Kampung Miliarder Jatiyoso, tentang Ruang dan Bentang Sosiokultural

Shubuha Pilar Naredia
Sosiologi FISIP UNS Praktisi Mentari Sehat Indonesia
Konten dari Pengguna
9 November 2023 13:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi miliader. Foto: jesterpop/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi miliader. Foto: jesterpop/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mendengar kata miliarder, erat kaitannya dengan penamaan kondisi sosial seseorang yang berada dalam kondisi melimpah ruah dari sisi kekayaannya. Miliarder melekat erat pada situasional dengan asumsi dasar yang berhubungan dengan aspek kemampuan finansial.
ADVERTISEMENT
Seseorang disebut miliarder dikarenakan pandangan dari orang lain yang menganggap bahwa orang tersebut memiliki kemampuan finansial lebih tinggi bahkan cenderung melebihi rata-rata kemampuan orang lain pada umumnya.
Dilansir BBC (2011), dalam buku Richistan, reporter Wall Street Journal, Robert Frank; menyimpulkan bahwa terminologi miliarder sering kali didefinisikan melekat pada kondisi ekonomi orang kaya, hal ini bersifat subjektif dan biasanya dua kali lipat kekayaan bersih mereka saat ini melebihi kekayaan orang-orang di sekitarnya. 
Beberapa orang akan mendefinisikan kaya sebagai memiliki lebih banyak uang daripada yang dibutuhkan untuk hidup, namun definisi kebutuhan pada masyarakat hari ini tentulah sangat bervariasi. Berdasar penjabaran tersebut, maka miliarder dipandang melekat erat secara subjektif, bagaimana jika pandangan tersebut dilekatkan pada konteks kolektif?
ADVERTISEMENT
Misalnya pada fenomena Kampung Miliarder yang ada di Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tentunya akan menjadi menarik karena fenomena ini sebagai indikasi adanya kontradiksi atas sifat dasar terminologi miliarder sebagai subjektivitas yang mengubah wajah dirinya menjadi kolektivitas atas nama identitas kolektif yaitu kampung.
Membuat Batik di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Anggita Aprilyani/kumparan
Kampung sebagai unit pemukiman yang lebih kecil dibanding desa bahkan kota/kabupaten, dewasa ini sering dikenal oleh masyarakat dengan berbagai identitas yang melekat padanya. Sebut saja misalnya ada Kampung Batik, Kampung Santri, Kampung Pancasila, dan kampung-kampung lainnya yang memiliki identitas diri sebagai fungsi komunikasi.
Penegasan identitas tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara seperti mengubah aspek fisik wajah kampung hingga aktivitas sosio kultural yang ada di dalam masyarakatnya. Inilah yang nampaknya terjadi pada Kampung Miliarder di Jatiyoso.
ADVERTISEMENT
Sebagai kawasan yang mayoritas pada awalnya dikenal sebagai kawasan pertanian, terdapat suatu kampung/desa yang dikenal sebagai Kampung Miliarder oleh masyarakat sekitar pasca terdampak pembangunan Mega Proyek Bendungan Jlantah.
Dikutip dari pu.go.id, Pembangunan Bendungan Jlantah di Karanganyar difungsikan sebagai sumber irigasi, sebagai sumber air baku dengan kapasitas sebesar 150 liter/detik. Dan dapat mereduksi banjir sebesar 51, 26 % atau 70, 33 m3/detik untuk Q50.
Keberadaan Bendungan Jlantah nantinya diharapkan mampu mengairi 1.494 ha area persawahan di kawasan Jatipuro, Jatiyoso, dan Jumapolo serta kawasan pertanian lainnya di wilayah Kabupaten Karanganyar. Melihat potensi keberfungsian yang sangat besar tersebut, sampai dengan tahun 2023 ini pembangunan Bendungan Jlantah masih terus dilakukan melalui strategi percepatan dan pengawasan berkala.
Ilustrasi pembangunan kota. Foto: REUTERS/Maxim Shemetov
Pembangunan Mega Proyek tersebut tentu dalam prosesnya memiliki dinamika sosio kultural yang menarik untuk dikaji lebih dalam mulai dari pembebasan lahan, kompensasi warga yang lahannya terdampak, hingga perubahan-perubahan sosio kultural masyarakat lokal sebagai konsekuensi atas pembangunan infrastruktur besar di kawasan pedesaan.
