Konten dari Pengguna

Apakah Masyarakat Indonesia Bangga terhadap Bahasanya Sendiri?

Fishya Elvin
Mahasiswa Aktif Universitas Padjadjaran
29 Oktober 2021 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fishya Elvin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apakah Indonesia Bangga terhadap Bahasa Sendiri? (Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Apakah Indonesia Bangga terhadap Bahasa Sendiri? (Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Fenomena rendahnya rasa bangga bangsa Indonesia terhadap bahasanya sendiri sebetulnya dapat dilihat tiap seseorang berbicara ataupun menulis, dimana penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sukar untuk ditemui.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak? Segelintir orang juga ditemukan lebih banyak menggunakan bahasa asing ataupun bahasa slang yang perlu ditinjau kembali dalam sehari-harinya, dibandingkan bahasa tanah air mereka sendiri. Ketika membeli sesuatu, maka orang-orang akan memilih produk yang berbahasa asing. Hal tersebut berlaku pada setiap golongan masyarakat, mulai dari pejabat, pengusaha, maupun generasi muda.
Di samping itu, terdapat fenomena lain yang biasa kita temui di kehidupan sehari-hari. Pernah melihat seseorang yang bangga secara berlebihan jika orang asing dari negara lain menggunakan Bahasa Indonesia? Seperti ketika muncul berita dengan headline: “Artis Korea yang Fasih Berbahasa Indonesia”, tentunya memancing respon senang dan banyak orang Indonesia yang berinteraksi dengan konten tersebut. Fenomena ini disebuat sebagai fenomena overproud, terkait hal apapun yang berkaitan dengan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kalau begitu, sebenarnya sejauh mana rasa bangga Indonesia terhadap bahasanya?
Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda yang jatuh di tanggal 28 Oktober dan juga Bulan Sastra dan Bahasa yang diperingati setiap bulan Oktober, saya rasa penting untuk membahas mengapa bangsa Indonesia memiliki rasa bangga yang minim tetapi juga berlebihan kepada bahasa kita sendiri.
Sebetulnya, kalau melihat dari bagaimana masyarakat Indonesia berbahasa dalam berbicara, menulis, dan memilih produk untuk dikonsumsi, bisa sama-sama dilihat bahwa bangsa kita sendiri tidak bangga dengan bahasa kita.
Berlawanan dengan hal tersebut, dari fenomena overproud kita bisa melihat betapa bangga masyarakat Indonesia terhadap bangsanya sendiri. Akan tetapi, hal tersebut merupakan faktor psikologis yang timbul dari apa yang telah dilakukan budaya asing kepada Bangsa Indonesia. Tidak mengherankan, mengingat Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia memiliki fanbase yang besar dan terdapat jutaan pecinta dunia K-pop. Melihat dari chart Twitter dan Youtube, Indonesia masuk ke peringkat 3 setelah Thailand dan Korea Selatan dalam mengunggah tweet soal artis Korea pada tahun 2019. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar dan target strategi yang sangat potensial untuk perekonomian K-pop, sungguh menguntungkan bagi mereka, bukan?
ADVERTISEMENT
Menanggapi fenomena ini, bangga kepada negara sendiri itu sudah baik, tetapi hal tersebut bergantung dengan bagaimana cara seseorang menyalurkan rasa bangganya. Fenomena overproud berkaitan dengan penyaluran yang salah, karena orang-orang cenderung terlalu meninggikan orang asing yang mencoba berinteraksi dengan Bahasa Indonesia.
Hal ini menerangkan bahwa banyak masyarakat yang memandang bangsa lain lebih hebat dengan menyanjung tinggi mereka, tetapi merendahkan bangsa kita sendiri.
Berbagai upaya sudah dilaksanakan pemerintah dalam mengatasi hal ini, mulai dari mewajibkan mata pelajaran dan mata kuliah Bahasa Indonesia dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, sampai menjadikan Bahasa Indonesia sebagai ujian paling mendasar ketika hendak mendaftarkan diri pada lembaga pemerintah apapun.
Mengutip dari Jurnal Ilmiah Likhitaprajna (Werdiningsih, 2017), solusi yang dapat kita terapkan untuk mengatasi kedua fenomena ini adalah menanamkan sesuatu yang dinamakan sikap bahasa yang baik sedini mungkin.
ADVERTISEMENT
Sikap bahasa adalah keadaan mental atau perasaan, baik rasa suka maupun rasa tidak suka terhadap bahasa itu sendiri atau orang lain. Kita bisa melihat sikap pengguna bahasa terhadap bahasanya sendiri atau bahasa asing dengan sikap bahasa yang dibawakan. Sikap tersebut bisa diwujudkan dengan menunjukkan perasaan bangga, mengejek, menolak, ataupun menerima. Dalam fenomena overproud, maka masyarakat Indonesia dikategorikan ke sikap yang pertama, tetapi secara berlebihan.
Dampak dari sikap berbahasa ini dicirikan dengan kesetiaan bahasa (language loyality), kebanggaan bahasa (language pride), dan kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). Sayangnya, ketiga ciri tersebut belum tampak atau belum dimiliki oleh para pemakai Bahasa Indonesia baik dalam berbicara atau dalam menulis, yang bisa kita lihat ketika berinteraksi dengan orang lain.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, seharusnya masyarakat Indonesia menerapkan sikap berbahasa ini, dengan salah satu tindakan yang paling sederhana untuk dilakukan dalam menghapuskan fenomena overproud yang sudah dijelaskan sebelumnya. Perasaan bangga memang baik, tetapi tidak ketika berlebihan. Akan lebih baik ketika masyarakat mengapresiasi, bukan terlalu menyanjung orang asing secara berulang-ulang seakan hal yang mereka lakukan benar-benar hebat dan patut disebut sebagai prestasi.
Dalam merayakan Bulan Bahasa dan Sastra juga lahirnya Sumpah Pemuda di Bulan Oktober ini, kita dapat meningkatkan kebanggaan kita akan Bahasa Indonesia dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebagai Bangsa Indonesia, sudah sepatutnya kita bangga dan menjunjung bahasa nasional kita sendiri, yakni Bahasa Indonesia.
Menumbuhkan rasa bangga tersebut dapat berujung pada sikap positif kita terhadap Indonesia, serta timbulnya keinginan untuk mengapresiasi tanpa adanya rasa bangga yang berlebihan untuk membentuk nilai moral dalam diri serta karakter yang kuat sebagai Bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka:
Werdiningsih, E. (2017). Menumbuhkan Rasa Bangga Generasi Muda Terhadap Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional dan Internasional. Jurnal Ilmiah Likhitaprajna, 18(2), 20-25.