Konten dari Pengguna

Konflik Etnis Burundi dan Upaya PBB dalam Menyelesaikannya

Shultan Octadia Cahya
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
16 Januari 2023 20:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shultan Octadia Cahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Artikel ini adalah sebuah opini yang membahas tentang Konflik Etnis Burundi dan Upaya PBB dalam menyelesaikan Konflik di Burundi, Tulisan ini adalah hasil dari kolaborasi Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia, yaitu Ariel Angelo, Aswin Vanesh Riyanto , Gwyneth Edelweyss Magdalena Nibaely, Muhammad Firdaus Rajendra, Rostiana Gomang Narek, Shultan Octadia Cahya, dan Wayan Andreano
ADVERTISEMENT
Kami Membagi menjadi dua bagian yaitu latar belakang Konflik dan Peace Building sebagai cara PBB untuk Menyelesaikan Konflik.
Photo by aboodi vesakaran from Pexels: https://www.pexels.com/photo/burundi-national-flag-13913360/
Burundi terbagi menjadi 3 (tiga) suku yaitu Hutu, Tutsi, Twa memiliki sejarah yang panjang. Namun disini lebih memfokuskan di kedua suku saja yaitu Hutu dan Tutsi. Dimana kaum Tutsi disebut sebagai ganwa yaitu perwakilan kaum raja dan lebih banyak sebagai pemilik tanah dan ternak, sedangkan kaum Hutu mayoritas sebagai petani. Sejak pihak kolonial menguasai Burundi, terdapat perbedaan persepsi antara dua ras tersebut. Pihak Belgia yang saat itu menguasai Burundi lebih memprioritaskan orang Tutsi sebagai kaum elit dibandingkan dengan kaum Hutu. Setelah kemerdekaan Burundi didapatkan pada tahun 1962 di masa kekuasaan Belgia, Burundi mengalami konflik internal di dalam negaranya yang berkepanjangan. Konflik ini terjadi antar etnis dan diakibatkan perebutan kekuasaan karena dari sejarahnya baik Suku Hutu dan Suku Tutsi bukan sebagai penguasa. Tercatat 85 persen rakyat dari Burundi berasal dari Suku Hutu dan sisanya adalah Suku Tutsi sebagai minoritas tapi disisi lain Tutsi memegang penting dalam bidang pemerintahan. Burundi di tahun 1965 melakukan pemilihan legislatif yang seharusnya dimenangkan oleh kaum Hutu dengan meraih 23 dari 33 kursi yang memiliki kesempatan untuk mengambil posisi Perdana Menteri. Namun Raja Burundi saat itu mengangkat perdana menteri dari orang Tutsi dan menjadikan kemarahan di kalangan elit Hutu.
ADVERTISEMENT
Untuk yang pertama kalinya, Burundi di tahun 1993 melakukan pemilihan presiden demokratis dengan perwakilan dari kedua etnis yang ada. Melchior Ndadaye ditetapkan sebagai presiden resmi pertama negara Burundi sekaligus menjadi hal pertama kalau Burundi dipimpin dari kaum Hutu. Hal ini mengakibatkan terjadi transisi di berbagai aspek pemerintahan negara Burundi. Salah satu program yang dilakukan Presiden Ndadaye untuk menstabilkan masalah etnis tersebut, Ia mengambil perwakilan dari Tutsi dalam kabinet pemerintahannya. Selain di pemerintahan, Presiden Ndadaye melakukan reformasi di sektor militer dan membuat kaum Tutsi mengkhawatirkan akan dominasi kekuasaan mereka atas Burundi.
Beberapa bulan kemudian setelah masa kepemimpinan Presiden Ndadaye lebih tepatnya empat bulan terjadi pemberontakan oleh kaum Tutsi. Sekelompok tentara Tutsi melakukan kudeta atas pemerintahan Burundi saat itu dan menewaskan Presiden Ndadaye. Hampir lebih dari 300.000 penduduk Burundi tewas akibat pembunuhan Presiden Ndadaye sebagai pemicunya. Diskriminasi etnis beserta kelas sosialnya yang telah terjadi sebelum masa kemerdekaan Burundi menjadi titik awal akan konflik etnis ini. Perbedaan etnis ini adalh penyebab terbesar dari konflik yang selama ini terjadi di Burundi. Dan akibat dari konflik etnis tersebut, mulai dari sektor politik, ekonomi, sosial terkena yang nyata dan menjadikan rakyat Burundi sengsara.
ADVERTISEMENT
Johan Galtung Menyatakan bahwa sebuah perdamaian harus memiliki struktur yang berbeda ketika konflik, dimana dalam struktur tersebut harus menghilangkan setiap benih konflik baru baik struktur pemerintahan maupun relasi sosial masyarakat. Peace building merupakan upaya untuk menghasilkan kebenaran dan keadilan, upaya untuk menghilangkan kekerasan dalam berbagai bentuk, upaya untuk menghasilkan dialog, interaksi dan relasi positif antara berbagai pihak, serta upaya untuk menghasilkan rekonsiliasi yang sesungguhnya. Peace building merupakan upaya untuk menghasilkan kebenaran dan keadilan, upaya untuk menghilangkan kekerasan dalam berbagai bentuk, upaya untuk menghasilkan dialog, interaksi dan relasi positif antara berbagai pihak, serta upaya untuk menghasilkan rekonsiliasi yang sesungguhnya.
Operasi Perdamaian PBB dilakukan melalui UNOB. berkontribusi dalam perlucutan senjata kelompok pemberontak Burundi melalui program DDR(Disarmament, Demobilization andReintegration) guna untuk mengurangi resiko meningkatnya kembali kekerasan bersenjata serta menciptakan situasi negara yang aman. misi itu dijalankan untuk memastikan dan mengawasi implementasi perjanjian Arusha. Dewan Keamanan PBB kemudian memutuskan bahwa UNOB terdiri atas maksimal 5.650 personel militer, termasuk 200 pengamat, 125 staf perwira, 120 personel polisi UN, serta beberapa personel sipil.
ADVERTISEMENT
Adapun program SSR adalah yang bertujuan untuk membangun dan memperkuat aturan hukum dalam negara pasca konflik melalui reformasi pertahanan militer dan reformasi kepolisian dengan membentuk National Defense Force (NDF). SSR juga melakukan kegiatan pelatihan untuk membekali anggota NDF dengan bantuan dana dari kerjasama Joint Ceasefire Commission, IMF, Bank Dunia dan Lembaga Keuangan Internasional.
Peace building adalah upaya untuk menghasilkan kebenaran dan keadilan, upaya untuk menghilangkan kekerasan dalam berbagai bentuk, upaya untuk menghasilkan dialog, interaksi dan relasi positif antara berbagai pihak, serta upaya untuk menghasilkan rekonsiliasi yang sesungguhnya.dan dengan peran pbb yang mengadakan program SSR serta DDR menurut kelompok PBB hendak menerapkan peace building kepada konflik burundi demi menciptakan perdamaian di burundi
ADVERTISEMENT