Konten dari Pengguna

Tuduhan Sosial dan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Anak

Sigit Pramono
Dosen Linguistik & Psikolinguistik, Universitas Negeri Jakarta.
15 Oktober 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sigit Pramono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tuduhan sosial dapat terjadi pada siapa saja, termasuk anak-anak. Seperti kasus yang dialami Budi (nama samaran), seorang siswa laki-
Sumber: Dokumen pribadi
laki kelas 1 SD di Tangerang. Ia dituduh melakukan tindakan yang tidak senonoh terhadap salah satu teman sekelasnya. Selain itu, ia juga dituduh mencuri uang teman dan gurunya. Tuduhan ini datang dari orang tua siswa lain meskipun tidak ada buktinya. Padahal menurut guru ngajinya, Budi anak yang rajin, pintar, dan sopan. Budi sampai bersumpah kepada orang tuanya bahwa ia hanya bermain dan tidak bermaksud melakukan hal yang dianggap tidak senonoh. Ia pun bersikukuh bahwa ia tidak pernah mencuri uang temannya, apalagi gurunya.
ADVERTISEMENT
Disadari atau tidak, tuduhan sosial semacam ini membawa dampak besar pada perkembangan emosional dan kognitif seorang anak. Tuduhan ini dapat mengancam pencapaian perkembangan anak. Ketika anak menghadapi penilaian negatif dari orang lain, terlepas itu benar ataupun tidak, mereka akan sangat malu, tidak berdaya, dan mulai meragukan kemampuannya. Hal ini dapat menurunkan rasa percaya diri yang baru mulai terbentuk, sebagaimana yang dialami Budi setelah menerima tuduhan tersebut.
Lebih jauhnya lagi, tuduhan sosial yang ditimpakan pada seseorang dapat berdampak jangka panjang. Meskipun anak tersebut menyangkal tuduhan itu dan tidak ada bukti yang mendukung, label yang diberikan oleh orang tua siswa lain dapat menyebabkan perasaan tidak layak di lingkungan sosialnya. Anak-anak di usia ini masih dalam proses memahami norma sosial. Dengan demikian, tuduhan semacam itu dapat menyebabkan kebingungan serta kesulitan dalam membina hubungan antar teman sekelas.
ADVERTISEMENT
Perlu disadari bahwa sekolah dan teman sebaya merupakan bagian integral dalam pembelajaran sosial. Di sekolah, anak-anak belajar berinteraksi, memahami norma sosial, serta mengatasi konflik. Tuduhan sosial yang tidak beralasan dan reaksi negatif dari lingkungan sekolah dapat menciptakan ketidakpastian dalam memahami hubungan sosial. Ketika anak merasa dihakimi tanpa dasar yang jelas, ia akan menarik diri dari lingkungan sosial. Sebuah sikap yang justru dapat memperburuk isolasi dan penurunan kepercayaan diri.
Tidak dapat dimungkiri, tuduhan sosial ini berdampak buruk pada psikologis Budi. Ia menjadi tidak percaya diri sehingga orang tuanya terpaksa memindahkannya ke sekolah lain. Tindakan orang tuanya tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perlindungan. Ya, perlindungan dari lingkungan yang mereka anggap tidak aman secara emosional. Keputusan ini diambil dengan pertimbangan bahwa anak-anak perlu berada dalam lingkungan yang mendukung perkembangan positif mereka, baik dari segi sosial maupun emosional. Di sisi lain, tindakan ini juga dapat menambah tantangan bagi sang anak. Penarikan diri dari lingkungan sosial dapat melewatkan kesempatan sang anak untuk belajar mengatasi konflik. Suatu proses yang juga penting dalam perkembangan kemampuan sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam persoalan ini, hadirnya teknologi seperti CCTV di sekolah dapat memberikan rasa aman bagi semua pihak, baik siswa, orang tua, maupun pihak sekolah. Teknologi pengawasan ini dapat menjadi alat verifikasi ketika ada tuduhan atau konflik yang memerlukan bukti konkret. CCTV tidak hanya berfungsi untuk mengawasi perilaku siswa, tetapi juga memberikan keadilan bagi anak-anak yang mungkin dituduh secara tidak adil. Selain itu, pengawasan yang tepat dapat membantu sekolah dalam mengambil keputusan yang lebih objektif dalam menangani konflik antar siswa, sehingga dapat mencegah terjadinya stigma sosial yang salah sasaran.
Namun, perlu dipahami bahwa solusi jangka panjang untuk masalah ini tidak hanya terletak pada penggunaan teknologi. Pendekatan yang lebih holistik dalam pendidikan anak tentang nilai-nilai moral, empati, dan penyelesaian konflik juga penting. Pendidikan yang inklusif tentang pentingnya memahami perbedaan antara perilaku yang tidak disengaja dan tindakan yang disengaja dapat mencegah salah paham semacam ini terus berulang. Pihak sekolah juga dapat berperan sebagai jembatan di antara kedua pihak yang berkonflik melalui musyawarah.
ADVERTISEMENT
Dari kasus ini, dapat kita lihat betapa rentannya anak-anak terhadap dinamika sosial dan psikologis yang terjadi di lingkungan sekolah. Tuduhan sosial yang serampangan tidak hanya mempengaruhi anak dari segi emosional, tetapi juga mengganggu perkembangan sosialnya. Solusi yang tepat, baik melalui teknologi seperti CCTV maupun pendidikan moral yang lebih inklusif, sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung bagi semua siswa.
(Peserta Latsar CPNS Kemendikbudristek dan Kemenhub 2024)