ADVERTISEMENT
Sebut saja misalnya kemunculan Kampung Miliarder di Jatiyoso, hal ini lantaran di wilayah tersebut mulai bermunculan rumah-rumah mewah dan megah yang ditaksir pembangunannya lebih dari angka satu miliar rupiah. Rumah-rumah itu nampak dibangun dengan arsitektur modern serta berukuran cukup besar dan sebagian berlantai dua dengan balkon di bagian depan yang disangga pilar-pilar.
Tersedia juga carport atau garasi untuk mobil. Rumah-rumah mewah tersebut hadir hampir secara bersamaan, bahkan banyak di antara warga sekitar yang menganggap pemilik rumah-rumah mewah itu mendapat keberuntungan yang tidak pernah disangka sebelumnya.
Kepala Dusun (Kadus) Bondukuh, Agung Nugroho, menerangkan bahwa pemilik rumah-rumah megah dan mewah tersebut adalah orang-orang Desa Tlobo dan Karangsari yang rumahnya atau tanahnya tergusur Proyek Bendungan Jlantah kemudian mereka mendapatkan uang ganti rugi yang digunakan untuk membangun rumah baru di daerah Dusun Bondokukuh.
ADVERTISEMENT
Senada dengan hal tersebut, Kepala Dusun Winong, Sutino mengatakan bahwa setidaknya ada 34 keluarga yang sudah atau sedang mengurus kepindahan status kependudukan mereka ke wilayah Kecamatan Jatipuro, mereka memilih Winong dan Bondukuh karena tidak terlalu jauh dari daerah asal serta lokasinya strategis karena di pinggir jalan menuju Bendungan Jlantah dan tentunya dipandang lebih nyaman daripada lokasi lain di Jatiyoso.
Ilustrasi Pemukiman. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Fenomena semacam itu jika ditinjau dari kacamata sosiologi tentunya menjadi gambaran tentang bagaimana bentang ruang yang diwujudkan dengan hadirnya bangunan-bangunan megah dan mewah dalam konteks pemukiman, merupakan realitas sosial baru yang ada di kawasan tersebut.
Realitas yang didukung dengan imajinasi sosial tentang harapan hidup lebih nyaman serta lebih indah itulah yang menggiring tindakan sosial dari para warga untuk memilih investasi hunian sebagai solusi atas keberfungsian kompensasi ganti rugi yang dipandang lebih tepat guna.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, mereka mungkin melupakan aspek historis sebagai petani. Ketika uang kompensasi ganti rugi digunakan untuk pembangunan hunian mewah, mereka tidak sadar mulai kehilangan aktivitas pertanian, pada akhirnya merantau dipilih sebagai alternatif penyambung hidup.
Alhasil, di kawasan Kampung Miliarder tersebut, banyak rumah-rumah megah dan mewahnya tak berpenghuni, mayoritas hanya didiami oleh kerabat yang usianya sudah tua. Para pemilik rumah tidak menikmati apa yang sudah dibangun, mereka sibuk mencari rezeki dengan merantau yang kemudian uangnya sebagian disisihkan untuk dikirimkan kepada para kerabat yang bertugas merawat hunian mereka dengan beraktivitas sebagai peternak hewan ternak seperti sapi, kambing, dan ayam.
Folklore setempat yang dulunya lebih banyak menceritakan tentang pola relasi sosial gotong-royong, toleransi, sopan-santun, dan welas asih, kini berganti dengan cerita kemegahan hunian, kerja keras, dan modernisasi kemajuan peradaban.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, dengan hadirnya masyarakat pendatang yang disebut sebagai miliarder oleh warga lokal, menjadikan disparitas semakin terasa di kawasan tersebut terlebih lagi para pemilik rumah-rumah mewah tersebut tidak mendiami rumahnya.
Aktivitas kemasyarakatan pedesaan yang dulunya syarat akan guyub-rukun, gotong-royong, serta mengedepankan toleransi, kini berganti dengan sistem iuran warga. Kehadiran bukan lagi penting, namun iuran lebih dipandang memiliki keberfungsian menggantikan kehadiran.
Kondisi semacam ini jika tidak disadari tentunya menjadi tantangan baru bagi tumbuh kembang desa/kampung dalam membangun dan menegaskan identitas dirinya. Bentang ruang diharapkan tidak berubah wujud menjadi bentang sosio-kultural bagi masyarakat desa/kampung sebagai konsekuensi atas modernisasi yang terjadi di wilayah pedesaan.