Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Merdeka Belajar dan Daya Cipta yang Sirna
11 April 2023 14:23 WIB
Tulisan dari Sidik Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak Februari, saya diminta mengampu mata kuliah Menulis Kreatif di Universitas Tanjungpura sebagai dosen tamu. Saya diminta berbagi materi dan pengalaman perihal menulis opini, cerpen, dan novel—tiga jenis tulisan yang sejak belasan tahun silam cukup sering saya buat. Ketika mengajari menulis opini, saya menekankan pentingnya menghasilkan karya yang otentik, menghindari menyalin tulisan orang.
ADVERTISEMENT
Saya mengajak mahasiswa menulis opini untuk “menembak” suatu momen atau peringatan di bulan Maret dan April. Ada yang menulis tentang Hari Kehakiman (1 Maret), Hari Perempuan (8 Maret), Hari Musik (9 Maret), Hari Film (30 Maret), Hari Kartini (21 April), dan sebagainya.
Saya pun menyarankan agar tiap mahasiswa mengawali tulisan mereka dengan ilustrasi yang dekat dengan kehidupan mereka, mereka pahami, atau mereka anggap menarik. Ilustrasi itu menjadi awal yang dapat terhubung dengan opini yang mereka tuliskan. Itulah poin kreativitas yang berusaha saya munculkan dalam penulisan opini, sesuai nama mata kuliahnya: Menulis Kreatif.
Tujuan dari keberadaan ilustrasi dalam opini itu juga sesuai dengan semangat Merdeka Belajar: mereka merdeka atau bebas menentukan ilustrasi tulisan yang relevan dengan opini yang dituliskan. Ada yang mengambil ilustrasi dari pengalaman pribadi, biografi seorang tokoh, film yang pernah ditonton, buku yang pernah dibaca, dan sebagainya. Dari situ, mereka menyadari bahwa opini dibuat bukan dengan menyalin tulisan orang lain dengan tema serupa, atau terjebak menyajikan sederet informasi hasil mencomot dari sana-sini tentang tema yang mereka tulis.
ADVERTISEMENT
Saya bersyukur, beberapa opini mahasiswa ada yang sudah dimuat media. Namun, saya menyampaikan kepada mereka, pemuatan bukanlah segala-galanya: kalau dimuat, bukan berarti otomatis tulisannya bagus; kalau tidak dimuat, bukan berarti otomatis tulisannya jelek. Saya mengatakan, yang paling penting dari penulisan kreatif adalah soal daya cipta. Dari pengalaman itu, mereka dilatih untuk mengerahkan daya pikir mereka menciptakan tulisan berangkat dari hal yang mereka ketahui atau pahami.
Berbicara soal daya cipta, hal itu belakangan tampak meresahkan. Mereka yang disebut sebagai kaum cendekia tampak makin tak berdaya cipta: enggan berpikir dan suka menempuh jalan pintas dalam membuat karya tulis. Pada Februari hingga Maret, Kompas menurunkan berbagai tulisan tentang calon-calon guru besar yang dicurigai terlibat praktik joki karya ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal internasional.
ADVERTISEMENT
Selain itu, beberapa tahun belakangan dunia pendidikan kita getol sekali menyebut “literasi”. Bersama kata itu, gembar-gembor tentang tulis-menulis pun lahir. Berbagai proyek dan gerakan menulis atas nama kemajuan literasi menjamur. Para guru yang sebelumnya tidak suka menulis, tidak hidup dalam alam kreativitas merajut kata, seakan-akan “dipaksa” menulis. Seminar atau diklat menulis diikuti, sehabis seminar berfoto bersama dengan mengacungkan jari membentuk huruf L dari jempol dan telunjuk.
Kita tidak pernah benar-benar tahu, apakah proyek dan gerakan itu terbukti efektif meningkatkan minat membaca dan menulis. Alih-alih menggugah minat membaca dan menulis para pesertanya, gerakan dan proyek-proyek seperti itu malah terkesan melahirkan karya-karya asal terbit.
