Konten dari Pengguna

COP26, Lalu Apa?

Fishya Elvin
Mahasiswa Aktif Universitas Padjadjaran
5 Januari 2022 11:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fishya Elvin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi © Unsplash/Kodda
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi © Unsplash/Kodda
ADVERTISEMENT
COP26 atau yang lebih familiar sebagai The UN Climate Change Conference 2021 sudah digaungkan ke seluruh jagat internet dan telah terlaksana di Glasgow, Italia. Sayangnya, konferensi ini disebut gagal dalam menyepakati pendanaan baru untuk kerusakan akibat iklim dan membangun kondisi lingkungan yang lebih baik lagi untuk dunia. Mengecewakan, tetapi bukan sesuatu yang mengejutkan. Hal ini sudah disebutkan dan diingatkan oleh Greta Thunberg, sebagai aktivis lingkungan yang terkenal di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diketahui bersama, perubahan iklim menjadi tantangan besar bagi Indonesia dan dunia. Mulai dari perubahan suhu, berubahnya pola curah hujan, kekeringan dan kesulitan air bersih, perubahan cuaca secara ekstrim, sampai kenaikan permukaan air laut, perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).
Tidak ada satu pun manusia yang tidak merasakan dampaknya. Mereka pun turut berkontribusi atas meningkatnya risiko perubahan iklim. Berbagai akibat yang dihasilkan dari perubahan iklim ini cukup bervariasi, dari bencana alam yang berulang ataupun fenomena yang baru terjadi sekali. Tentunya, generasi muda menjadi generasi yang paling terdampak dengan adanya dampak dari perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia sudah turut mengupayakan banyak hal untuk membendung dan meminimalisir dampak dari parahnya perubahan iklim pada saat ini. Berbeda dari usaha pemerintah, komunitas lingkungan di seluruh Indonesia juga turut mengupayakan tindakan Go Green secara mandiri, seperti mengimplementasikan 3R, penghematan energi listrik, pengurangan emisi gas karbon dengan menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari, penghijauan lahan dengan menanam pohon di lahan terbuka, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Namun, apa lagi yang dapat dilakukan untuk membuat kondisi lingkungan yang lebih baik lagi? Setelah COP26 berhasil diselenggarakan, apa langkah selanjutnya?
Mengatasi permasalahan lingkungan terutama fenomena yang terjadi akibat perubahan iklim, bukan lagi memerlukan kesepakatan akan adanya kerja sama antar negara. Bukan juga masa di mana pemerintah mengadakan kampanye-kampanye mendukung penghijauan guna menarik simpati warga.
Masyarakat pasti sudah sadar akan penyebab dan bahayanya perubahan iklim terhadap keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, yang dibutuhkan masyarakat baik di saat ini maupun masa depan bukanlah sebuah instrumen penyadaran, tetapi instrumen perubahan pola pikir dan kebiasaan.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah beralih ke pemberdayaan generasi muda untuk masa depan bumi yang lebih baik lagi. Bukan menyasar pada remaja yang sudah aktif mempengaruhi dan dipengaruhi oleh konten-konten di media sosial, tetapi kita bisa mulai dengan jangkauan umur yang lebih dini lagi.
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai edukasi perubahan iklim dan restorasi lingkungan dari taman kanak-kanak.
Sejumlah sekolah bahkan taman kanak-kanak sudah mengambil langkah untuk terus mendukung mitigasi yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pendidikan terkait perubahan iklim menjadi jauh lebih penting karena dapat menjadi investasi untuk di masa yang akan datang. Edukasi perubahan iklim ini sendiri belum ada dalam struktur program pendidikan yang wajib. Padahal, apabila diimplementasikan, pendidikan ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti peningkatan sumber literasi kelingkungan, pelatihan menjaga iklim untuk manajemen lingkungan yang baik, penelitian, sampai riset publikasi.
