Konten dari Pengguna

Jalan Ber-AKHLAK Menjadi Guru Besar

Sigit Pramono
Dosen Linguistik & Psikolinguistik, Universitas Negeri Jakarta.
16 Oktober 2024 9:09 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menjadi guru besar adalah salah satu puncak pencapaian seorang dosen. Guru besar dipandang sebagai jabatan akademik dosen yang paripurna. Jabatan ini merupakan sebuah bentuk pengakuan pemerintah atas dedikasi dan keilmuan seorang dosen.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat saya, setiap dosen bisa menjadi guru besar asalkan ia benar-benar menerapkan core value ber-AKHLAK. Sayangnya, ada saja oknum yang menghalalkan segala cara untuk memburu jabatan akademik ini secara instan. Padahal, hal itu telah mencederai nilai ber-AKHLAK yang menjadi core value kita sebagai ASN.
Sungguh miris ketika melihat berita bahwa ada praktik jual-beli guru besar di berbagai universitas di indonesia. Entah apa yang ada di pikiran oknum-oknum tersebut hingga nekat melakukan “kejahatan akademik” semacam itu.
Apakah mereka lupa bahwa guru besar juga memikul tanggung jawab yang lebih besar? Bukan sekadar mendapat tunjangan besar dan kedudukan yang bergengsi. Sebagai jabatan akademik, guru besar memiliki tugas yang amat berat. Dalam UU No.1 4 Tahun 2005 pasal 49 tentang guru dan dosen, guru besar tidak hanya membimbing disertasi doktor, tetapi juga menulis buku, menghasilkan karya ilmiah, dan menyebarluaskan ilmu di tengah masyarakat (Kompas.id).
ADVERTISEMENT
Jalan Panjang yang Sunyi
Berdasarkan kenyataan di lapangan, jumlah guru besar di Indonesia masih sangat minim. Dilansir dari Tempo.co, pada tahun 2023, dari 311 .063 dosen aktif di Indonesia, hanya sekitar 2,61 % yang bergelar guru besar atau profesor. Sementara di negara maju, jumlah profesornya sudah mencapai 20 hingga 30%.
Berdasarkan data di atas, jumlah guru besar memang masih minim. Walaupun demikian, jangan sampai diobral juga. Pasalnya, hal itu dapat menurunkan kualitas guru besar yang memiliki tugas yang amat berat.
Tidak dapat dimungkiri menjadi guru besar di Indonesia masih menjadi jalan yang sunyi. Bisa jadi hal ini disebabkan sistem yang terlalu sulit atau beban yang terlalu berat, sehingga banyak dosen yang akhirnya menyerah di tengah jalan untuk menggapai mimpinya itu.
ADVERTISEMENT
Masih dilansir dari Tempo.co, menurut Persatuan Guru Besar Indonesia (Pergubi), salah satu penyebab minimnya jumlah guru besar di Indonesia adalah peraturan yang sering berubah-ubah, sehingga membuat para dosen bingung. Selain itu, para dosen juga terbebani dengan banyaknya tugas administratif sehingga mengganggu konsentrasi mereka dalam peningkatan ilmu serta proses belajar mengajar.
Hal tersebut bisa benar, bisa juga salah. Peraturan yang sering berubah-ubah bisa jadi merupakan sebuah bentuk adaptasi atas kondisi dan tantangan yang juga sering berubah-ubah, sehingga para dosen perlu juga adaptif terhadap perubahan itu dan patah arang di tengah jalan. Kebingungan yang muncul merupakan hal yang wajar, tetapi jika kita bisa kembali pada core value sebagai ASN, khususnya nilai dasar adaptif, semestinya hal tersebut dapat diatasi.
ADVERTISEMENT
Banyaknya tugas administratif juga dirasakan oleh banyak dosen, termasuk para dosen baru. Hal itu memang tidak bisa dihindari. Titik tolaknya adalah apakah kita akan menganggapnya sebagai beban atau kewajiban? Jika kita menganggapnya sebagai beban, pastilah hal itu akan terasa makin berat. Sementara, jika kita menganggapnya sebagai kewajiban hal itu akan dipikul sebagai sebuah tanggung jawab.
Dengan meningkatkan kompetensi diri, tugas administratif akan semakin mudah. Apalagi, kini berbagai hal terkait administrasi mulai diintegrasikan melalui digitalisasi, sehingga ke depannya pasti akan lebih praktis.
