Konten dari Pengguna

Carok di Madura: Antara Tradisi dan Jerat Hukum

Sigit Danur Fajar
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UINSA
6 Oktober 2024 8:29 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Danur Fajar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
carok madura vs hukum positif (sumber:https://www.pexels.com/id-id/)
zoom-in-whitePerbesar
carok madura vs hukum positif (sumber:https://www.pexels.com/id-id/)
ADVERTISEMENT
Pada 12 Januari 2024 sekitar pukul 7 malam, sebuah peristiwa menggemparkan terjadi di Madura, Indonesia. Hasan Tanjung menegur dua kakak beradik yang sedang melintas dengan sepeda motor. Perdebatan terjadi setelah salah satu dari mereka menampar Hasan. Mereka lalu menantang Hasan untuk berduel, yang kemudian pulang mengambil celurit, ditemani oleh saudaranya, Wardi. Meskipun ibunya mencoba mencegah mereka, Hasan dan Wardi tetap pergi untuk bertemu dengan para penantangnya. Di tempat kejadian, mereka berhadapan dengan sepuluh orang, namun hanya lima yang bersedia berduel. Dalam duel carok yang berlangsung cepat, Hasan dan Wardi berhasil mengalahkan empat orang lawannya tanpa mengalami cedera. Setelah peristiwa itu, Hasan dan Wardi diadili atas tindakan mereka. Pengadilan Bangkalan memutuskan bahwa mereka melanggar Pasal 338 KUHP dengan vonis 10 tahun penjara, lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang menginginkan hukuman 15 tahun. Penasihat hukum mereka, Bachtiar Pradinata, menyambut baik putusan ini, karena dinilai adil dan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Hasan dan Wardi melakukan pembunuhan berencana. Meski begitu, tim hukum masih mempertimbangkan untuk mengajukan banding atas vonis tersebut, karena beberapa aspek dari kasus ini masih perlu ditinjau lebih lanjut. Asal Usul Carok Madura Carok adalah tradisi konflik yang berasal dari budaya masyarakat Madura, yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Tradisi ini digunakan sebagai cara menyelesaikan perselisihan, terutama yang berkaitan dengan kehormatan dan harga diri individu. Carok umumnya melibatkan duel menggunakan senjata tajam seperti celurit, dan dianggap sebagai bentuk pembelaan diri atau upaya memulihkan martabat yang dirasa telah tercemar. Meski kini sering dipandang sebagai tindakan kekerasan, di masa lalu carok dianggap sebagai cara yang adil dalam menyelesaikan konflik antarindividu sesuai dengan norma adat masyarakat setempat. Meskipun carok sering kali dianggap bertentangan dengan hukum positif karena melibatkan kekerasan fisik, tradisi ini juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial tertentu. Carok mengandung unsur penghargaan terhadap kehormatan dan martabat, yang dalam beberapa situasi bisa dipahami sebagai bentuk pembelaan diri dalam masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Kendati demikian, dalam konteks modern, penting untuk menempatkan penyelesaian konflik yang lebih damai dan sesuai dengan aturan hukum negara sebagai prioritas utama. Meskipun ada aspek budaya yang dapat dipahami, penyelesaian sengketa melalui kekerasan seperti carok tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kemanusiaan yang diatur oleh hukum. Dengan melihat fenomena ini dari dua sisi, kita dapat memahami pentingnya menjaga nilai-nilai budaya, namun tetap mendorong perubahan ke arah yang lebih positif. Upaya ini penting agar penyelesaian konflik di masyarakat tidak lagi melibatkan kekerasan, melainkan lebih mengedepankan dialog, mediasi, dan mekanisme hukum yang sesuai. Dengan demikian, tradisi carok bisa dihargai sebagai bagian dari sejarah, namun perlu dimodernisasi agar tidak lagi merugikan individu dan masyarakat secara luas. Carok dan Hukum Positif: Menegakkan Keadilan di Tengah Tradisi Hukum positif memiliki peran penting dalam menangani kasus carok, terutama dalam menegakkan keadilan dan mencegah penggunaan kekerasan sebagai cara menyelesaikan sengketa. Meskipun carok merupakan bagian dari tradisi Madura, hukum di Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHP, melarang segala bentuk kekerasan, termasuk pembunuhan yang terjadi dalam carok. Pasal 338 dan 340 KUHP yang mengatur tentang pembunuhan memberikan dasar hukum untuk menghukum pelaku, sehingga dapat memberikan efek jera serta melindungi masyarakat dari bahaya kekerasan. Selain memberikan sanksi hukum, peran hukum positif juga menggantikan cara penyelesaian konflik yang berbasis kekerasan dengan mekanisme yang lebih damai dan sesuai dengan aturan hukum. Dengan memperkenalkan metode penyelesaian sengketa yang lebih tertib dan adil, masyarakat didorong untuk meninggalkan kebiasaan kekerasan, termasuk carok, yang dapat merugikan banyak pihak. Proses hukum yang adil diharapkan menjadi alternatif yang lebih baik dalam mengelola konflik. Dengan demikian, hukum positif tidak hanya berfungsi untuk menghukum pelaku kekerasan, tetapi juga membentuk pola pikir masyarakat agar lebih menghargai proses penyelesaian konflik secara damai dan beradab. Penerapan hukum ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang lebih tertib dan mengurangi ketergantungan pada tradisi yang merugikan, serta mendorong solusi yang lebih harmonis dalam menghadapi sengketa. Tradisi carok apakah harus dilestarikan? Carok, sebagai bagian dari sejarah dan budaya Madura, seharusnya tidak dilestarikan dalam bentuk kekerasan fisik yang melibatkan duel bersenjata. Meskipun dulunya carok dimaksudkan untuk menjaga kehormatan, praktik ini kini tidak lagi selaras dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keselamatan di era modern. Oleh karena itu, carok perlu dievaluasi dan disesuaikan agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Nilai-nilai positif dalam carok, seperti keberanian, kehormatan, dan penyelesaian konflik, tetap bisa dipertahankan. Namun, caranya perlu diubah menjadi lebih damai, misalnya melalui dialog atau mediasi. Dengan pendekatan ini, masyarakat dapat mempertahankan esensi tradisi tanpa melibatkan kekerasan, yang pada akhirnya lebih menghargai hak asasi dan keselamatan publik. Oleh karena itu, meskipun penting untuk menjaga warisan budaya, perubahan dalam cara menyelesaikan konflik perlu dilakukan. Carok bisa menjadi simbol budaya yang tetap relevan tanpa melanggar aturan hukum dan norma modern. Dengan beradaptasi pada pendekatan yang lebih damai, kita dapat menjaga tradisi sambil tetap melindungi individu dan komunitas dari bahaya.
ADVERTISEMENT
Sigit Danur Fajar, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah UINSA