuknya. Di hadapannya kita akan merasa kecil sekaligus besar—kecil karena merasa tidak pantas untuk menikmati keindahan yang begitu agung, besar karena pesonanya memantik imajinasi tak terbatas yang membuat kita lupa sedang berpijak di bumi manusia.
ADVERTISEMENT
Mereka yang religius akan beranggapan Hallstatt adalah anugerah Tuhan untuk memanjakan makhluk-Nya. Mereka yang puitis akan memujanya sebagai sumber inspirasi untuk meraut aksara. Mereka yang romantis akan terobsesi untuk menjadikannya lokasi memadu cinta.
Hallstatt, tempat kita bisa melihat awan bercumbu dengan air disaksikan gunung itu, serupa semesta tersendiri yang tak selayaknya menjadi bagian dari planet yang terancam musnah oleh pemanasan global ini.
Saat aku mengunjunginya di penghujung musim dingin beberapa saat silam, Hallstatt sedang cantik-cantiknya. Waktu itu hawa sudah mulai hangat. Tak ada lagi angin dingin yang menyayat kulit, berganti dengan angin segar yang lembut dan nyaman. Timbunan salju belum sepenuhnya luruh dari ujung pohon dan bebatuan yang berderet di sepanjang gunung di sekeliling danau. Saat sinar matahari sesekali menghampiri, deretan warna putih itu memantulkan kilau yang membuat mata silau.
ADVERTISEMENT
Air danau menjadi cermin yang nyaris sempurna memantulkan refleksi benda-benda di atasnya. Hanya sesekali ketika angin berhembus, bayangan itu tampak kabur untuk kemudian menjadi jernih kembali setelah angin berlalu. Hampir tak ada benda apa pun yang mengotori danau. Aku membayangkan ikan-ikan yang bermukim di dalamnya pastilah ikan-ikan yang bahagia, semacam Nemo dan Dory yang selalu antusias memulai hari dan berburu tantangan baru (aku tahu mereka tidak tinggal di danau, ini hanya contoh saja).
Tak banyak detail yang bisa kukenang dari tempat itu selain keindahannya. Aku tidak begitu ingat apakah ada banyak turis yang datang ke sana, atau cenderamata apa saja yang dijual di toko-tokonya. Semua perhatianku habis tersedot oleh kecantikan alami di hadapanku yang membuat majas hiperbola kehilangan relevansinya. Rasanya tidak adil mengalihkan perhatian dari kecantikan transendental itu hanya untuk menengok hal-hal yang profan.
ADVERTISEMENT
Lagi pula, apa peduliku tempat itu dikunjungi banyak turis atau tidak? Keperluanku hanya untuk menikmatinya, bukan memikirkannya. Belakangan baru aku tahu sesungguhnya tidak sedikit turis yang berkunjung ke sana. Dengan jumlah penduduk tak mencapai seribu, turis yang datang saban hari melebihi sepuluh ribu. Semua tak lepas dari film Frozen yang masyhur di seantero jagat dan digandrungi anak-anak dan remaja putri itu. Konon latar Frozen terinspirasi oleh tempat ini.
Maka tak heran jika ribuan pelancong dari berbagai suku bangsa berbondong-bondong datang menengoknya serupa gerombolan laron yang mengerubungi lampu selepas hujan. Teknologi telah membuat hampir tidak ada sudut di muka bumi yang terlepas dari perhatian manusia. Terlebih Hallstatt bukanlah tempat yang sulit dijangkau. Hanya perlu tiga setengah jam perjalanan mobil dari ibu kota Austria untuk mencapainya. Dari bandara Salzburg lebih dekat lagi, hanya satu jam. Kemudahan akses ini menjadikannya tempat wisata yang ideal.
Begitu membludaknya pelancong yang datang sampai-sampai penduduk lokal kewalahan. Mereka merasa terasing di tanah sendiri. Harga-harga yang semula murah jadi mahal. Manfaat ekonomi yang diperoleh dengan membanjirnya turis rupanya dibarengi dengan mudarat ekonomi yang lain. Sementara di negeri lain para pemimpinnya melakukan segala daya untuk mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya, di Hallstatt, pintu surga dunia itu, pemimpinnya justru berupaya menguranginya untuk mencari titik keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Jika ada yang kusesali dari kunjunganku ke Hallstatt, maka itu adalah durasinya yang terlalu singkat. Aku bahkan tak sempat mendatangi tambang garam tertua di dunia yang konon berusia hampir 3000 tahun itu. Berbagai sumber memang menyebutkan bahwa Hallstatt telah menjadi pusat kegiatan ekonomi sejak era Zaman Besi di Eropa pada abad delapan sebelum Masehi.
Membayangkan bahwa tempat itu telah dihuni manusia sejak ribuan tahun lalu membuatku sesak napas. Gunung dan danaunya pastilah masih yang itu-itu juga, sedangkan manusianya telah berganti entah berapa ribu kali. Dari sudut pandang gunung dan danau, manusia sejatinya hanyalah penghuni sementara bumi. Namun penghuni sementara itu telah menimbulkan kerusakan yang tak terperi. Aku seperti melihat gunung dan danau tersedu. Rupanya hujan mulai turun.
ADVERTISEMENT
Wina, 12 November 2020