news-card-video
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Revolusi Hidup Sehat

Shohib Masykur
Sebelum semesta ada kata.
1 Maret 2025 10:38 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shohib Masykur tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hidup sehat. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hidup sehat. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tulisan ini saya buat saat orang-orang yang saya kenal dekat tengah menderita sakit berat. Ada yang sakit jantung, paru-paru, stroke, diabetes, bahkan ada yang belum lama ini meninggal karena kanker. Mereka belum terlalu tua, 50-an, usia yang seharusnya masih cukup produktif.
Jika terjadi beberapa tahun lalu, saya akan menganggapnya sebagai kejadian biasa. Adalah jamak orang semakin tua lalu sakit dan meninggal, apa pun penyakitnya. Mayoritas orang pada umumnya begitu.
Ketika mendengar kabar teman meninggal karena sakit, saya membawa pemikiran naif bahwa apa yang mereka alami tidak akan saya alami, setidaknya dalam waktu dekat. Jika pun saya alami, itu akan terjadi kelak setelah saya renta dan tidak perlu saya pikirkan sekarang.
ADVERTISEMENT
Jika yang meninggal masih muda, saya akan berpikir itu adalah pengecualian, karena pada umumnya orang mati setelah tua. Pemikiran itu akan menjadi hiburan bagi saya di tengah kesedihan kehilangan teman, disertai harapan bahwa saya tidak termasuk ke dalam pengecualian.
Namun belakangan pola pikir saya berubah. Setelah membaca beberapa literatur tentang kesehatan, saya sadar bahwa penyakit bisa datang kapan saja tak peduli usia. Bisa jadi kita merasa sehat tapi sebetulnya tubuh menyimpan penyakit. Kita tidak sadar karena tidak rutin memeriksakan kesehatan secara komprehensif. Ditambah lagi, prosedur atau alat diagnosis yang kita gunakan belum tentu akurat (Saya punya pengalaman pribadi terkait ini).
Begitu manusia dilahirkan, ada fungsi dalam tubuhnya yang terus menurun dan tak pernah kembali. Misalnya kelenturan sendi. Tapi ada juga fungsi yang meningkat hingga usia tertentu, umumnya 30-an, lalu turun seiring penuaan. Contohnya massa otot. Semakin tua semakin cepat turunnya. Penurunan itu disertai dengan munculnya berbagai penyakit yang dapat berujung pada kematian.
ADVERTISEMENT
Cepat atau lambatnya penurunan itu dipengaruhi oleh dua faktor utama: Genetik dan gaya hidup. Para ahli berpandangan gaya hidup berperan lebih penting dibanding genetik. Ungkapan yang sering digunakan adalah “genetics loads the gun, but lifestyle pulls the trigger.”
Faktor genetik ibarat peluru, dan gaya hidup adalah pemantiknya. Semakin dini gaya hidup sehat diterapkan, semakin lambat proses penurunan, dan semakin besar harapan untuk berumur panjang. Namun di usia berapa pun gaya hidup sehat dimulai, manfaatnya tetap tak terbantahkan.
Dari berbagai literatur itu, saya jadi tahu bahwa trajektori tua-sakit-mati bukanlah garis lurus. Orang bisa saja makin tua dan tetap sehat, bahkan makin sehat, dengan intervensi tertentu. Meski pada akhirnya tetap mati, namun penyakit yang mendahuluinya bisa ditunda sedekat mungkin dengan kematian sehingga tidak perlu menderita berkepanjangan.
ADVERTISEMENT
Di sini kita bicara tentang lifespan (Rentang hidup) vs healthspan (Rentang sehat). Lifespan adalah berapa lama kita hidup, terlepas dari kondisi kesehatan yang kita miliki. Sedangkan healthspan adalah berapa lama kita tetap sehat menjalani hidup. Kedua hal ini saling berkaitan—semakin panjang healthspan, kemungkinan semakin panjang pula lifespan.
Kita juga bicara tentang chronological age (Usia kronologis) vs biological age (Usia biologis). Usia kronologis adalah umur manusia secara faktual dihitung sejak kelahiran. Usia ini berjalan maju dalam garis lurus, terus bertambah tiap tahun. Sementara usia biologis adalah umur manusia ditinjau dari fungsi tubuhnya pada level sel. Parameter yang digunakan bermacam-macam, seperti panjang telomer, massa otot, dan vo2 max.
