Tentang Meninggalkan atau Ditinggalkan

Shohibul Fadhilah
Mahasiswi di Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Konten dari Pengguna
7 Juli 2021 16:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shohibul Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Takdir memang tidak semuanya sesuai keinginan kita. Manusia hanya ada dua kemungkinan yaitu meninggalkan atau ditinggalkan. Takdir yang sudah ditetapkan Allah kita harus menerimanya. Tetapi manusia tentang kehilangan kemudian membuat kesimpulan masing-masing. Misalnya masalah kehilangan. Entahlah, tapi saya meyakini bahwa setiap manusia mana pun akan sedih, takut, dan juga bertanya kenapa takdir begitu kejam mengambil orang yang disayang. Tidak bisakah Engkau memberi kesempatan padanya untuk lebih lama lagi di dunia?
ilustrasi kehilangan. sumber: shutterstock
Tidak bisakah Engkau sembuhkan saja sakitnya dan bukan malah memanggilnya kembali kepada-Mu.
ADVERTISEMENT
Kakak sepupu saya sedang hamil 8 bulan. Pada saat itu dia, suami dan anaknya tidak enak badan. Dipikir kak sepupu saya, penyakit tipesnya kambuh. Namun, di rumah mereka masih enak untuk makan maupun minum, tetapi badan lemas. Sudah 5 hari sakit, akhirnya kakak sepupu saya memutuskan untuk pergi ke klinik agar badan terasa lebih enak diantar sang suami.
Setelah periksa di klinik, ternyata kakak saya dirujuk ke rumah sakit sesuai KK atau asal tempat tinggalnya yaitu Batang, Jawa Tengah tetapi dari klinik di Semarang tidak boleh mampir ke rumah, harus ke rumah sakit saja. Kakak saya mengikuti rujukan dari klinik.
Setelah mencari-cari rumah sakit banyak yang penuh, akhirnya ada satu rumah sakit yang bisa menerima pasien. Keadaan kakak sepupu saya semakin lemas dan wajah semakin pucat, yang dirasakan pusing dan seperti orang tipes biasanya.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, keadaan semakin lemas, dan kakak sepupu saya akan dipindahkan ke ruang ICU tetapi menunggu untuk dicarikan rumah sakit yang masih menyediakan ruangan tersebut. Di masa pandemi seperti sekarang ini, dengan terpaksa mengharuskan pasien untuk diisolasi dan artinya tidak boleh ada yang menemani.
Setelah maghrib, suami kakak sepupu saya mendapat kabar dari pihak rumah sakit ternyata kakak sepupu saya kondisinya kritis, saturasinya semakin menurun, tetapi bayi yang dikandungan masih aktif. Tidak lama kemudian, setelah isya kakak sepupu saya meninggal.
Hanya beberapa anggota keluarga yang datang ke rumah sakit untuk melihat wajah terakhir kakak sepupu saya, tetapi apa daya ada SOP yang dipatuhi yaitu hanya diperlihatkan foto-foto jenazah pada saat dikafani saja lalu foto tersebut langsung dihapus. Dan pada hari sebelum dimakamkan, kami sekeluarga hanya bisa diperbolehkan melihat peti di kamar mayat. Pada masa pandemi seperti ini akhirnya jenazah dimakamkan sesuai protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Pada malam itu orang-orang silih berganti datang ke rumah, turut berduka. Siapa yang tidak menangis melihat anak pertamanya si Fathan yang masih berumur 5 tahun. Jika orang lain saja seolah-olah tidak percaya atas kepergian kakak sepupu saya, bude dan pakde? Kami dengan sangat berat hati waktu itu merelakan kepergiannya. Ikhlas, enam huruf mudah diucapkan tetapi sulit dilakukan. Meneguhkan hati menerima segalanya.
Satu-satunya hal yang menguatkan saya adalah karena saya meyakini seluruh takdir ini adalah kehendak-Nya. Takdir terbaik tidak mungkin salah. Meskipun berarti saya, bude, pakde, suami, anaknya, dan juga adik adiknya harus menjadi pihak yang ditinggalkan.
Semua orang pasti pernah kehilangan sesuatu yang berharga. Ada yang kehilangan orang tuanya, kehilangan anak, kehilangan kekasihnya, kehilangan pekerjaan, kesempatan, kepercayaan, dan lain-lain. Tetapi, kita tidak sedang berlomba mana yang lebih menyakitkan. Semua kehilangan itu menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Meskipun dalam beberapa kesempatan saya masih senang berandai-andai, "jika saja…". Tapi ya sudah sewajarnya pihak yang ditinggalkan memang banyak mempertanyakan. Saya masih belajar untuk benar-benar menemukan makna ‘ikhlas’. Meskipun mungkin saya tidak akan pernah tau dan saya memang terlalu tumpul untuk benar-benar memahaminya.
Apapun bentuk kehilangan itu, ketahuilah, cara terbaik untuk memahaminya selalu dari sisi yang pergi!!! Bukan dari sisi yang ditinggalkan. Kalau kau memaksakan diri memahaminya dari sisimu, maka kau akan mengutuk Tuhan, hanya mengembalikan masa-masa gelap itu. Bertanya apakah belum cukup penderitaan yang kau alami! Bertanya mengapa Tuhan tega mengambil kebahagiaan orang-orang baik, dan sebaliknya memudahkan jalan bagi orang-orang jahat. Kau tidak akan pernah menemukan jawabannya, karena kau dari sisi yang ditinggalkan.' –rembulan tenggelam di wajahmu, darwis tere liye.
ADVERTISEMENT