Konten dari Pengguna

Catatan Optimis dari Balik Kabel dan Suasana Lebaran

Sigid Mulyadi
Praktisi Pemerintahan - Alumnus UPN Veteran - Disclamer: Tulisan tidak mewakili pandangan dari organisasi
10 April 2025 9:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigid Mulyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjelang Lebaran kemarin, saya menempuh perjalanan dari bandara menuju kota tempat keluarga berkumpul. Perjalanan cukup panjang, dan seperti biasa, saya mencoba jadi pengamat jalanan. Ini cara saya mengusir jenuh—memperhatikan sekitar, mencari cerita dari hal-hal yang sering luput dari perhatian.
ADVERTISEMENT
Yang paling mencolok di sepanjang jalan? Kabel. Banyak sekali kabel.
Dari kota pertama yang saya lewati, sampai ke kota keempat, pemandangannya serupa: tiang-tiang listrik yang dijejali puluhan kabel, menggantung semrawut di udara. Saya sempat berpikir, kalau ada burung ceroboh yang terbang terlalu rendah, bisa-bisa langsung tersangkut.
Lucunya, kabel-kabel itu juga “menghantui” hasil foto. Coba deh ambil gambar sebuah rumah atau gedung kantor dari seberang jalan—pasti yang muncul di frame bukan cuma bangunannya, tapi juga untaian kabel yang melintang seenaknya. Kalau kantor itu sedang ikut penilaian zona integritas (WBK/WBBM) dan butuh video profil, sudut itu pasti langsung dicoret dari daftar.
Ilustrasi dibuat dengan ChatGPT
Sering kali kita berusaha membuat lingkungan kantor atau rumah terlihat cantik dan rapi. Tapi ya itu tadi, kondisi sekitar kadang tak mendukung. Estetika kalah oleh kebutuhan. Dan kita tidak bisa berbuat banyak—semuanya di luar kendali.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik kekacauan visual itu, saya justru melihat sisi lain. Kabel-kabel itu adalah tanda konektivitas. Listrik, telepon, internet. Artinya, rumah-rumah yang tersambung punya akses, dan tentu, kemampuan ekonomi untuk berlangganan layanan. Ada kehidupan, ada perputaran uang.
Masuk ke jalan tol, pemandangan berubah. Kabel-kabel tak lagi tampak, berganti dengan padatnya kendaraan. Tapi jangan salah sangka—bukan macet total, justru sebaliknya. Tol ramai lancar, meski sesekali kendaraan harus melambat atau berhenti sebentar. Saya bisa menebak: ini arus mudik. Terlihat jelas dari plat nomor mobil yang datang dari berbagai kota besar.
Di tengah perjalanan itu, saya justru merasa optimis. Kalau jalan tol penuh menjelang Lebaran, artinya orang-orang masih punya semangat untuk pulang kampung, menyambung silaturahmi. Mereka masih punya cukup untuk membeli bensin, bayar tol, dan menempuh perjalanan jauh. Itu sinyal bahwa roda ekonomi tetap bergerak.
ADVERTISEMENT
Optimisme itu makin terasa saat kami berhenti untuk buka puasa di sebuah mall. Ramai sekali. Area kuliner di lantai atas dipadati pengunjung. Lantai bawah yang disulap jadi area street food pun tak kalah sesak. Kami duduk di salah satu sudut, menunggu seseorang sambil mengamati wajah-wajah yang lewat. Nampak ceria, penuh semangat. Banyak dari mereka berdandan rapi, tampil stylish—ciri khas kelas menengah yang katanya sedang "terancam".
Tapi saya melihat sebaliknya. Mereka menikmati waktu bersama keluarga, membawa belanjaan, memilih menu buka puasa. Dan saya kembali merasa: kondisi ekonomi tidak seburuk yang dibayangkan sebagian orang.
Beberapa hari sebelum Lebaran, saya mengantar istri ke salon. Ramai, bahkan sampai kewalahan melayani pelanggan. Semua ingin tampil menarik di hari raya. Tradisi yang tak pernah pudar.
ADVERTISEMENT
Saat pulang melewati pasar, saya lihat keramaian serupa. Tak seperti hari biasa—pasar penuh orang yang bertransaksi. Belanja kebutuhan Lebaran, mencari baju, membeli kue. Di sana, saya kembali menangkap sinyal optimis. Karena ketika pasar hidup, artinya masyarakat masih aktif bergerak.
Ya, mungkin beberapa orang melihat situasi dengan nada pesimis. Tapi dari semua yang saya saksikan menjelang Lebaran kemarin—jalan tol yang padat namun lancar, mall yang ramai, salon yang sibuk, pasar yang hidup—saya lebih memilih untuk percaya: ekonomi kita, kehidupan kita, masih tetap terjaga. Selalu ada harapan.