Fondasi dan Dinamika Produser Film “Dua Garis Biru”

Fishya Elvin
Mahasiswa Aktif Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
1 Mei 2021 8:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fishya Elvin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kuliah Umum Produksi Film (20/04) dengan Salman Aristo (Sumber: Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kuliah Umum Produksi Film (20/04) dengan Salman Aristo (Sumber: Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyaksikan sebuah film yang terdiri dari premis-premis menarik yang saling berhubungan dengan satu sama lain dan memiliki tujuan, tentunya dapat menarik hati penontonnya sehingga film tersebut bisa ditayangkan lagi dan lagi. Apalagi, ketika penonton mampu menyerap esensi yang ingin disampaikan sang film maker, dan terkejut dengan akhir yang tak terduga, atau yang biasa kita sebut sebagai plot twist.
ADVERTISEMENT
Dari film laris Indonesia yang terkenal, contohnya, Ada Apa Dengan Cinta, film yang mampu memorak-porandakan kisah SMA di tahun 2002, berharap dirinya menjadi Cinta yang dicintai oleh laki-laki seperti Rangga. Sampai hari ini, di tahun 2019 rilis sebuah film kisah cinta remaja SMA yang diceritakan oleh Dara dan Bima, yang kita kenal dengan judul Dua Garis Biru. Film yang terkenal, beragamnya respon masyarakat, sampai munculnya petisi agar tidak ditayangkan di layar lebar. Dampak sebuah film nyatanya sangat mempengaruhi persepsi masyarakat, dan hal tersebut membuktikan garis cerita film yang kuat lahir dari pihak produsen film yang kuat pula.
Tidak peduli film tersebut merupakan film layar lebar, short movie, maupun serial Netflix, semuanya memiliki sosok orang di belakang layar. Salah satunya, adalah orang yang biasa kita sebut sebagai sang produser.
ADVERTISEMENT
Menjadi Seorang Produser, It’s Not All About You
Menjadi produser sebuah film layar lebar membuat seseorang harus bisa menerapkan pola pikir it’s not all about you, it’s about the story itself. Dalam menghasilkan sebuah plot, skenario, cerita, seorang produser akan berkolaborasi dengana rekan-rekan lainnya, seperti sutradara dan penulis skenario. Menurut produser Dua Garis Biru, Salman Aristo, yang bercerita pengalamannya dari menjadi anggota dari Unit Kegiatan Mahasiswa Gelanggang Seni Sastra Teater dan Film (GSSTF) Unpad sampai menjadi seorang produser, pada Kuliah Umum Produksi Film Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (20/04). Ia juga bercerita kadangkala aspek buruknya sebuah film itu disalahkan sebagai tanggung jawab seorang sutradara.
Nyatanya, menjadi seorang produser tandanya juga harus bisa bertanggung jawab dengan apa yang diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan yang terlintas seperti, “Mengapa skenario seperti itu di-produce?” sampai, “Mengapa akting seperti itu di-approve?” itu ada di tangan sang produser.
ADVERTISEMENT
Mentalitas produser dan pembuat film diuji dengan prinsip, “Gagal bisa dimaklumi, sedangkan kalau inkompeten tidak.”. Seorang produser harus menjadi tempat yang aman, di mana ia dapat membangun suasana kerja yang baik. Mulai dari mengapresiasi sampai memberikan kritikan rekan kerjanya. Kritikan yang diberikan tetaplah harus dengan mementingkan iklim kerja yang diinginkan. Dengan mengenali rekan kerja mulai dari keahlian, mental dan juga kekuatan fisiknya, serta energi mereka dalam mengelola waktu, motivasi kerja seseorang dapat diketahui dan kita bisa menyesuaikan dinamika ruang kerja yang nyaman untuk semua pihak.
Mengimbangi Seni dan Bisnis dalam Produksi Film
Menciptakan premis yang mampu membuat penontonnya terkesima dan memberikan rating tinggi adalah tujuan para pembuat film. Kepuasan konsumen mereka dalam menikmati ‘anak’ yang pembuat film ciptakan adalah hal yang ditunggu-tunggu. Dari memikirkan segala kekosongan plot yang mungkin terjadi akibat kurangnya fondasi atau latar belakang sebuah cerita, sampai nilai-nilai atau punchline yang ditujukan pada penonton, harus dipikirkan produser dari sejak pencanangan ide film berlangsung.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, produser tetap harus mengimbangi unsur seni sebuah film dengan segi bisnis dari produksi itu sendiri. Salman menyatakan bahwa penting bagi seorang produser, sutradara, dan penulis naskah untuk meminimalisir dialog antar tokoh, karena film merupakan media yang bertumpu pada visual. Akan tetapi, produser, sutradara, dan penulis naskah juga harus memikirkan dialog antar tokoh apa yang bisa membuat jalan cerita tersebut menarik sehingga penghasilan mereka dapat melampaui biaya produksi.
Pada akhirnya, premis-premis menarik yang dipersembahkan oleh produser film kepada konsumennya bertujuan untuk menciptakan karya apik yang dapat dinikmati oleh masyarakat dari tiap-tiap lapisannya. Dengan begitu, sebuah film dapat dilahirkan dan dapat mengukir makna di hati orang lain, meski telah melalui proses dari tangan-tangan yang bekerja dengan giat untuk membesarkan ‘anak’ mereka di sebuah desa yang mereka sebut sebagai the developers room, atau rumah untuk para pembuat film.
ADVERTISEMENT