Konten dari Pengguna

Saat Sampah Jadi Pemandangan Sehari-hari

Sigid Mulyadi
Praktisi Pemerintahan - Alumnus UPN Veteran - Disclamer: Tulisan tidak mewakili pandangan dari organisasi
9 April 2025 10:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigid Mulyadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap sore, sepulang kerja, saya punya rutinitas kecil: berjalan kaki menyusuri jalan-jalan di sekitar tempat tinggal. Kadang untuk menyegarkan kepala, kadang sekadar menikmati senja, atau mengumpulkan langkah demi target 10 ribu di aplikasi kesehatan. Tapi dari semua hal yang saya temui di perjalanan—angin sore, suara motor, obrolan tetangga—ada satu hal yang hampir selalu muncul: kantong-kantong sampah di pinggir jalan.
ADVERTISEMENT
Bukan di tempat sampah resmi. Bukan juga di depan rumah orang. Tapi di titik-titik aneh yang sepi, seperti dekat semak belukar, di tikungan sunyi, atau di pinggir jalanan panjang yang jarang dilalui.
Awalnya saya kira itu cuma kebetulan. Tapi makin lama, makin sering saya melihatnya. Dan saya mulai bertanya-tanya: kenapa sih, orang tega buang sampah di situ?
Ilustrasi dibuat dengan ChatGPT
Mungkin karena tidak ada tempat sampah terdekat. Mungkin karena “tidak ada yang lihat.” Atau mungkin… karena kita memang sudah terbiasa dengan pola pikir bahwa setelah sampah keluar dari rumah, urusannya selesai. Buang saja, nanti ada yang urus.
Saya jadi teringat istilah lama: kumpul-angkut-buang. Itulah sistem pengelolaan sampah kita selama ini. Sampah dikumpulkan, diangkut oleh petugas, lalu dibuang ke tempat pembuangan akhir. Selesai? Tidak juga.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, sistem ini sudah tidak cukup. Banyak tempat masih kekurangan fasilitas pembuangan. Edukasi soal memilah sampah juga belum merata. Belum lagi soal kesadaran—yang sayangnya, masih jadi PR besar.
Padahal, datanya menunjukkan kemajuan. Di tahun 2023, target nasional untuk daur ulang sampah adalah 11,89%, tapi yang tercapai malah 18,17%. Ini menunjukkan bahwa kalau ada kemauan dan sistem yang mendukung, hasilnya bisa positif. Tapi di banyak tempat, realitasnya masih jauh dari angka-angka itu.
Tumpukan sampah di pinggir jalan bukan cuma soal estetika. Ia bisa jadi sumber penyakit, mencemari tanah dan air, bahkan mempercepat krisis lingkungan. Dan yang paling menyedihkan? Semua itu dimulai dari satu kebiasaan kecil yang dianggap sepele: buang sampah sembarangan.
ADVERTISEMENT
Saya bukan sedang menyalahkan siapa-siapa. Tapi mungkin ini saatnya kita jujur pada diri sendiri: sudah sejauh mana kita peduli?
Apa kita masih malas memisahkan sampah organik dan anorganik? Apa kita masih suka “nitip” sampah di pojokan gang karena merasa aman-aman saja? Apa kita pernah menegur orang yang buang sampah sembarangan?
Perubahan tidak harus besar. Bisa dimulai dari rumah, dari kebiasaan kecil. Seperti menyimpan sampah plastik di tas sampai menemukan tempat sampah. Seperti mulai memilah sampah sebelum dibuang. Seperti menyadari bahwa tanggung jawab lingkungan bukan cuma urusan petugas kebersihan, tapi urusan kita semua.
Karena lingkungan yang bersih bukan hadiah—ia adalah hasil kerja kolektif.
Jadi, kalau besok saya berjalan kaki lagi dan melihat jalanan yang lebih bersih, mungkin itu pertanda: kita mulai berubah. Pelan-pelan, tapi pasti.
ADVERTISEMENT