Konten dari Pengguna

Membaca APBDes dari Jalan Kaki Pagi: Saat Warga Mengawal Uang Desa

Sigid Mulyadi
Praktisi Pemerintahan - Alumnus UPN Veteran - Disclamer: Tulisan tidak mewakili pandangan dari organisasi
15 April 2025 13:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigid Mulyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi di desa selalu menyuguhkan ketenangan. Udara yang masih bersih, embun yang menempel di ujung daun padi—menjadi bagian dari ritual pagi saya selama liburan Lebaran tempo hari. Sejak lama saya membiasakan diri untuk jalan kaki setiap hari. Niatnya sederhana: membakar kalori, menjaga ritme tubuh, dan mengimbangi makanan Lebaran yang tak bisa ditolak.
ADVERTISEMENT
Tapi, siapa sangka, dari aktivitas yang tampak sepele itu, saya melihat hal yang menarik: anggaran desa. Semuanya bermula dari sebuah baliho besar di pertigaan jalan.
Di sana tertulis dengan jelas: "APBDes Tahun 2025". Saya berhenti sejenak, memicingkan mata, lalu mengeluarkan ponsel untuk memotret papan informasi itu. Di antara deretan angka dan istilah teknis, saya melihat sesuatu yang mencuri perhatian: alokasi terbesar ternyata ada di bidang pemerintahan desa.
Ilustrasi dibuat dengan Copilot
Sekilas ini mungkin terlihat wajar. Tapi karena saya pernah mempelajari struktur APBD, insting saya langsung menyala. Di APBD, ada batas belanja pegawai maksimal 30 persen. Lalu, mengapa bidang pemerintahan di APBDes ini bisa mencapai lebih dari 50 persen?
Rasa penasaran itu tak langsung terjawab. Saya lanjutkan jalan kaki hingga tiga kilometer, lalu pulang dan membuka ulang foto baliho itu. Saya mulai menganalisis angka-angka, mencari pola, dan mengandalkan bantuan kecerdasan buatan (AI).
ADVERTISEMENT
Saya meminta AI untuk membantu memahami struktur belanja desa. Saya bertanya: adakah standar proporsi untuk masing-masing bidang? Apakah ada aturan yang membatasi dominasi satu bidang atas bidang lainnya?
Jawabannya menarik. Ternyata, tidak ada aturan baku yang secara eksplisit menetapkan persentase pasti alokasi belanja per bidang. Namun, AI menunjukkan kisaran ideal berdasarkan regulasi, praktik terbaik, serta evaluasi terkait. Bidang pemerintahan idealnya berkisar antara 30–40 persen. Pembangunan desa mendapat porsi 30–50 persen, sementara bidang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat berkisar antara 5–15 persen. Untuk penanggulangan bencana, kisarannya 5–10 persen. Adapun pembiayaan disesuaikan kebutuhan.
Di sinilah kegelisahan saya bermula. Jika anggaran bidang pemerintahan desa mencapai lebih dari 50 persen, maka alokasi untuk pembangunan, pemberdayaan, dan pembinaan otomatis menjadi lebih kecil. Ini tentu mengurangi potensi manfaat langsung yang bisa dirasakan oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Apakah ini kasus unik, atau justru fenomena yang lebih umum?
Keesokan harinya saya kembali menyusuri jalanan desa, kali ini ke desa tetangga. Lagi-lagi saya temukan baliho APBDes, dan saya foto. Setelah menganalisis data itu, saya menemukan pola serupa: bidang pemerintahan mengambil porsi terbesar.
Di sinilah saya mulai menyadari pentingnya partisipasi warga dalam membaca, memahami, dan mengkritisi anggaran publik. Selama ini, APBDes—meski sudah ditempelkan dan diumumkan secara terbuka—sering kali hanya menjadi formalitas. Baliho besar itu mungkin dilihat banyak orang, tapi hanya sedikit yang sungguh-sungguh membacanya. Lebih sedikit lagi yang mampu menganalisis dan mempertanyakan isinya.
Padahal, APBDes bukan angka semata. Di balik setiap digit anggaran yang tertulis di baliho itu, tersimpan potensi besar untuk mengubah wajah desa—jika dikelola dengan tepat. Namun penting dipahami bahwa APBDes tidak hanya berasal dari Dana Desa (DD) yang bersumber dari APBN, tetapi juga dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang dialokasikan oleh pemerintah kabupaten dari APBD, ditambah dengan sumber lain seperti Pendapatan Asli Desa (PADes), bantuan provinsi, dan pendapatan sah lainnya.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, ADD sering kali digunakan untuk membiayai belanja rutin pemerintahan desa: gaji dan tunjangan perangkat desa, operasional kantor desa, serta kegiatan administratif lainnya. Inilah yang secara struktural menyebabkan bidang pemerintahan desa kerap menjadi pos dengan alokasi terbesar. Bukan karena desa tak ingin membangun atau memberdayakan masyarakatnya, melainkan karena porsi ADD—yang memang diarahkan untuk birokrasi desa—cukup signifikan dalam komposisi total APBDes.
Namun, justru di sinilah tantangan tata kelola itu berada. Meski ADD memang diperuntukkan bagi operasional pemerintahan, desain APBDes secara keseluruhan tetap harus mencerminkan keseimbangan. Ketika hampir separuh hingga lebih dari 50 persen belanja desa tersedot ke bidang pemerintahan, maka pembangunan fisik, program pemberdayaan, hingga kegiatan pembinaan kemasyarakatan memperoleh porsi yang lebih kecil. Padahal, dampak langsung dari APBDes yang dirasakan masyarakat paling sering justru datang dari bidang-bidang itu.
ADVERTISEMENT
Melalui pengalaman ini, saya menyadari bahwa pengawasan dan evaluasi anggaran tak harus menunggu auditor datang dari kabupaten atau pusat. Warga biasa pun bisa mengambil peran, asalkan memiliki rasa ingin tahu. Jika dulu analisis anggaran adalah urusan elite dan teknokrat, sekarang bisa dilakukan siapa saja. Bahkan, sambil jalan kaki pagi pun bisa.
Dan mungkin, inilah esensi dari pembangunan desa yang sesungguhnya. Bukan sekadar membangun jalan atau gedung, melainkan membangun kesadaran, partisipasi, dan kapasitas warga. Karena pada akhirnya, desa yang kuat bukan hanya soal dana yang besar, tapi juga warganya yang melek, kritis, dan terlibat.