Yang penting terbit, paling tidak bisa dijadikan bekal untuk naik pangkat atau golongan. Yang penting terbit; soal isi, manfaat, atau urgensinya yang tidak jelas tidak jadi soal. Dan, yang penting terbit dan ber-ISBN (International Standard Book Number)—sampai-sampai stok ISBN di Perpustakaan Nasional tahun lalu sempat hampir ludes karena banyaknya buku yang mengajukan ISBN.
ADVERTISEMENT
Senjakala Daya Cipta?
Guru besar di universitas menggunakan joki dalam membuat karya tulis ilmiah, guru di sekolah berbondong-bondong menerbitkan buku asal terbit dari proyek dan gerakan literasi. Tentu tidak salah kalau dari kedua hal itu kita menduga: apakah kaum cendekia—yaitu para guru—saat ini sudah kehilangan minat membaca?
Membaca adalah kegiatan utama yang memantik daya cipta dalam soal tulis-menulis. Dari membaca seseorang jadi berdaya untuk menulis, meneliti, dan melahirkan karya yang penting untuk kepentingan orang banyak. Akan sangat lucu—atau mungkin lebih tepat disebut menyedihkan—kalau ada orang yang tidak suka membaca malah menulis buku untuk dibaca orang lain.
Apakah di zaman ini kita telah kehilangan semangat menziarahi pemikiran-pemikiran yang penting di masa lalu yang berhubungan dengan suatu disiplin ilmu? Apakah kita lebih menyukai segala sesuatu yang instan—cepat dan singkat—seperti video-video pendek satu menit di TikTok yang kita tonton dengan mengusap jempol di ponsel?
ADVERTISEMENT
Ketika kegemaran itu menjadi-jadi dan menulari lebih banyak kaum cendekia, maka upaya pendalaman, pencarian, dan penelusuran yang menjadi napas dari ilmu pengetahuan tersisihkan. Yang diutamakan adalah pangkat, tunjangan, atau golongan.
Pada masa internet belum secanggih sekarang, orang-orang tampaknya bekerja lebih keras dalam membuat sebuah tulisan. Dulu, waktu berkuliah, tak jarang saya menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan hanya demi membuat makalah setebal empat atau lima halaman. Mencari katalog dari laci, bergantian meminjam atau bertukar buku perpustakaan yang dipinjam teman, atau pergi ke toko buku loak untuk mencari referensi adalah hal-hal yang biasa dilakukan mahasiswa pada zaman itu, tahun 1990-an.
Kini, dimanjakan teknologi, orang tampaknya jadi lebih enggan berpikir dan berusaha. Para penjual jasa membuat karya tulis ilmiah bahkan mempromosikan diri secara terang-terangan. Belum lagi sekarang ada artificial intellegence yang membuat pekerjaan tulis-menulis jadi jauh lebih mudah dan cepat.
ADVERTISEMENT
Kita tidak tahu sampai kapan kaum cendekia tetap mempertahankan integritas dan kejujuran dalam menapaki jalan keilmuan. Yang dikhawatirkan, ke depan nilai-nilai kejujuran, ketekunan, dan menghargai proses dalam berkarya makin terkikis: yang dulu dianggap tak etis nantinya kian dimaklumi.
Merdeka Belajar semestinya menjadi konsep yang penting dalam praktik belajar-mengajar untuk membentuk kaum cendekia yang berkarakter pembelajar. Salah satu indikator keberhasilan dalam Merdeka Belajar adalah lahirnya kegiatan belajar-mengajar yang efektif.
Seorang pendidik mesti memahami geliat zaman, mampu merumuskan dan memformat kegiatan belajar-mengajar yang relevan untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi seraya menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan kejujuran. Tanpa itu, praktik belajar di ruang-ruang kelas hanya akan menghasilkan lulusan-lulusan penjiplak, tak berdaya cipta, dan akhirnya tak berdaya saing.
ADVERTISEMENT