Konten dari Pengguna

Pilkada Usai, Meritokrasi Masih di Jalan Terjal

Ramlan Majid
Bekerja di Badan Riset dan Inovasi Daerah Kota Makassar sebagai Fasilitator Inovasi Daerah dan Data Manager
29 Januari 2025 10:35 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ramlan Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perjalanan sistem merit dalam birokrasi Indonesia ibarat sebuah pendulum yang terus berayun antara idealisme reformasi dan realitas di lapangan. Di satu sisi, komitmen untuk membangun birokrasi profesional berbasis kompetensi telah dituangkan dalam berbagai regulasi dan kebijakan. Namun di sisi lain, implementasinya masih terbentur pada berbagai hambatan struktural dan kultural yang mengakar.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks reformasi birokrasi Indonesia, implementasi sistem merit masih perlu diuji apakah telah diterapkan secara konsisten dan merata pada seluruh aspek meritokrasi, utamanya pada aspek yang sering disorot yaitu promosi dan pengembangan karir. Data Sistem Merit 2023 mengungkapkan masih kuatnya praktik nepotisme dan favoritisme di lingkungan birokrasi pada aspek ini.
Capaian meritokrasi pada aspek pengembangan karir hanya 51% sedangkan promosi-mutasi hanya 33,5%. Upaya perbaikan pada kedua aspek ini terkendala oleh masih dominannya faktor subjektif dan preferensi pribadi dalam pengambilan keputusan, serta kuatnya pengaruh budaya kekeluargaan yang sering disalahartikan dalam konteks Indonesia.
Kendala sistem merit di Indonesia banyak ditemukan ketika ASN diperhadapkan pada hubungan atasan-bawahan yang sangat kompleks dan dinamis. Indikator-indikator seperti transparansi, fairness, dan profesionalitas dalam penempatan dan pengangkatan pejabat birokrasi masih sulit terpenuhi dalam dinamika ini. Untuk itu, indikator tersebut perlu didukung oleh beberapa instrumen pendukung seperti sistem informasi terintegrasi yang memungkinkan tracking dan monitoring secara real-time. Di samping itu, perlu adanya tim penilai independen yang kredibel, serta mekanisme checks and balances yang melibatkan stakeholders eksternal seperti KPK dan ICW untuk jabatan-jabatan strategis.
ADVERTISEMENT
Beberapa instansi pusat telah mengembangkan meritokrasi yang lebih prosedural dengan menyediakan saluran pengaduan dua arah (online-offline), transparansi hasil seleksi secara real-time, serta evaluasi efektivitas pasca rekrutmen. Instansi tersebut antara lain Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, BPK, KPK, Mahkamah Agung, Kementerian BUMN, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Oleh karena itu, di instansi tersebut sebagian besar telah menerapkan sistem renumerasi. Meskipun intervensi politik dalam proses rekrutmen di instansi tersebut telah menunjukkan tren penurunan yang signifikan, namun upaya penegakan prinsip zero tolerance terhadap praktik KKN masih memerlukan pengukuran dan pengawasan yang lebih intensif.
Illustrasi meritokrasi oleh Wirestock. Sumber : https://www.istockphoto.com/id/foto/blok-yang-dihubungkan-oleh-garis-membentuk-piramida-hierarki-perusahaan-konsep-bisnis-gm1460720604-494836242
Meritokrasi di Daerah
Namun bagaimana halnya di pemerintahan daerah ? Di level ini, sistem merit menghadapi jalan yang lebih terjal. Data BKN tentang capaian kualitas penerapan sistem merit hingga akhir 2024 memperlihatkan persentase yang masih mengkuatirkan. Untuk level pemerintah provinsi, hanya 41,17% pemda yang memenuhi kategori Sangat Baik/Baik, sementara pada level pemerintahan kabupaten/kota persentasenya lebih kecil lagi, yakni 11,48% atau hanya 55 pemda dari 479 kabupaten/kota di Indonesia yang berkategori “Sangat Baik” dan “Baik”.
ADVERTISEMENT
Lemahnya sistem merit di sebagian besar pemerintahan daerah merupakan persoalan kompleks yang berakar dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada tahun 2023 merilis bahwa indeks penerapan sistem merit di daerah masih jauh dari ideal, yaitu terutama dalam aspek promosi dan mutasi jabatan yang sering kali tidak berbasis kompetensi.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan kondisi ini antara lain: kuatnya intervensi politik lokal dalam pengambilan keputusan kepegawaian, utamanya ketika kepala daerah terpilih mulai menjalankan tugasnya. Pada posisi ini kepala daerah memiliki diskresi yang luas dalam penempatan pejabat karena kentalnya budaya patronase dan kekerabatan serta balas jasa politik. Ditambah lagi dengan keterbatasan infrastruktur dan kurangnya sistem informasi yang mendukung transparansi manajemen ASN.
ADVERTISEMENT
Lemahnya kapasitas kelembagaan diperparah dengan keterbatasan anggaran dan kurangnya political will kepala daerah untuk menerapkan sistem merit secara konsisten. Secara eksternal, lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi terhadap pelanggaran prinsip merit, minimnya partisipasi publik dalam monitoring pengisian jabatan, serta masih adanya resistensi dari kelompok kepentingan yang diuntungkan oleh sistem lama juga menambah sulit penerapan sistem merit. Biasanya kondisi ini dipengaruhi oleh keterikatan komitmen antara kepala daerah terpilih dengan tim sukses.
Akibatnya, meski regulasi di tingkat lokal tentang sistem merit telah ada, implementasinya di daerah seringkali terdistorsi dan hanya menjadi formalitas belaka. Pada akhirnya berdampak pada kualitas pelayanan publik dan efektivitas pemerintahan daerah yang buruk.
Sebetulnya, pemerintah Indonesia bukan tanpa upaya. Melalui Peraturan Menteri PANRB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta ASN, telah tercipta kerangka kerja yang lebih sistematis dalam mengidentifikasi dan mengembangkan talenta-talenta terbaik dalam birokrasi. Dampaknya terlihat dari mulai terbentuknya talent pool di berbagai instansi pemerintah yang menjadi basis data untuk succession planning jabatan strategis.
ADVERTISEMENT
Sistem ini juga mendorong kompetisi yang lebih sehat antar ASN tua-muda karena adanya parameter yang jelas dalam penilaian potensi dan kinerja. Namun, lagi-lagi implementasinya masih menghadapi kendala seperti belum meratanya pemahaman tentang manajemen talenta di seluruh instansi, resistensi dari kelompok status quo, serta masih kuatnya pengaruh politik terkait jabatan strategis.
Menjelang berakhirnya periode Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 , diakui atau tidak maka penerapan sistem merit yang ideal masih menghadapi jalan terjal. Banyak strategi alternatif yang dapat diterapkan guna memperkuat meritokrasi dalam meminimalisir intervensi kultural dan hambatan lainnya.
Strategi tersebut antara lain melalui digitalisasi sistem yang terintegrasi, pelibatan partisipasi publik, serta pengembangan indikator dan sistem penilaian yang lebih objektif. Strategi ini dinilai dapat mendorong transformasi sosial sejalan dengan prinsip birokrasi Weberian yang menekankan sifat impersonal dalam birokrasi.
ADVERTISEMENT
Maka menjadi krusial untuk lima tahun mendatang pemerintah harus lebih berani dalam menerapkan sistem reward and punishment agar setiap level pemerintahan lebih terdorong untuk menerapkan sistem merit secara lebih konsisten dan berkesinambungan.