Nyatanya, hal ini sudah mulai diimplementasikan oleh beberapa taman kanak-kanak yang tersebar di berbagai daerah. Salah satunya adalah Sekolah Alam Sakila Kerti, yang melaksanakan kegiatan pengumpulan sampah plastik di sekitar lokasi Pantai Alam Indah, Tegal, Jawa Barat pada Jumat (12/11/2021).
ADVERTISEMENT
Selain itu, pihak Sekolah Alam Sakila Kerti juga mengadakan iuran sekolah yang dilaksanakan setiap hari Jumat dengan sampah plastik yang dikumpulkan oleh murid-muridnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi sampah plastik di daerah itu melalui partisipasi anak-anak, untuk selanjutnya didaur ulang dan mengurangi proses produksi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat disebabkan oleh pembuatan dan pemusnahan plastik.
Kegiatan ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk membentuk pola pikir dan kebiasaan anak selaku aktor yang akan berperan terhadap kelanjutan kehidupan di masa depan. Harapannya, dengan pembiasaan aktivitas pengumpulan sampah plastik seperti ini, anak sejak usia belia sudah belajar untuk lebih mencintai alamnya, meski di kemudian hari penggunaan bahan bakar untuk transportasi, suhu tinggi dan mencairnya es di kutub, akan semakin meningkat pula dikarenakan populasi yang juga meningkat drastis.
ADVERTISEMENT
Mengapa plastik berdampak besar pada perubahan iklim?
Salah satu jenis sampah yang paling digarisbawahi adalah keberadaan sampah plastik. Plastik terkadang dipandang sebelah mata dan biasanya dikumpulkan hanya dengan tujuan memperindah lingkungan. Nyatanya, plastik juga berdampak besar pada perubahan iklim. Proses pembuatan plastik hingga tahap pembuangan dan pengelolaannya dapat mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer yang menimbulkan pemanasan global.
Dikutip dari Knowledge Centre Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, plastik terbuat sekitar 12 juta barel minyak bumi ketika proses produksi. Minyak tersebut dibakar dan mengemisikan gas rumah kaca di atmosfer. Selain itu, ketika plastik bergelimpangan di tempat terbuka dan terpapar sinar matahari, maka plastik akan mengeluarkan gas metana dan etilena yang tidak baik untuk lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya, dengan edukasi seputar iklim seperti yang dilakukan oleh Sekolah Alam Sakila Kerti ini, maka setiap anak mulai belajar dan memahami mengapa perubahan iklim dapat berdampak ke kehidupan kita sehari-hari, apa saja yang menyebabkan perubahan iklim tersebut, dan bagaimana kita dapat bertindak secara langsung untuk mengurangi aktivitas yang dapat meningkatkan risiko perubahan iklim. Pola pikir dan kebiasaan adalah hal yang terpenting, karena berawal dari pola pikir yang kurang tepat, maka perubahan iklim semakin lama akan semakin tidak terkendali.
Untuk berperang dengan perubahan iklim di masa kini dan mendatang, kita harus membangun pikiran dan kebiasaan penghijauan.
Referensi:
- Antara. (2021). COP26 Gagal Sepakati Dana untuk Atasi Kerusakan Akibat Perubahan Iklim. Diakses dari https://katadata.co.id/ sortatobing/ekonomi-hijau/6190bc030762a/cop26-gagal-sepakati-dana-untuk-atasi-kerusakan-akibat-perubahan-iklim
ADVERTISEMENT
- Knowledge Centre Perubahan Iklim. Ubah Kebiasaan Penggunaan Plastik. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diakses dari http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/inovasi/347-ubah-kebiasaan-penggunaan-plastik
- Murdiyarso, D. & Suryadiputra. (2004). Paket Informasi Praktis: Perubahan Iklim dan Peranan Lahan Gambut. Bogor Proyek CCFPI, WI-IP dan Wildlife Canada.
- Sudirman, Anselmus. (2021). To Fight Climate Change, We Need to Change Mindset, Behavior. The Jakarta Post.