Melayani Bukan Dilayani
Jika kita benar-benar menerapkan setiap elemen dari core value ASN, menjadi guru besar bukanlah suatu hal yang mustahil. Kunci pertamanya adalah berorientasi pelayanan. Kita perlu benar-benar sadar bahwa menjadi ASN bukanlah untuk mencari keuntungan finansial, tetapi untuk melayani masyarakat dan negara. Orientasi tersebut yang akan meringankan langkah kita ketika menghadapi berbagai tantangan dan kesempatan yang ada. Guru besar yang melayani dengan ilmunya akan lebih bermartabat daripada guru besar yang ingin dilayani dengan berbagai privilege-nya.
ADVERTISEMENT
Membiasakan diri Akuntabel
Mengapa jurnal scopus bernilai tinggi? Jawabannya satu, yaitu karena integritasnya. Seorang ASN pun akan bernilai tinggi jika mampu menjaga integritasnya, kejujurannya, di mana hal itu merupakan aspek-aspek dari core value akuntabel. Jujur itu indah walaupun tidak mudah. Ketika kita sudah berorientasi pada pelayanan, apa sih yang dicari? Lebih baik menjaga integritas daripada mengejar popularitas. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak yang “bermain” demi masuk di jurnal scopus. Joki-joki berkeliaran demi mendapat cuan dari para penghamba gelar. Apakah itu yang kita cari? Kalau saya sih enggak. Lebih baik menjadi dosen biasa yang berintegritas daripada guru besar yang dibantu joki-joki jurnal.
Meningkatkan Kompetensi
Belajar sepanjang hayat adalah suatu kewajiban agama, tidak hanya tertera di UU ASN No.20 tahun 2023. Sebagai dosen baru, sudah ada arahan untuk mengisi bangkom yang berisi rencana pengembangan diri dalam beberapa tahun ke depan. Menurut para profesor di kampus saya sendiri, hal itu sangat membantu dan jika sistem ini diikuti sebenarnya akan membawa kita pada jalur yang benar.
ADVERTISEMENT
Penguatan Sistem Merit
Dalam UU No.20 tahun 2023 tentang ASN, dapat dilihat penguatan sistem merit, bukan hanya menyentuh aspek penerimaan, melainkan juga aspek pengembangan karier. Sayangnya, masih saja banyak oknum yang berupaya lewat jalur belakang yang instan untuk meraih gelar sebagai guru besar. Dengan penguatan sistem, diharapkan celah-celah yang ada dapat ditutup rapat sehingga guru besar yang dilahirkan kualitasnya tidak abal-abal.
Aspek Loyalitas yang Kadang Terabaikan
Kasus guru besar abal-abal yang mencuat akhir-akhir ini menunjukkan pengingkaran bukan hanya pada nilai akuntabel, melainkan juga pengingkaran terhadap nilai loyal. Yang bersangkutan jelas-jelas telah mencoreng nama baik instansi dan profesinya. Padahal, bisa saja ia telah banyak berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Itulah yang terjadi ketika kita terjebak pada kesetiaan personal. Seolah-olah benar, padahal mereka terjebak pada lingkaran “kejahatan akademik” yang serius.
ADVERTISEMENT
Siap Beradaptasi
Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Kita perlu menyadari bahwa perubahan merupakan suatu keniscayaan. Banyak yang mengatakan bahwa “ganti menteri, ganti kebijakan”. Ya, memang tantangan yang dihadapi setiap menteri juga terus berganti. Oleh sebab itu, kita perlu siap dengan perubahan, termasuk regulasi terkait guru besar.
Kolaborasi Adalah Kunci
Kolaborasi memainkan peran kunci dalam menghadapi berbagai tantangan untuk meraih mimpi menjadi guru besar. Dengan adanya kolaborasi, kita bisa berbagi “beban” atau tanggung jawab yang sifatnya sekunder, sehingga akan membantu fokus kita dalam mendalami ilmu pengetahuan. Kemampuan kerja sama ini tentu juga akan berdampak positif ke depannya karena guru besar perlu mampu membumikan penelitian-penelitiannya di tengah masyarakat agar tidak hanya menjadi tumpukan kertas di perpustakaan.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, mimpi menjadi guru besar perlu diiringi juga oleh mentalitas yang kuat. Saya yakin bahwa nilai dasar ber-AKHLAK mampu menuntun kita hingga ke mimpi ini. Jika mampu menerapkannya, kita tidak akan terjebak pada cara-cara pintas yang menjadikan guru besar sebatas obsesi.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Referensi
UU No.1 4 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.https://peraturan.bpk.go.id/Details/40266/uu-no-1 4-tahun-2005. Diakses pada 1 0 Oktober,2024.
https://www.kompas.com/edu/read/2024/07/1 2/092453271 /obral-guru-besar?page=all.
Diakses pada 1 0 Oktober, 2024.
https://nasional.tempo.co/read/1 889003/bamsoet-dorong-peningkatan-jumlah-guru-besar-di-i
ndonesia. Diakses pada 1 0 Oktober, 2024.