Berbeda dengan usia kronologis, usia biologis bisa berjalan mundur. Sementara usia kronologis makin tua, bisa saja usia biologis justru makin muda hingga batas tertentu karena perubahan gaya hidup. Saya jadi ingat Brad Pitt dalam film The Curious Case of Benjamin Button.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang rentang hidupnya panjang, tapi di usia tuanya sakit-sakitan, tidak produktif, dan merepotkan orang-orang sekitar. Padahal tidak harus seperti itu. Dengan pola hidup yang benar, orang bisa tetap penuh vitalitas di usia tua. Ketika kematian akhirnya datang, prosesnya terjadi lebih cepat dan, setidaknya secara kasat mata, tampak lebih lancar.
Namun yang lebih menyedihkan dari sakit-sakitan di usia tua adalah sakit-sakitan di usia muda. Sekarang banyak anak-anak yang harus menjalani cuci darah lantaran gaya hidup tidak sehat. Sekilas, masyarakat kita tampak jadi lebih sakit dibanding dulu.
Meski angka harapan hidup meningkat, namun peningkatannya menjadi tidak terlalu signifikan jika kematian akibat penyakit menular dikeluarkan dari perhitungan. Artinya, kemampuan manusia mencegah kematian akibat penyakit menular diimbangi dengan meningkatnya kematian akibat penyakit tidak menular—yang notabene sangat dipengaruhi gaya hidup. Mengapa demikian?
Ilustrasi Tidur dengan penutup mata dan mulut. Foto: Sevda Ercan/Shutterstock
Kesimpulan saya ada dua level penjelasan: Sistem dan individu. Pada level sistem, kita menghadapi tantangan sistemik yang membuat gaya hidup sehat semakin sulit dijalani, mulai dari polusi, industri dan sistem makanan, teknologi, pendidikan, tradisi, sistem kesehatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Hidup manusia modern memang semakin nyaman. Tapi kenyamanan itu datang dengan harga mahal. Jika mau ke warung saja naik motor, mau makan tinggal pesan delivery, kapan badan dipakai gerak? Semakin sedikit gerak, semakin cepat fungsi tubuh menurun. Maka muncullah istilah comfort crisis atau krisis kenyamanan.
Belum lagi makanan yang dipesan penuh zat pemicu inflamasi. Tengoklah makanan di sekitar yang dikemas menarik dan berjejer rapi di minimarket atau warung kelontong langganan. Berapa banyak yang dapat membawa petaka, berlindung di balik rasa manis dan gurih namun sejatinya menyimpan zat berbahaya?
Pada level individu, pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya hidup sehat juga sangat rendah. Meski sejak kecil diajari men sana in corpore sano, tapi kita tidak benar-benar meresapinya, hanya sebatas ungkapan klise di bangku sekolah. Kita tumbuh menjadi pribadi yang malas olah raga dan makan semaunya.
ADVERTISEMENT
Semakin dalam saya menyelami literatur, semakin saya menyadari berbagai kemungkinan yang selama ini tidak pernah saya bayangkan. Misalnya, orang sudah mulai bicara tentang longevity escape velocity, situasi di mana kemajuan teknologi kesehatan dan pengobatan terjadi sedemikian pesat hingga dapat menambah umur manusia sampai batas yang tidak ditentukan.
Dalam longevity escape velocity, kemajuan teknologi dan pengobatan selama satu tahun dapat menambah umur manusia lebih dari satu tahun. Kemajuan itu akan semakin cepat karena perkembangan kecerdasan buatan dan gelontoran dana yang semakin besar.
Ketika dilakukan pertama kali pada tahun 1990, human genome sequencing, sederhananya mengurutkan data di DNA, kita memakan waktu 13 tahun dengan biaya 2,7 miliar USD. Sekarang prosedur serupa hanya perlu satu hari dengan biaya 600 USD. Seturut Wright’s Law, ke depan harganya akan semakin murah.
ADVERTISEMENT
Para pionir di bidang longevity percaya tidak tertutup kemungkinan kelak umur manusia bisa mencapai ratusan tahun. Tentu tidak semua manusia, tapi mereka yang punya komitmen dan akses terhadap teknologi, prosedur dan pengobatan yang menunjang.
