Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Kenapa Stigma Generasi Harus Dihapus?
22 April 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sigid Mulyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di tengah arus perubahan yang begitu cepat, dunia kerja kini diwarnai oleh keberagaman generasi. Ada Baby Boomers yang masih aktif memberikan kontribusi, Generasi X yang matang secara profesional, hingga Generasi Milenial dan Z yang dikenal adaptif terhadap teknologi. Namun, di balik potensi luar biasa dari keragaman ini, tersembunyi tantangan serius: stigma antargenerasi.
ADVERTISEMENT
Stigma ini hadir dalam bentuk stereotip yang kerap tak disadari. Generasi muda dianggap manja, tidak loyal, dan lebih sibuk bermain media sosial ketimbang bekerja. Sebaliknya, generasi yang lebih tua dicap lamban, gagap teknologi, dan kaku dalam menerima perubahan. Label-label seperti ini bukan hanya tidak adil, tapi juga berbahaya karena bisa menghambat kolaborasi, produktivitas, dan bahkan pertumbuhan organisasi secara keseluruhan.

Namun, menariknya, sebuah kajian terbaru membongkar anggapan yang selama ini diterima begitu saja. Studi tersebut menemukan bahwa perbedaan sikap kerja antar generasi ternyata lebih dipengaruhi oleh tahapan karir daripada usia biologis semata. Pegawai yang sudah berada pada posisi koordinatif, terlepas dari generasinya, menunjukkan tingkat adaptasi dan kolaborasi yang tinggi. Artinya, ketika seseorang diberi peran yang menantang dan relevan, stigma generasi perlahan memudar dengan sendirinya.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini memberi pelajaran penting: kita perlu berhenti menyederhanakan manusia berdasarkan label generasi. Realitanya, manusia berkembang seiring waktu dan pengalaman. Milenial dan Gen Z yang hari ini dianggap terlalu santai, bisa menjadi pemimpin strategis di masa depan—asalkan diberi ruang untuk berkembang. Begitu pula dengan Generasi X atau Baby Boomers yang terbuka terhadap pelatihan teknologi dan terus memperbarui diri, dapat menjadi penghubung berharga antar generasi.
Jadi, bagaimana cara kita mengatasi stigma antargenerasi di tempat kerja?
Pertama, penting untuk membangun budaya organisasi yang berbasis pada kompetensi, bukan asumsi. Proses rekrutmen, promosi, hingga pembagian tugas sebaiknya mengedepankan keterampilan dan pencapaian individu, bukan tanggal lahir mereka. Budaya kerja yang sehat harus memberi kesempatan yang adil bagi setiap orang untuk berkembang sesuai kapasitas dan potensi mereka.
ADVERTISEMENT
Kedua, fasilitasi ruang kolaboratif antargenerasi. Ketika karyawan dari latar usia berbeda bekerja bersama dalam proyek yang sama, mereka akan saling memahami cara kerja dan nilai yang dibawa masing-masing. Misalnya, generasi muda bisa menyumbangkan ide-ide kreatif dan kemampuan digital, sementara generasi senior memberi perspektif strategis dan ketelitian dalam eksekusi. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk saling melengkapi.
Ketiga, dorong program mentoring dua arah. Seringkali kita mengenal mentoring sebagai proses satu arah dari senior ke junior. Namun dalam konteks lintas generasi, mentoring bisa menjadi dialog dua arah. Bayangkan seorang Gen Z mengajari manajer senior cara memanfaatkan data media sosial untuk pemasaran, sementara di waktu yang sama, ia belajar dari pengalaman sang manajer dalam membangun relasi klien jangka panjang. Simbiosis ini bukan hanya meningkatkan kinerja, tapi juga membangun empati dan rasa saling menghargai.
ADVERTISEMENT
Tak kalah penting, para pemimpin organisasi harus menjadi teladan dalam membangun narasi positif antargenerasi. Alih-alih memperkuat stereotip melalui candaan atau kebijakan yang bias, mereka perlu menunjukkan komitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan adaptif. Kepemimpinan yang visioner adalah yang mampu merangkul semua pihak tanpa memandang usia.
Stigma antargenerasi bukan masalah kecil. Ia bisa menjadi benih konflik, memperlemah tim, dan menciptakan iklim kerja yang tidak sehat. Tapi kabar baiknya, stigma ini bisa diatasi—bukan dengan menyingkirkan satu generasi demi yang lain, tapi dengan memberikan peran yang tepat dan menciptakan ruang kerja yang mendorong kolaborasi.
Pada akhirnya, usia hanyalah angka. Yang membedakan seseorang bukan apakah ia lahir di tahun 1965 atau 1995, tapi bagaimana ia tumbuh, belajar, dan berkontribusi. Ketika kita berhenti melihat rekan kerja sebagai representasi generasi tertentu, dan mulai melihat mereka sebagai individu dengan potensi unik, maka stigma akan runtuh, dan sinergi akan lahir.
ADVERTISEMENT
Inilah saatnya perusahaan dan institusi meninggalkan cara pandang usang. Bukan soal muda atau tua, tapi bagaimana kita saling melengkapi. Masa depan dunia kerja tidak dibangun oleh satu generasi, melainkan oleh semua generasi yang berjalan bersama.