“Kelak” di sini mereka artikan tahunan hingga puluhan tahun ke depan. Artinya anak muda sekarang berpotensi mencapainya. Nasihat mereka kepada orang-orang muda: jagalah kesehatan sebaik dan selama mungkin supaya bisa menjumpai longevity escape velocity, maka usia ratusan tahun tidak mustahil dicapai. Mereka bisa menjadi Dorian Gray di dunia nyata, tanpa kutukan yang menyertainya.
Di sini terbentang jurang yang amat lebar. Sementara segelintir orang mengejar hidup panjang menembus batas ketidakmungkinan, mayoritas orang masih berkutat dengan masalah kesehatan mendasar yang membuat sehat di usia tua tampak seperti kemewahan. Seberapa sering kita saksikan orang umur 70 tahun yang masih energik dan produktif? Amat jarang.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah mengejar usia panjang adalah privilege yang hanya dimiliki orang kaya? Tidak juga. Sebagian teknologi, prosedur, dan pengobatan yang dapat menunjang usia panjang memang tidak mudah dijangkau tanpa kekayaan karena mahal atau baru tersedia di segelintir negara, setidaknya untuk saat ini.
Tapi sebagian lagi tidak butuh modal besar, melainkan hanya komitmen dan kemauan. Misalnya kebiasaan sehari-hari menyangkut apa yang kita makan dan gerak badan. Pilihan-pilihan kecil amat menentukan: Sayur atau gorengan, olah raga atau rebahan, tidur atau begadang?
Suasana car free day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (26/1/2025). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Ini membawa saya pada pertanyaan berikutnya: Apa yang bisa saya lakukan untuk mencapai umur panjang dan sehat di usia senja? Sistem sulit diubah karena melibatkan terlalu banyak hal. Yang lebih realistis adalah menyasar level individu: Mengubah diri sendiri. Berbekal pemikiran ini, saya mulai mengevaluasi dan mengubah gaya hidup.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, saya menelisik asumsi dasar mengenai umur manusia dari sudut pandang agama Islam yang saya anut. Apakah benar kematian adalah takdir yang sudah digariskan dan tak dapat diubah? Maksud saya bukan kematiannya itu sendiri, karena saya percaya semua makhluk hidup pasti akan mati, melainkan kapan dan bagaimana cara kematian itu datang.
Ternyata ada berbagai penafsiran dan pendapat ulama mengenai hal ini, termasuk mereka yang percaya bahwa panjang pendeknya umur dapat dipengaruhi oleh tindakan manusia itu sendiri. Di antara tindakan itu adalah menjaga kesehatan, silaturahmi, dan bersedekah.
Dengan pemahaman semacam itu, maka pola pikir fatalis yang kerap kita jumpai di masyarakat, seperti ungkapan “Umur di tangan Tuhan” dan “Kalau sudah takdirnya pasti mati,” bisa diluruskan dengan “Gusti ora sare” alias "Tuhan tidak menutup mata atas upaya yang dilakukan hamba-Nya". Kalau kita berusaha menjaga kesehatan, Tuhan tidak akan mengabaikan upaya itu. Bahkan saya percaya menjaga kesehatan adalah keharusan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang dikaruniakan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Saya juga bertanya pada diri sendiri tentang kehidupan seperti apa yang ingin saya jalani dan cita-citakan. Kesimpulannya, pada akhirnya semua bertumpu pada satu hal, yaitu kesehatan. Tanpa kesehatan, semua cita-cita itu tidak ada artinya.
Ada satu ungkapan yang sangat mengena di hati saya: “Orang sehat punya banyak keinginan, tapi orang sakit cuma punya satu keinginan (untuk sehat).” Segala kesenangan duniawi jadi tawar tanpa kesehatan.
Jika demikian, apakah kita akan mengorbankan kesehatan demi hal-hal yang tidak lebih penting? Tentu bukan langkah bijaksana. Jika orang sibuk kerja hingga lupa atau tak sempat olah raga, maka ada dua kemungkinan: Prioritas hidupnya yang salah atau dia bekerja di tempat yang salah. Sesederhana itu. Health is the new wealth.
ADVERTISEMENT
Saya yakin semua orang ingin sehat. Namun ironisnya, hanya sedikit yang mau melakukan upaya lebih untuk menjaga kesehatan. Mayoritas orang terjebak pada status quo bias, berpikir bahwa karena sekarang mereka sehat maka seterusnya akan tetap sehat.
Pola pikir ini membuat mereka malas melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk menjaga kesehatan. Toh masih muda dan sehat, buat apa olah raga, menjaga pola makan, tidur cukup, dan berhenti merokok dan konsumsi alkohol? Mereka lupa, atau pura-pura lupa, bahwa kesehatan itu bisa pergi sewaktu-waktu tanpa peringatan. Jika tidak secara proaktif dijaga, kesehatan rawan hilang.
Ilustrasi makanan sehat. Foto: ME Image/Shutterstock
Penelusuran literatur membawa saya pada kesimpulan tentang langkah-langkah sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperlambat penurunan fungsi tubuh dan menjaga kesehatan. Saya merangkumnya ke dalam empat pilar, yaitu pola makan, pola gerak, pola tidur, dan pola pikir.
ADVERTISEMENT
Pola makan adalah tentang apa, kapan, dan bagaimana kita makan. Misalnya, konsumsi gula dan karbo perlu dibatasi, sementara protein diprioritaskan. Intermittent fasting bermanfaat untuk meregulasi hormon, meningkatkan sensitivitas insulin, dan membersihkan sel-sel rusak (autophagy). Urutan makan juga dapat mengendalikan lonjakan gula darah: Sayur, protein, lalu karbohidrat.
Pola gerak adalah tentang keaktifan mengolah tubuh lewat gerakan. Di sini kita bicara bukan hanya tentang olah raga (Angkat beban dan kardio), tetapi juga keaktifan tubuh untuk bergerak. Ada ungkapan yang mengatakan “sitting is the new smoking”—terlalu lama duduk ternyata buruk bagi kesehatan (Apalagi merokok sambil duduk!). Maka interrupted sitting, duduk yang sebentar-sebentar diselingi berdiri dan jalan, sangat dianjurkan. Namun di antara semuanya, yang paling penting adalah membangun massa otot yang oleh ahli disebut sebagai organ of longevity.
ADVERTISEMENT
Pola tidur adalah menjaga kualitas dan kuantitas tidur harian. Tidur nyenyak tanpa gangguan 7-8 jam per hari adalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Saat tidur itulah proses pemulihan fungsi tubuh terjadi. Korelasi antara kurangnya tidur dengan berbagai penyakit mematikan telah banyak dikaji. Bahkan ada ahli yang mengatakan “Semakin pendek tidur, semakin pendek umur.” Maka anggapan bahwa tidur identik dengan kemalasan harus disingkirkan jauh-jauh.
Pola pikir berkaitan erat dengan kesehatan mental. Bagaimana kita menghadapi masalah dan mengelola stres berdampak besar bagi kesehatan. Kata orang Jawa sumeleh, alias segala persoalan dibawa santai. Banyak studi menunjukkan orang bahagia memiliki peluang lebih besar untuk hidup sehat dan umur panjang. Tapi jangan lantas berkilah bahwa makan semaunya, malas gerak, dan begadang membuat hidup lebih bahagia.
ADVERTISEMENT
Empat pilar ini akan semakin komplit jika ditambah konsumsi suplemen sesuai kebutuhan. Namun karena suplemen kompleks dan biayanya tidak murah, bagi kebanyakan orang empat pilar itu adalah langkah realistis yang bisa dilakukan. Dan bagi mereka yang percaya, silaturahmi dan sedekah bisa diutamakan untuk menunjang usia panjang. Jika dipikir-pikir masuk akal juga, karena dua hal ini bisa mendatangkan rasa bahagia.
Apakah setelah menjalankan empat pilar itu ada jaminan kita hidup sehat dan umur panjang? Tentu tidak. Tapi secara logika peluangnya semakin besar. Di sinilah kita perlu rendah hati dan berserah diri pada Tuhan. Pasrah setelah ikhtiar dan pasrah tanpa ikhtiar tentu beda kelas. Pilihan ada di tangan kita mau masuk kelas yang mana. Semoga Ramadan tahun ini dapat menjadi momentum pribadi kita untuk memulai revolusi hidup sehat.
ADVERTISEMENT